Ada Apa dengan Film Baik?

Dalam dunia pemberitaan sering kali berlaku asas "bad news is good news".
Pembaca/pemirsa "senang" dengan konten kriminal, skandal, tragedi, perceraian, kecelakaan, dsb. Asas tersebut sering berlaku juga dalam film. Namun tampaknya tidak berlaku untuk film DUKA SEDALAM CINTA (DSC) yang mulai tayang di bioskop sejak 19 Oktober 2017.

Film DSC berani 'mengambil risiko', keluar dari mainstream tsb, menerapkan hal sebaliknya: dominan menampilkan orang-orang baik melakukan hal-hal baik. Dan inilah yang sebenarnya kita perlukan dalam kondisi bangsa saat ini. Diperlukan bukan saja untuk mengingatkan orang dewasa agar terus berbuat baik, tapi juga sebagai 'materi ajar' orangtua untuk anak dan remaja.

Inilah salah satu kelebihan film DSC. Ia dapat dinikmati oleh seluruh keluarga. Sangat aman untuk anak-anak. Orangtua tak perlu bingung menitipkan anak saat mau menonton film ini 😉. 

Kelebihan lain adalah beragam pesan universal di dalamnya: keluarga sebagai tempat bersandar, hubungan kakak adik, persahabatan, juga nilai-nilai mulia seperti patuh pada orangtua, peka pada lingkungan sekitar, keberpihakan pada rakyat kecil, berhijab bagi wanita, hingga pentingnya membaca buku dan berdakwah dengan cara unik.

Sinematografi film ini cukup memuaskan. Kesemrawutan wilayah pinggir laut Jakarta bersanding dengan keindahan laut, pulau-pulau, dan bentang alam di Ternate dan Halmahera Selatan.
Seakan mengingatkan bahwa negeri kita adalah negeri kepulauan dengan bentang pantai terpanjang di dunia. Sebuah sentilan untuk memaksimalkan sumber daya tsb.

Lantas, apakah film DSC terlalu dijejali pesan-pesan kebaikan? Dan apakah mudah dipahami anak dan remaja #zamannow? Kadang kita lebih mengkhawatirkan bagaimana kebaikan mempengaruhi kita dibanding ketidakbaikan yang seperti air bah menghantam keluarga kita; tanpa bisa kita bendung, tanpa kompromi, dari empat penjuru mata angin. Mungkin saya lebay, tapi itulah realita yang terjadi. Jadi, kebaikan juga harus selalu digelorakan dan anak remaja kita tidak jadi generasi bingung.

Menonton film ini juga dapat menjadi golden moment bagi orangtua untuk berdiskusi hal-hal yang mungkin muncul dari anak dan remaja dari film ini. 

Oh ya, siapkan tisu terutama untuk Anda generasi X yang menikmati cerpen Ketika Mas Gagah Pergi di tahun 90an , karena beberapa adegan akan menguras emosi Anda 😄, ditambah iringan musik yang digarap khusus Dwiki Dharmawan hingga ke Praha, Republik Ceko. Bikin saya menangis hingga empat kali selama menonton film ini. []

*paragraf pertama diambil dari status FB Zaki Fathurohman

Comments