Bersepeda
dari satu candi ke candi lain dengan pemandangan hutan atau kebun dengan sungai
di sisinya? Rasanya di Indonesia hanya dapat dilakukan di Jambi.
***
Kabut asap masih menyelimuti kota ini saat saya tiba
Bandara Sultan Thaha. Namun semangat menjelajah Jambi, meski hanya tiga hari,
tak membuat antusiasme saya turun karena kabut asap.
Candi Muaro Jambi & Polemik Sriwijaya
Akar Melayu daerah ini begitu menarik perhatian saya.
Apalagi sejak Candi Muaro Jambi makin dikenal masyarakat dan dipublikasikan
media. Maka Candi Muaro Jambi pun menjadi tujuan utama saya di kota yang
bernama sama dengan provinsinya ini.
Sejak dibangunnya Jembatan Batanghari II, akses menuju
Candi Muaro Jambi dari pusat kota Jambi semakin cepat dan mudah. Jika dahulu
membutuhkan waktu sejam, kini dalam waktu 30 menit kita bisa
sampai di lokasi. Tak heran pengunjung situs sejarah ini pun makin banyak.
Perekonomian masyarakat sekitar terbantu dengan usaha berupa warung makan,
penginapan serta persewaan sepeda dan alas duduk.
Tak jauh dari loket tiket masuk kawasan candi, kami sudah
ditawari sepeda. “Capek kalau berjalan kaki, dari satu candi ke candi lain
lumayan jauh,” kata Ibu yang menawari kami. Saya langsung mengiyakan, tapi
Berlian Santosa, rekan yang menemani saya
selama di Jambi,menawar dulu.
Setelah sepakat kami pun konvoi sepeda! Cara paling asyik
menjelajah Muaro Jambi yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB) sejak
30 Desember 2013 ini memang mengayuh sepeda. Dengan area yang membentang
sepanjang 7 km dan mencakup luas 17,5 km2, KCB Candi Muaro Jambi diklaim
sebagai kawasan candi terluas di Asia Tenggara.
Dalam bukunya Memasuki
Gerbang Situs Sejarah Candi Muaro Jambi, Fachrudin Saudagar menyebutkan
hingga tahun 2003 telah teridentifikasi 110 bangunan candi, baik yang telah
dipugar, belum dipugar, ataupun yang masihdalam bentuk manapo. Manapo adalah bentuk/gundukan tanah yang di atasnya telah
tumbuh pohon-pohon besar dan di dalamnya ditemukan struktur bangunan candi yang telah
runtuh. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 36 candi yang telah dipugar dan
diberi nama. Jumlah 110 candi yang teridentifikasi itu pun belum final karena
masih terus dilakukan penggalian. Terbayang kan luasnya kawasan candi ini?
Angin semilir membelai wajah saya saat mulai menjelajah. Kabut
asap tipis terlihat menyeliputi kawasan, membuat Candi Gumpung, candi pertama
yang kami temui terlihat samar di kejauhan. Kawasan candi belum terlalu ramai, tapi sudah
tampak beberapa pengunjung menjelajah dengan sepeda seperti kami. Makin
meninggi matahari, pengunjung makin banyak. Rombongan keluarga, rombongan
pelajar, pasangan, semua mengayuh sepeda. Bahkan persewaan sepeda menyediakan
sepeda roda tiga untuk balita. Wow, saya makin semangat mengayuh sepeda. Apalagi
sebagian besar jalur bersepeda sudah rapi dengan konblok.
Sebagian masih tanah, terutama jalur menuju kawasan candi di bagian dalam.
Antara candi yang satu dengan yang lain banyak dihubungkan dengan sungai dan
kanal-kanal.
Berturut-turut
dari Candi Gumpung kami mengeksplor Candi Tinggi, Candi Kembar Bato, dan Candi
Gedong. Saya seperti ditarik waktu saat mengekplor bangunan-bangunan yang
menggunakan bata merah ini. Candi-candi di kompleks ini memang tidak besar, terutama
bila kita membandingkan dengan Borobudur atau Prambanan. Namun letaknya yang
tersebar membuat suasana jelajah jadi membuat penasaran. Seperti apa bentuk
candi yang akan kami temui berikutnya? Bagaimana suasana sekitarnya? Hal unik
apa yang ada di candi tersebut? Kami terus mengayuh dan tiba di Candi Astano.
“Coba
perhatikan tanah dengan teliti, Mbak,” kata
Berlian saat kami menjejak tanah di sekitar Candi Astano.
