[Travelogue] Backpacking Bangkok, Hanoi, & Ha Long Bay - bagian 2

Tiga puluh empat tahun berlalu sejak Perang Vietnam meluluhlantakkan negeri tersebut. Hampir sama dengan dimulainya orde baru. Namun kini, Vietnam adalah negara dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Bila pariwisata Indonesia masih terseok-seok dengan segala macam persoalan, Vietnam makin kinclong sebagai tujuan utama para turis bila berkunjung ke Asia Tenggara.

Uniknya Imigrasi Vietnam

Meski hanya mengujungi Hanoi, ibukota dan kota terbesar kedua di Vietnam setelah Ho Chi Min (Saigon), saya bisa merasakan aura pertumbuhan dan cukup pesatnya pembangunan di Vietnam. Dalam bidang pariwisata misalnya, Hanoi makin menyejajarkan diri dengan Thailand, untuk menjadi negara tujuan utama turisme, terutama di Asia Tenggara. Pemerintah Vietnam berusaha mengemas pariwisata sebaik mungkin. Turis dimanja dengan tur-tur ke daerah tujuan wisata yang terjadwal dengan rapi dan dengan harga yang cukup murah. Hotel-hotel murah juga bertebar. Lumayan bikin iri! Tapi... sebelum lanjut tentang pariwisata Vietnam yang makin bersolek, rewind dulu dari kedatangan di bandara :-).

Dari beberapa negara yang saya kunjungi, imigrasi Vietnam—sejauh ini—adalah imigrasi yang cukup unik. Kami cekikikan saat menerima paspor yang telah dicap. Pasalnya, bila di negara-negara lain paspor dicap secara berurut sesuai dengan terpakainya halaman paspor, maka petugas imigrasi Bandara Noi Bai, Hanoi, dengan cueknya mencap di halaman paling belakang paspor. ”Huh, aneh banget sih. Kan jadi nggak keliatan kalo aku udah pernah ke Vietnam,” ujar teman backpacking saya, Mbak Ade, bercanda.

Yang lebih unik, kartu imigrasi yang telah kami isi dan juga telah dicap oleh petugas, cuma sekadar formalitas saja. Biasanya kartu imigrasi kan ada dua bagian. Satu bagian disimpan oleh petugas imigrasi, dan bagian lain disimpan oleh pengunjung sebuah negara, untuk kemudian dikembalikan saat kita keluar dari negara tersebut. Nah, kartu imigrasi tersebut saat kami keluar juga tak diminta. ”Ahhh, lumayan, nanti aku laminating buat kenang-kenangan...” seloroh Mbak Ade lagi. Hahaha!

Jumlah Motor = Jumlah Penduduk

Belum jauh beranjak dari bandara, kami sudah disuguhkan keunikan lain dari Vietnam. Yup, ”motor cross”! Dua motor bertabrakan. Tampak dua orang terkapar di jalan. Belum lagi 200 meter mini bus yang akan membawa kami ke hostel bergerak, lagi-lagi ada tabrakan antarmotor. Pengemudinya tampak berdarah-darah (ini kata teman saya, karena saya nggak berani melihat, huks... paling takut melihat darah...). saya dan teman yang duduk di samping pak kusir, eh mas sopir, jadi latah. Teriakan ”waaa...” dan ”ya ampuuun...” beberapa kali keluar dari mulut kami, juga beberapa bule lain yang satu bus dengan kami (tentu beda teriakannya, oh my God, gitu...). Mas sopir hanya senyam-senyum simpul. Plis deh!

Jumlah motor di Vietnam memang sangat-sangat banyak. Bahkan katanya nih, jumlah motor di Hanoi sama dengan jumlah penduduknya yang kurang lebih 6 juta jiwa. Weleh-weleh. Sebenarnya sih, bukan hal yang aneh bagi saya melihat motor yang seperti laron di Hanoi. Indonesia (khususnya Jakarta) juga makin sesak dengan motor. Setiap rumah tangga di Jakarta, bisa dibilang memiliki motor, bahkan ada yang lebih dari satu kepemilikan motor. Soal kelakuan para biker juga agak mirip. Bedanya, biker di Indonesia masih lebih tertib (dikit siiih...). Sebagai contoh, penggunaan helm bagi pengendara motor, belum sewajib di Indonesia. Peraturan wajib helm sendiri belum lama diterapkan di Vietnam. Wajar sih kalau masih banyak yang melanggar. Di Indonesia saja perlu bertahun-tahun untuk menyadarkan biker akan pentingnya helm (hingga kini malah masih ada saja yang melanggar). Begitu juga mengenai penumpang motor. Hal yang jamak di Vietnam melihat motor ditumpangi 3 bahkan 4 orang!

Rupiah? No!

