Angkor Wat. Itu memang alasan utama saya dan beberapa rekan berkunjung ke Siem Reap, kota terbesar kedua di Kamboja, negeri “eks” komunis yang terkenal dengan rezim Khmer Merah-nya. Pada tahun 2008, kompleks candi Hindu ini menarik 1,2 juta wisatawan mancanegara, sedangkan Candi Borobudur/Prambanan “hanya” dikunjungi 400 ribu wisatawan. Namun tak hanya situs warisan dunia UNESCO tersebut, ternyata di Siem Reap saya juga temui jejak Melayu dan Islam.
Menyusuri Tonlep Sap, Danau Terbesar di Asia Tenggara
Pesawat yang membawa kami dari
Kuala Lumpur mendarat di Siem Reap International Airport sekitar pukul 8 pagi.
Sebelumnya dari atas pesawat saya melihat kontur wilayah Kamboja yang cenderung
gersang. “Kayaknya panas dan berdebu banget,” pikir saya.
Setelah membayar 25 USD (US
Dolar) untuk visa on arrival, kami
pun melenggang keluar dari imigrasi. Sama seperti Vietnam, penggunaan mata uang dolar
AS memang sudah begitu jamak di negeri ini. Dengan taksi kami menuju downtown Siem Reap. Syukurlah, meski
tidak booking sebelumnya, masih ada kamar
tersedia di guest house yang kami datangi. Setelah check in, kami langsung mem-booking
tuk-tuk untuk JJS (Jalan-jalan Siang dan Sore) :D. Tak seperti di Thailand dan Sri
Lanka yang tuk-tuknya adalah bajaj seperti di Jakarta, tuk-tuk Kamboja
sejenis delman yang ditarik motor. Unik kan?
Kelar beberes dan mandi, kami pun
meluncur ke Tonle Sap, danau air tawar terbesar di Asia Tenggara. Ternyata sayang
juga kami mandi :D, sebab sepanjang perjalanan debu begitu leluasa menyerbu
tubuh kami. Tentu saja, lha wong naik
tuk-tuk! Benar juga yang tadi saya pikirkan di pesawat, panas dan berdebu. Kondisi
tanah Kamboja memang tak sehijau dan seasri negeri kita dan sebagian negeri
ASEAN lain. Tapi, di sinilah asyiknya traveling.
Merasakan kultur, kondisi alam, dan pengalaman lain yang berbeda, antara
satu negara dengan negara lain. Jadi meski panas dan berdebu, kami nikmati
saja, apalagi traveling dengan teman perempuan yang cerewet dan rame, wuih dijamin seru dan heboh!
Sekitar setengah jam tuk-tuk
menyusuri jalan menuju Tonle Sap yang berdebu, panas, dan bau amis—kira-kira
begini ramuannya: Seperti Karawang dicampur Bekasi dibubuhi Muara Karang,
hehehe. Sampai di dermaga Tonle Sap, kami langsung dipandu ke loket, wisata
menyusuri Tonle Sap. Tarifnya 15 USD per
orang, satu jam keliling Tonle Sap. What?! Mahal beneerrr. Tak bisa ditawar.
Langsung saja kami mundur teratur. Kemahalan ah. Lagipula kelihatan tak menarik
dan tak banyak yang akan dilihat. Saat kembali, Ang, si sopir tuk-tuk bertanya
kenapa nggak jadi. Setelah kami
bilang kemahalan, Ang berkata akan menawarkan. Tak lama dia balik dan bilang: “Ten dolar, ten dolar…”. Aha, masih
mahal sih. Tapi karena sudah kadung di sana,
okelah, tak ape.
Kalau membayangkan danau terbesar
di Asia Tenggara ini seperti Danau Singkarak di Sumatera Barat misalnya, atau
Danau Toba di Sumatera Utara, wah kalah. Danau Toba, juga sebagian besar danau
lain di Indonesia, jauh lebih indah. Danau yang bermuara ke Sungai Mekong ini
airnya cokelat, dan pemandangan di sekitarnya biasa saja. Saya seperti sedang
berwisata di Sungai Ciliwung, hehehe. Bisa jadi karena hanya sebagian kecil
saja yang kami arungi. Tonle Sap sendiri merupakan
nadi bagi kehidupan 3 juta masyarakat Kamboja. 75% kebutuhan ikan masyarakat
Kamboja dipenuhi dari danau ini. Pada musim hujan, luas danau ini sekitar
16.000 meter persegi, tapi di musim panas, luasnya menyusut menjadi 2.700 meter
persegi.
