Waterboom Menggusur Sekolah
Sejumlah siswa SD Negeri 81 Kota Jambi menghabiskan saat istirahat sekolah, Senin (24/3), sementara sebagian orangtua mereka berunjuk rasa ke DPRD Kota Jambi. Mereka memprotes rencana penggusuran sekolah itu untuk pembangunan waterboom yang sedang dibangun di bagian belakang sekolah mereka.
****
Sesak membaca Kompas tadi pagi.
Berenang saja, jangan belajar. Buat apa belajar dan sekolah, lebih enak senang-senang di Waterboom.
Memang sudah nggak ada tanah lagi ya?
Sampai harus menggusur sekolah?
Otaknya di mana sih?
Kadang saya ingin teriak: "Breng***!" (diedit deh :D) pada para pemuja kapitalis seperti pembangun waterboom ini.
Foto diambil dari SINI
tenang-tenang ...
ReplyDeletentar kayak syeikh di resto-nya Ummi Himma :)
maksudnya suudzhan?
ReplyDeletecontohnya: mungkin sekolah itu mau dipindah dan dibangunkan gedung baru yang lebih bagus?
Kalau diganti mungkin nggak masalah ya, tapi itu pun perlu waktu kan?
ReplyDeleteeeeh ... iya
ReplyDeletetapi maksudnya yg tenang2 diriku mpok...
udah panas sih tp belum baca berita lengkapnya gitu :)
iya, betul mbak.
ReplyDeletebenuuulll..sesak juga daku mbak ngeliat banyak ketidak adilan di negeri ini, ampe ada yang kelaparan sampe meninggal..huhuhu..pilu...
ReplyDeletehehe. iya, emang blm ada berita lengkapnya. tapi sepertinya bisa ditebak kok. ini bukan kejadian pertama (dalam kasus berbeda soal penggusuran, setelah itu muncul mal, plaza, dsb).
ReplyDeletekalaupun misal sebenarnya nggak digusur, trus dampingan gitu sekolah ama tempat hiburan? trus kalo pun sekolah misalnya udah gak kondusif, kenapa gak diperbaiki aja?
*miris* kayanya semakin kedepan akan semakin banyak lagi sekolah2 yang terpaksa digusur lokasi demi kepentingan pemodal seperti diatas... huuuufffff...
ReplyDeleteiya, dew. kalo mo diurut, bakal capek nangis kita.
ReplyDeletecerita sedih dari negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi........
ReplyDeletebisa2 ntar mal lebih banyak dari sekolah :)
ReplyDeletepadahal gak usah jauh2 di pelosok sana, di ibukota aja, siswa yg belajar dengan risiko tertimpa atap atau dinding sekolah yg udah mo rubuh masih banyak.
masak sih, na? bukannya udah abis dikeruk? :)
ReplyDeleteiya sih ...
ReplyDeletekl lokasi sekolahnya sendiri di mana Mbak Dee? di tengah kota atau pemukiman?
repot jg kali ya kl sekolah deket mall atau tempat hiburan...
they're such a distraction 4 these days' kids!
wallahu'alam ya, yud.
ReplyDeletekalaupun di tengah kota, ya kenapa sih gak nyari bagian tengah kota lain, kenapa harus dampingan?
dari tadi aku nadanya nanya mulu ya ama yudi, kayak yudi kontraktornya, haha!
yah gapapa, skalian belajar, siapa tau jadi kontraktor beneran :-p
ReplyDeletekebijakan2 seperti ini memang semestinya jadi bahan debat publik...
bukan cuma bahan negosiasi pemerintah - developer/business people
saya agak "panas" karena sambil ngedit cerpen (pemenang 2, lomba cerpen Annida beberapa waktu lalu). tentang guru yang mengabdi di pelosok (ngingetin ama film denias, tapi nih cerpen indah dan bacanya juga bikin sesak). Mo baca? nih ta'kasi sedikit kutipannya :D
ReplyDelete====
Dua tahun lalu, sungai, gunung, hutan, dan laut telah membelenggu bebasmu sebagai pemuda kota. Menyempitkan langkah. Membuatmu sangat tergantung pada satu-satunya motor butut dinas yang sepasang rodanya tak pernah lepas dari selimut lumpur. Bukan itu saja. Jumlah lampunya pun tak lagi sempurna. Rantainya longgar. Mesinnya selalu berderak. Kaca spion tinggal sebelah. Sungguh sebuah motor yang benar-benar butut. Kendati begitu motor itulah segalanya. Teman sekaligus rekan kerjamu.