Kembali pada makin bersoleknya dunia pariwisata Vietnam, jujur kami agak iri juga. Contoh kecil soal penginapan murah untuk turis. Hanoi cukup memanjakan para backpacker. Di wilayah Old Quarter ada seabreg penginapan murah dengan tarif 6-15 dolar (untuk 2 orang). Jadi sekitar 30-75 ribu rupiah/orang. Hotel Especen tempat kami menginap tarifnya 12 dolar (yang kemudian turun jadi 10 dolar untuk hari ke-2, hehe). Dengan tarif itu kami mendapat fasilitas AC, kamar mandi di dalam, plus televisi dengan channel internasional. Hotel juga menjadi perantara untuk tur-tur ke daerah tujuan wisata seperti Ha Long Bay, Sa Pa, Perfume Pagoda, dan sebagainya. Kita tinggal pilih jenis tur yang kita inginkan, bayar belakangan. 

Soal bayar membayar, Vietnam cukup fleksibel. Dolar diterima hampir di semua sudut, kecuali wilayah terpencil sepertinya. Beli pisang dari seorang ibu tua yang membawa keranjang di pinggir jalan pun bisa dengan dolar. Bagaimana dengan rupiah? Duh, menyedihkan. Jadi begini, sejak awal menginap di hotel kami sudah cek bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan kartu kredit. Jadi kami santai saja, hingga di hari terakhir kami akan membayar, ternyata mesin kartu kreditnya rusak. Nah lho! Padahal uang dolar cash kami kurang. Kami bingung dan akhirnya nekat bertanya pada si mas penjaga sekaligus resepsionis dan kasir (hehe) penginapan, apakah kami bisa membayar dengan mata uang lain? Setelah kami menghitung, masih ada ringgit di dompet kami. Mendengar kata ringgit, dia bilang: ”Oo... ringgit... ringgit... okay, okay...”. Terus kami iseng bertanya lagi, bagaimana dengan rupiah? Si mas bingung, kami bilang rupiah, mata uang Indonesia. Dengan yakin dia menggeleng: ”No... no...”. Huhuhu. Kesian deh rupiah.

Must See in Hanoi

Berikut beberapa tempat ”wajib” dikunjungi bila kalian ke Hanoi:

1.      Old Quarter

Merupakan kawasan kota tua yang sudah ada sejak abad ke-13. Secara umum bangunan-bangunan yang ada di tempat ini pada mulanya difungsikan sebagai pusat aktivitas, baik aktivitas perdagangan, pelayanan publik, maupun pemerintahan. Ada 36 jalan yang ada di Old Quarter, dan masing-masing dinamai sesuai dengan aktivitas yang ada di jalan itu. Misalnya saja Hang Bac tempat para perajin perak, Hang Da (perajin kulit), Lo Ren (pandai besi), Hang Giay (pembuat sepatu), Cho Gao (pasar beras), atau Hang Huong (penjual hio). Kalau nggak mau capek berjalan kaki, bisa naik becak untuk menyusuri Old Quarter. 

2.      Hoan Kiem Lake

Terletak tak jauh dari Old Quarter. Danau ini adalah landmark kota Hanoi. Di waktu pagi dan sore, daerah sekitar danau dipenuhi oleh masyarakat Hanoi, baik untuk olahraga, atau sekadar duduk-duduk. Di tengah danau ada kuil kecil. Kalau mau beli suvenir khas Vietnam juga banyak tersedia di toko-toko di sekitar danau. Jangan lupa untuk menawar dan jangan menawar bila tidak berminat untuk membeli, kita akan terus diikuti. Hal itu terjadi pada teman saya yang tertarik membeli buku Lonely Planet. Kami diikuti terus hingga akhirnya teman saya menyerah dan membeli buku tersebut, yang ternyata ... bajakan :D.

3.      Water Puppet Show

Bisa dibilang nggak lengkap ke Hanoi nggak nonton Water Puppet Show. Pertunjukan boneka yang digerakkan oleh pemain-pemain yang ”berendam” di air ini memang segar dan lumayan kocak. Gedung teater terletak tak jauh dari Danau Hoan Kiem. Pertunjukan ada setiap hari, sore hingga malam dengan tarif 2-4 dolar. Kalau mau foto-foto selama pertunjukan, pengunjung harus membayar ”izin” memotret sebesar 1 dolar. 

4.  Ho Chi Minh Mausoleum

Tempat di mana kita dapat melihat jasad Ho Chi Minh (Bapak Bangsa Vietnam) yang sudah diawetkan. Terletak di Ba Dinh Square, tempat ini hanya buka di pagi hari hingga jam 11. Bangunan mausoleum ini terinspirasi Lenin’s Mausoleum di  Moscow. Kita tidak diperkenankan memotret jasad Ho Chi Minh.

5.     Temple Of Literature (Van Mieu)

Merupakan cikal bakal universitas pertama di Vietna,. Dibangun pada tahun 1070 pada masa Raja Ly Nhan Tong. Buka setiap jam 9 hingga 5 sore, terletak di. Jalan Quoc Tu Giam. [Bersambung]

*perjalanan ini dilakukan pada April 2009