Tak Jadi Makan “Daging Lembu Naik Bukit”
Hari menjelang sore saat kami
selesai menyusuri Tonle Sap. Lapar menggedor-gedor perut, karena sejak pagi
kami belum makan. Kami pun meminta sopir tuk-tuk kembali ke kota Siem Reap. Tujuan kami: perkampungan
muslim Champ. Dari informasi yang saya dapat, ada restoran muslim di dekat Masjid
An-Nikmah, satu-satunya masjid di kota
Siem Reap, yang terletak di tengah perkampungan muslim tersebut. Sayangnya,
kami kurang beruntung, tak dapat mencicipi menu ‘daging lembu naik bukit’, yang
jadi kekhasan restoran ini.
“Restoran sedang tutup,” kata
seorang pria dengan bahasa Melayu yang fasih. Eh, kok bisa cakap Melayu?! Aah,
saya lupa. Sebagian muslim di Kamboja memang dapat berbahasa Melayu. Sebagian
besar dari mereka adalah muslim Champa. Ikatan bangsa Cham dengan Melayu memang
erat. Menurut beberapa sumber, Islam disebarkan hingga ke Champa oleh pedagang
dari Melayu. Dan ingat tidak? Ada
putri raja Champa yang dinikahkan dengan Raja Brawijaya V yang memerintah
kerajaan Majapahit. Champa atau dari kata Tsiampa, merupakan etnis yang
menguasai wilayah selatan Vietnam
sampai di timur Kamboja. Hingga abad 14 wilayah kekuasaan etnis Champaa
mencapai pantai barat Vietnam
sampai Vietnam Tengah. Pada abad 15 Champa diserang orang Vietnam dari Utara. Serbuan itu
menyebabkan gelombang pengungsian orang Champa ke pantai timur Malaysia, Melayu Indrapura, Kalimantan,
hingga ke Sumatera (wilayah kerajaan Sriwijaya) dan Jawa Timur.
Dari informasi pria yang mengaku
bernama Ahmad itu, ada restoran halal lain di Siem Reap. Ahmad pun memberi
petunjuk arah kepada sopir tuk-tuk. Setelah berbincang sebentar dengan Ahmad,
melihat-lihat masjid, dan bercanda dengan anak-anak muslim yang lucu dan imut,
kami pun bergegas lagi. Lapar euy
lapar! Informasi Ahmad benar-benar valid. D’Wau, nama restoran yang direkomendasikannya
adalah restoran yang dimiliki oleh muslim asal Malaysia. Sang ibu yang melayani
sangat ramah. Dia mengaku sudah belasan tahun tinggal di Siem Reap dan pernah
beberapa kali ke Indonesia.
Dan makanannya… mantaaap! Meski harganya agak mahal (+ Rp60 ribu per
orang), tapi menurut kami worth it. Nasi, ayam goreng bumbu, telur dadar, sayur
tumis, tom yum, hingga sambal dan lalap. Sangat lezat dan tentu, halal. Restorannya
pun sangat bersih dan cukup berkelas, meski tak terlalu besar. D’Wau terletak
persis di depan Sor-Phoun Villa, hotel bintang dua yang juga terlihat bersih
dan nyaman. Bisa jadi pilihan tempat menginap buat rekan-rekan yang berniat ke
Siem Reap.
Soal makanan halal memang jadi
tantangan tersendiri di Kamboja. Tak banyak restoran halal. Meski menurut teman
daging sapi banyak dipasok oleh muslim, tapi siapa yang bisa menjamin mereka
mengolahnya dengan bahan pelengkap yang halal? Jadilah kami banyak membeli buah
untuk mengganjal perut. Alhamdulillah, saya juga sudah bersiap membawa biskuit,
roti, pop mie, dan cokelat dari Indonesia.
Ada yang lucu sewaktu kami
mengunjungi Angkor Thom esok harinya. Sambil berteduh dan minum di sebuah
kedai, kami iseng bertanya apakah mereka menjual mi instant halal? Seorang
gadis kecil yang begitu bersemangat membawa beberapa contoh mi instant. Kami
cek tak ada yang berlabel halal. Kami beritahu contoh tulisan halal. Dia
berlari ke kedai lain, untuk mencarikan yang halal, tak ada juga. Sampai
akhirnya dia mendapatkan beberapa bungkus mi instant dari kedai lain nun di
ujung deretan kedai-kedai. Kami cek, benar, mi instant produk Thailand, label
halalnya jelas tertera. Sebelum dimasak, kami mengintruksikan untuk tidak
menambahkan apapun ke dalam mi instant tersebut kecuali air untuk memasak, atau
kalau ada sayur segar. Di gadis cilik tersenyum senang dapat membantu, kami pun
senang dapat mengganjal perut dengan mi instant halal J.