Bersamanya kau jalani hari-hari sebagai guru di sebuah sekolah di pelosok Papua. Namun bukan guru yang hanya mengajar olahraga—seperti gelar dan keahlianmu—tapi semua pelajaran, sebab memang begitulah keadaannya. Di sekolahmu tak ada kepala sekolah, pustakawan, apalagi bagian administrasi. Di sekolah itu hanya ada guru dan murid. Kau dan anak-anak itu. Di tempat tinggalmu pun tak jauh beda. Hanya ada dua tetangga paling dekat. Pak Emus dan Pak Moses yang rumahnya berjarak 300 dan 700 meter. Kau dan mereka terpisah hutan dan ladang. Di saat seperti itulah si motor butut menjadi teman sejati. Menemanimu melewati hari-hari yang berat dan sepi.
Pun, bersama motormu kau hadapai liarnya alam Papua. Memulai rutinitas pagi dengan meniti jalan setapak yang hancur berlubang selama tiga jam. Selanjutnya menyeberangi sungai berpenghuni buaya selama dua jam. Lalu ditambah beberapa menit perjalanan darat lagi sebelum akhirnya tiba di sekolah. Lantas apakah murid-muridmu sudah menunggu di sana? Sungguh kau tidak pernah berharap. Sebab kau hanyalah seorang guru yang tak diharap. Seorang pendatang tanpa pengalaman mengajar. Guru muda yang kini sedang dilanda dilema. Apakah akan terus mengabdi atau menyerah kalah seperti yang lain—kepala sekolah yang minta pindah, para pegawai yang tak pernah datang, atau beberapa guru yang lebih sering berkunjung ke bar daripada ke sekolah.1
Kau tahu bukan salah anak-anak itu hingga lebih suka bermain daripada belajar. Lebih betah menjelajah hutan daripada duduk kaku di kelas. Alam memang lebih menarik dibanding buku. Berburu lebih seru dari berhitung. Menenteng panah lebih gagah ketimbang memegang pena. Tapi kau pun tahu kalau tenaga tanpa otak sama saja dengan keledai. Pandah memanah tapi tak bisa baca-tulis, mau jadi apa nanti?
amiiin. palagi dah punya usaha voucher ;D.
ReplyDeleteyup. dan ngingetin kita juga untuk lebih banyak berbuat, nggak cuma ngomel (kayak saya hehe)
Pandah memanah tapi tak bisa baca-tulis, mau jadi apa nanti?
ReplyDelete--------------------------------------------------------------------------------------------
Robin hood, biar bisa manahin para kapitalis n koruptor.. trus ambil uangnya n bikin sekolah alam... :D
Menahan amarah itu bukan pekerjaan mudah...padahal meneriakan kemarahan bisa mengundang banyak masalah bagi tubuh, mungkin berdzikir malah bisa memberi efek yg jauh lebih nyes ke dalam.
ReplyDeletewallohu 'alam bissawab...:)
wahahaha!
ReplyDeletesetuju banget kekeke
pengalaman smp di melawai yg tergusur pusat bisnis bakal terulang kembali. :(
ReplyDeletejambi... padahal tanah sumatera masih luas loh.
yup, setuju, pri.
ReplyDeletetapi marah juga perlu, asal sesuai dan pada tempatnya.