Saya pun menajamkan penglihatan dan melihat pecahan-pecahan keramik dengan ukuran dan motif yang beragam tersebar di sekitar area candi. Menurut
para sejarawan keramik-keramik tersebut menandakan kawasan ini pernah
menjadi pusat aktivitas di masa lampau. Dan diduga
terdapat hubungan
antara Kerajaan Melayu dan Sriwijaya dengan Tiongkok.
“Bila hujan cukup besar, sekitar candi akan membentuk kanal, dan
pecahan keramik tidak terlihat,” kata Berlian. “Mungkin seperti Venesia
dari Timur ya.”
“Venesia rasa Melayu,” celetuk saya. Kemudian saya
membayangkan pada masa lalu perahu-perahu hilir mudik, para pendeta beribadah
di candi-candi, lawatan-lawatan dari negeri Tiongkok di mana mereka membawa
keramik-keramik untuk dijual atau ditukar. Seperti yang pernah dikabarkan
I-Tsing, pendeta dari Tiongkok yang pernah berkunjung ke
Sriwijaya pada tahun 671 M. I-Tsing menyebutkan bahwa di pusat Kerajaan Sriwijaya
terdapat biara-biara (candi) yang tersusun dari bata merah yang terletak di
dekat sungai dan pantai. Antara biara satu dan yang lain dihubungkan dengan
sungai besar yang juga dilayari perahu. Dan terdapat 1000 orang pendeta Buddha
sedang belajar di Sriwijaya.
Mengacu
pada laporan I-Tsing tersebut, ahli sejarah Jambi mencocokkan dengan kawasan Candi Muaro Jambi.
Fakta menunjukkan bahwa di area ini terdapat 110 buah bangunan candi (dan masih
terus dilakukan penggalian sehingga bisa lebih dari itu). Jumlah candi sebanyak
itu cukup untuk mendukung kebutuhan ibadah 1.000 pendeta Buddha. Situs Candi
Muaro Jambi juga terletak dekat sungai besar (Batanghari) dan daerah pantai
timur Jambi. Antara satu candi dengan candi lain di Muaro Jambi juga dihubungkan
dengan kanal/sungai yang dapat dilayari perahu. Fakta
ini memperpanjang
Polemik Sriwijaya, yakni polemik mengenai pusat
Kerajaan Sriwijaya. Selain mereka yang meyakini Sriwijaya berpusat di
Palembang, ada pula sejarawan yang menyatakan pusat kerajaan Sriwijaya di
Muaratakus (Riau), di Semenanjung Malaya (Malaysia), bahkan di Thailand. Dan kini sebagian ahli
sejarah meyakini pusat kerajaan Sriwijaya kemungkinan besar adalah kawasan
Candi Muaro Jambi. Terlepas dari benar tidaknya klaim tersebut, saya
jadi makin semangat menjelajahi tempat ini.
Setelah 4
jam bersepeda kami kembali ke titik awal, di persewaan sepeda. Wah, hanya 5
candi yang bisa kami eksplor. Sepertinya perlu waktu seminggu untuk menjelajah
36 candi yang telah dipugar. Mobil yang saya tumpangi bergerak kembali ke pusat
kota Jambi. Sekitar 3 kilometer dari kawasan utama, saya melihat candi yang
sedang dipugar, Candi Kedaton. Berlian menghentikan mobil dan kami
melihat-lihat. Karena masih dipugar, kami tak bisa terlalu lama mengeksplor.
Taman Tanggo Rajo dan Menara Gentala Arasy
Puas menjelajah Candi Muaro Jambi, saya kembali ke pusat kota
Jambi. Selepas menunaikan shalat ashar, kami berhenti di Taman
Tanggo Rajo untuk menikmati Sungai Batanghari. Taman Tanggo Rajo adalah tempat nongkrong yang
terkenal di Jambi. Sore hingga malam adalah waktu yang tepat untuk menikmati
tempat ini. Kabut asap makin tebal, namun di seberang taman samar terlihat
sebuah bangunan tinggi.
“Itu bakal
jadi ikon baru kota Jambi, Mbak,” kata Berlian. Menara Gentala Arasy. Saat saya berkunjung ke sana, menara tersebut sebenarnya sudah rampung
dibangun, tapi belum diresmikan. Baru pada 28
Maret 2015, wakil presiden RI, Jusuf Kalla, meresmikan menara tersebut.