Angkor yang Megah
“Kalau mau melihat Angkor Wat,
bagusnya pagi-pagi sekali,” begitu pesan dari teman yang pernah ke sana, juga
dari berbagai situs yang saya baca. Jadilah sebelum subuh kami sudah siap.
Bahkan sopir tuk-tuk yang kami pesan sudah siap sejak dini hari. Pungkas shalat
subuh, kami pun berangkat.
Dari downtown Siem Reap menuju kompleks
Angkor menempuh perjalanan sekitar setengah jam.Di perjalanan, beragam turis
juga mencoba mengejar sunrise di
Angkor Wat. Ada
yang naik tuk-tuk seperti kami, naik van, hingga naik motor dan menggenjot
sepeda. Ada
tiga pilihan tiket masuk; one day (20
USD), three days (40 USD), dan one week (60 USD). Jangan heran ya ada
pilihan tiket yang berlaku seminggu. Sebab kompleks Angkor
memang luaaas banget. Kami memilih tiket masuk yang berlaku sehari. Antre
membayar di loket, kemudian petugas menyuruh menghadap kamera, dan… klik! Tiket
yang tertera foto kami pun jadi.
Dari loket belum terlihat wujud
si Angkor. Kami harus naik tuk-tuk kembali
sekitar 10 menit. Sampai di Angkor Wat, wow… ribuan turis bergegas. Sebagian
sudah menunggu, siap dengan kamera masing-masing, dari kamera poket hingga
kamera tele yang keren.
Angkor Wat adalah salah satu
candi dari beberapa candi utama di kompleks “eks” Kerajaan Angkor. Dibanding
Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8, kompleks candi Angkor
sebenarnya lebih muda, yakni dibangun pada abad ke-12 oleh Raja Suryawarman II.
Selama berabad-abad, daerah di sekitar delta Sungai Mekong dan Kamboja Tengah,
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Jawa
(sekarang Indonesia).
Tapi pada tahun 802, Pangeran
Khmer Jayawarman II, yang
dilahirkan dan dibesarkan di istana Kerajaan Jawa pada masa dinasti Syailendra
menyatakan bahwa wilayah yang didiami oleh orang Khmer, lepas dari Jawa. Ia kemudian
mendirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Angkor. Beberapa kali terjadi
perebutan tahta Angkor.
Pada tahun 889, Yasovarman I menjadi raja Khmer. Dia mulai membangun Angkor, yang kemudian berganti nama menjadi Yasodharapura. Pada tahun 1002, Suryawarman I merebut tahta kerajaan. Di bawah
pemerintahannya, wilayah kerajaan Angkor bertambah luas sampai ke wilayah-wilayah yang sekarang adalah negara
Thailand dan Laos.
Pada tahun 1080, setelah Angkor ditaklukan oleh kerajaan Champa, gubernur provinsi paling utara Khmer menyatakan
dirinya sebagai raja, dengan menyandang nama Jayawarman VI. Pada tahun 1113,
seorang keponakan Jayawarman VI dinobatkan menjadi raja kerajaaan Khmer.
Riwayat lain menyebutkan bahwa snag keponakan membunuh dan merebut tahta sang
paman. Dia memilih untuk menyandang nama Suryavarman II. Pada masa
pemerintahannyalah, Angkor Wat
dibangun.
Dari sekilas riwayat Angkor di
atas, tak usah heran bila banyak kemiripan relief dengan Candi Borobudur dan
Prambanan di Jawa.
Tak sampai seharian kami
mengelilingi kompleks Angkor, kaki sudah pegal-pegal. Bagaimana yang membeli
tiket seminggu? Nggak kebayang. Dari
sekian candi di kompleks Angkor, ada 3 candi
yang terkenal yakni: Angkor Wat, Angkor Thom, dan Ta Phrom. Jangan kira
jarak-nya tetanggaan lho, lumayan jauh. Dari satu candi ke candi lain jaraknya
antara 10-20 menit. Ta Phrom adalah candi yang tak boleh dilewati oleh turis. Keunikan
komplek candi Ta Phrom adalah pohon-pohon dan akarnya yang menjulur di antara
bangunan candi sehingga membuat bangunan candi terlihat eksotis. Meski di satu
sisi akar-akar pohon tersebut membuat bangunan rusak bahkan roboh hingga tinggal tumpukan batu di beberapa
bagian. Ta Prohm juga yang membuat Kamboja makin dikenal oleh wisatawan
mancanegara. Di sinilah setting film Tomb Raider yang dibintangi Angelina
Jolie.
Comments
Post a Comment