Umar bin khattab marah pada pejabatnya di sebuah wilayah yang tak adil, korupsi, dsb. Masalahnya, saya bukan Umar ya :D. (tapi saya gak marah kok, cuma sesak ;D)
iya, mau bikin waterboom yang airnya asli dari sungai juga bisa, sana di tengah hutan, hehe.
ReplyDeletepenasaran pengen tahu apa yg ada dalam pikiran tuh orang2
ReplyDeleteapalagi kalo bukan duit? kalo pun ada tujuan lain (memberi hiburan pada masyarakat) ya urutan kesekian puluh lah.
ReplyDeletebaru aja bbrp hr lalu miris bgt pas baca tiket platinum konser diana ross seharga 10 juta diborong ibu ibu pejabat..mrk dtg dgn dandanan yg glamour nyaingin si diana ross( kompas)...yaaaah di bidang apapun kyknya udh bener2 kebangetan...! ga ada sense of crisis...di bidang pendidikan semua gubernur, walikota, bupati cm mejenk doang di papan iklan ttg pendidikan gratis ...wajib belajar 9 thn dll....kenyatannya cm teori doang...anak2 putus sekolah seabrek2...terlebih di Banten ini..:(
ReplyDeleteoiya itu cerpen ttg guru yg bikin Gegge ya mbak dee? jd pnasaran pgn tau lanjutannya
hmmm, mau kasih komet apa? Ini contohlagi yang bikin sedih. Mudah-mudahan mereka pindahkan sekolah ke lokasi yng lebih bagus.
ReplyDeletenyokap pas baca di koran ttg tiket 10 juta itu, langsung ngomel2: heran banget, hari gini kok bisa jual (dan ada yg beli) tiket harga segitu. gak empati ama rakyat yg lagi susah, apa-apa mahal.
ReplyDeletekadang sampe mual ya, din, mikirin ini.
itu bukan cerpen Gegge, cerpennya Anindita. cerpen Gegge judulnya sekolah kundang (yang juara 1).
amiin
ReplyDeleteeh jangan remehkan manfaat ngomel yah.. apalagi ngomelnya bertema kayak gini! Kahiji, munculin masalah2 faktual ke permukaan dus menggugah kepedulian. Kadua, bisa mengundang dialog dialektikal: saling "serang" argumen dan bukti. Mungkin nggak sampai ke fromulasi kebijakan, tapi ini kan dah naikin pemahaman masalah plus pengertian antar-pihak dan kepentingan.
but we have to kipit kuul gaaais...!
cerpennya di-PM dong .. semua cerpen pemenang jg boleh hehehehe
ReplyDeleteAyo di boikot, Mbak ... Hm ... diapain ya enaknya ...
ReplyDeletesampai kering airmata *hiperbol* :)
ReplyDeletega bisa ngomong...
ReplyDeleteyeyy :p, ntar kalo annidanya udah terbit (buat edisi mei, hari pendidikan)
ReplyDeletehmm, direbus? digoreng? :D
ReplyDeleteboikot waterboom-nya? blm tentu menyelesaikan masalah kayaknya ya.
sariawan? :D
ReplyDeletewaaaah hebaaat berarti pemenangnya juara 1 dan 2 ngangkat tema ttg pendidikan ?
ReplyDeletesiiip deeeh !bosen dgn tema cinta yg kadang itu2 aja...:p
ufhhh jd gak sabar pgn segera september...katanya film laskar pelangi bakal beredar di bulan2 itu...semoga....;)
setuju, bos!
ReplyDeleteeh tadinya aku pikir kahiji itu bahasa jepang, ternyata sunda, hahaha!
gigi palsu copot...!! hehehehe....
ReplyDeleteyup, benul. lomba cerpen kemarin emang kita kasi tema, din (pendidikan, korupsi, budaya), ternyata lebih banyak yg milih tema pendidikan. melihat kondisi dan realita yg ada kali ya.
ReplyDeleteiya, peansaran juga, terutama ama sinematografinya ;)
There is no key to happiness. The door is always open. [Unknown]
ReplyDeletemba dian...aku suka ini.....
hahaha!