Menara jam
setinggi 32 meter ini berlokasi di kawasan cagar budaya Kota Seberang Jambi
yang menjorok ke pinggiran Sungai Batanghari. Kita dapat mencapai menara ini
dengan naik perahu ketek dari Taman Tanggo Rajo yang berlokasi di jantung kota
Jambi. Di lantai dasar menara ini terdapat museum yang menuturkan sejarah masuk
dan berkembangnya agama Islam ke kota Jambi. Tersedia lift yang dapat membawa
kita pada ketinggian 25 meter untuk menikmati pemandangan kota Jambi dan
sekitarnya.
Di kawasan ini juga sedang dibangun jembatan pedestrian yang
menghubungkan Taman Tanggo Rajo dengan Menara Gentala Arasy. Konon kabarnya jembatan
tersebut merupakan jembatan pedestrian terpanjang di dunia. Total
panjang jembatan ini kelak mencapai 532 meter dengan lebar 4,5 meter. Desainnya
berliku menyerupai huruf “S”. Senja sudah tenggelam saat kami meninggalkan
kawasan Taman Tango Rajo. Besok saya akan mengunjungi beberapa tempat lain di
pusat kota.
Masjid Seribu Tiang
Nama masjid terbesar di Jambi ini
sebenarnya adalah Masjid Agung Al-Falah. Jumlah tiangnya sendiri bukan
1.000 tapi 256 tiang. Yang menarik, bangunan dengan satu kubah besar dan satu
menara ini
disangga 256 tiang tanpa dinding sehingga membuat masjid selalu sejuk karena
sirkulasi udara yang lancar. Tiang-tiang yang menyangga kubah dan menjadi ruang utama
masjid disepuh warna coklat keemasan dengan ornamen kembang. Sementara
tiang-tiang lain dicat warna putih.
Bagian dalam kubah dihias
dengan ornamen garis-garis simetris yang mirip dengan garis lintang dan bujur
bola bumi dengan perpaduan warna hijau tua, hijau muda, dan putih. Di bagian
cincin kubah terdapat kaligrafi ayat Al-Quran berwarna emas. Sementara sebuah
lampu gantung berukuran besar yang terbuat dari tembaga menambah kekhasan
masjid.
Saat malam hari masjid yang berlokasi
bekas pusat Kerajaan Melayu Jambi ini terlihat
lebih indah karena pendaran cahaya dari lampu-lampu yang dipasang di tiap
tiang. Masjid yang dibangun selama sembilan tahun ini mampu menampung jamaah
hingga 10.000 orang. Saat hendak beranjak dari masjid, saya melihat seorang
kakek tua berpakaian lusuh bahkan dekil tampak khusyuk berdoa sehabis shalat.
Entahlah, rasa haru tiba-tiba menyeruak di dada saya.
Taman Mini Jambi
Masyarakat Jambi lebih
mengenal lokasi yang merupakan hutan kota seluas 18 ha ini sebagai Taman MTQ.
Sebab pada tahun 1997 kawasan ini dijadikan sebagai pusat penyelenggaraan MTQ
Nasional ke-18. Tribun, kejang lako (rumah
panggung), dan monumen kapal tradisional yang dibangun khusus untuk MTQ masih
ada hingga kini.
Bila di Jakarta kita
mengenal Taman Mini Indonesia Indah yang memiliki anjungan dan rumah adat dari
berbagai provinsi di Indonesia, maka di Taman Mini Jambi kita dapat menemui 7
anjungan yang terdiri dari satu anjungan provinsi dan enam anjungan kabupaten.
Selain rumah-rumah adat, di Taman Mini ini juga terdapat miniatur Candi Muaro
Jambi dan fosil kayu sungkai. Sayangnya pengunjung tidak dapat masuk ke dalam
anjungan-anjungan tersebut dan kondisi rumah-rumah adatnya kurang terawat.
Senja sudah tua saat saya bergerak dari Taman Mini Jambi kembali ke penginapan. Melintas pusat kota saya melewati Monas Jambi. Monumen yang terletak di bundaran komplek pemerintahan kota ini memang mirip dengan Monas yang ada di Jakarta. Yang membedakan, Monas Jambi lebih kecil dan memiliki empat jam dinding di setiap sisi Monas dan ukiran di bagian bawah jam. Pada malam hari kawasan Monas Jambi berubah dari pusat perkantoran menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Sebagai provinsi, Jambi
memiliki banyak potensi wisata lain. Taman Nasional Bukit 12, Gunung Kerinci,
Pulau Berhala, hingga Geo Park berusia 250 juta tahun. Tentu saja tiga hari
tidak cukup untuk mengunjungi juga tempat-tempat tersebut.[]
*tulisan
ini pernah dimuat di majalah Colours (in-flight magazine Garuda)
Comments
Post a Comment