ReplyDeleteada hikmah besarnya...org tua jadi tanggap dan peduli sm pendidikan..tar kan klo sudah demo dan berhasil mrk jadi lebih perhatian sm kepentingan pendidikan....
ReplyDeleteklo utk sibloom...enaknya di apain yah..direbus kasih bumbu jadiin tomyam...jual ..kekeeke
Makasih, Mbak. Mau sih kusampein sama yg bikin, cuma unknown seh :D
ReplyDeleteIya juga sih ... kalo cuma boikot-boikot-an aja kayaknya ngga bisa memberikan pressure untuk pengelola waterboom. Duh, lama nian tidak membaca surat kabar Indonesia, tahu-tahu beritanya membuat miris begini :-(
ReplyDeleteKalo bisa di-sue oleh publik gimana, Mbak ? Tulis di koran dan majalah.
Speechless deh ... bagaimana kita mau memberikan pengertian kepada anak-anak bahwa pendidikan itu penting kalau pemerintah (dalam hal ini pihak tata kota) tidak mendukung ?
iya, bener, mbak.
ReplyDeletelaen dah kalo pengusaha resto yg ngomong :D. btw, aku suka tomyam lho, mbak ;)
jambi? pdhl lahan di situ bukannya masih banyak ya..
ReplyDeleteitulah, aya-aya wae kalo kata jarwo kuat :)
ReplyDeletekalo baca koran, tiap hari bakal sesak, mbak :)
ReplyDeleteperlu banyak pihak yang turun rembug memang. kalo cuma teriak2, tapi gak ada aksi nyata (ya lobi2, pressure, dsb) susah juga.
komenku senada seirama ama mba onit (halo mba Onit, SKSD niy sayah :D)
ReplyDeleteJambi gitu lho? Bukannya masih banyak hutan di Jambi?
Ahh...jangan-jangan pemdanya mo ngasi kejutan mba, sebenernya mereka udah bikin sekolah pengganti yang dahsyatnya kayak wateblum ituh :p
maksudnya, sekolah pake aer gitu, fe? hihi
ReplyDeleteyah hihuhihu aja deh...selalu dan selalu terulang lagi kejadian kayak begini. Sampe kapan ya semua ini? :(
ReplyDelete*sampe mba Dee jadi presiden kali baru selesai masalahnya?*
wuih, kalo saya jadi presiden, bakal semaput yg jelas, fe. hehehe
ReplyDeletetenang mba, sebelom semaput dah kupijitin *perkenalkan:saya asisten presiden* :D
ReplyDeletewahahaha *guling-guling*
ReplyDeletemiris dengernya... :((
ReplyDeleteduh, kok pd ga pny hati y nggusur skolah? Kapitalis itu sdg mencetak gnrasi kapitalis baru yg skolahnya d waterboom. Yg prosotannya laju gedenya jd pejabat. Ohhh, negriku...
ReplyDeleteiya, teh.
ReplyDeletekalo dari waterboom itu bisa mencetak perenang berprestasi internasional, yang membawa harum negeri, mungkin oke ya (tapi, plis deh, mencetak perenang intl dari waterboom :D)
ReplyDeletecoba kalo ngga sakit gue bakalan ikut demo...huh...
ReplyDeletehmmmm.... aq jg pernah menggusur mba. Waktu itu kucingq lagi tidur di kursiku, jd kugusur deeh ^__^
ReplyDeletemba stalis sakit apa?? syafakillah, moga cepet sembuh dan fit kembali ya, mbak...
ReplyDeleteini mesti didemo juga, karena telah melanggar UU KK (Kenyamanan Kucing)!
ReplyDeletehuhehehehehe, abis gimana dong... ada 3 kursi.. 33nya dipake sama kucing semuaa... aiiih jd kaya pilkada nih, rebutan kursi.. hihihi
ReplyDeletejambinya dimananya teh dee?
ReplyDelete