Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | John Wood |
Penulis: John Wood
Penerbit: Bentang
Tebal: 367 halaman
Comfort zone atau zona nyaman, istilah ini sering kali ditujukan untuk kondisi dimana segala sesuatu berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Aman, terkendali, dan tidak berbahaya. Kondisi ini sering membuat seseorang enggan keluar dari zona tersebut. Dalam dunia profesi, zona nyaman bisa berbentuk pekerjaan yang menyenangkan, gaji tinggi (bisnis maju) serta fasilitas pendukung hidup dan jaringan serta pergaulan sosial yang baik.
Namun zona nyaman sering kali melenakan. Sebab kenyamanan tersebut belum tentu sejati. Ia bisa menipu dan membatasi terbukanya peluang memperoleh kesuksesan atau kebahagiaan dalam bentuk lain yang lebih bermakna. Terkadang seseorang jadi “lupa” mengembangkan dirinya, “lupa” pada kondisi sekeliling yang membutuhkan kontribusinya. Bahkan ia bisa terperangkap. Menyangka bahwa kondisi itu adalah impiannya selama ini, meski ia harus berjibaku dengan target-target dan terjebak dalam rutinitas. Seorang teman misalnya, keluar dari perusahaan tempatnya bekerja yang menjanjikan kesuksesan, kemudian pindah ke daerah pelosok untuk mengabdi sebagai guru.
John Wood, penulis buku ini, pernah berada dalam zona nyaman tersebut. Karir cemerlang di perusahaan terkaya, Microsoft. Apartemen, kendaraan pribadi, serta perjalanan dari satu negara ke negara lain. Namun, batinnya tak nyaman. Tahun 1998, saat berlibur selama 21 hari di pegunungan Himalaya, Nepal, untuk melepas penat dan rutinitasnya bekerja sebagai Direktur Pemasaran Microsoft Australia, ia menemukan “dirinya”. Menemukan ironi bahwa Nepal adalah negeri dengan prosentase orang buta aksara tertinggi di dunia (70%).
Pertemuannya dengan Pasupathi, pria Nepal yang bekerja untuk menemukan sumber-sumber daya bagi 17 sekolah di provinsi Lamjung, membuka mata John. Bersama Pasupathi, ia mengunjungi sebuah sekolah di Desa Bahudanda. Di sana John menemukan kenyataan, sekolah yang memiliki 450 murid tersebut mempunyai perpustakaan yang tak ada bukunya. Ada beberapa buku yang disimpan di lemari kaca, namun buku-buku tak layak baca, yang dibuang pelancong beransel. Saat meninggalkan sekolah tersebut, seorang guru memohon agar John dapat kembali ke sekolah tersebut suatu hari dengan membawa buku. Dan John berkata dengan yakin, “Saya berjanji, kita akan bertemu lagi.”
Masih di Nepal, tepatnya di Kathmandu, saat itu juga John mengirim email (satu-satunya email yang ia kirim selama berlibur di sana) kepada 100 orang yang ia kenal. Permintaannya kepada orang-orang tersebut adalah mengirim 1 atau 2 buku ke alamatnya di Australia dan Amerika (rumah orangtuanya) atau berupa uang yang ia akan belikan buku. Saat itu ia hanya berpikir akan mendapat 100-200 buku.
Kembali ke Australia dan berkutat dengan pekerjaannya, John menerima email dari ayahnya yang mengabarkan buku-buku kiriman dari orang. Bukan 100, bukan 200, tapi 3.000 buku! Dalam beberapa bulan, bersama ayahnya, John kembali ke Nepal, memenuhi janjinya untuk kembali ke sana, dengan buku-buku. Keberhasilan tersebut kembali memunculkan pemikiran “keluar dari zona nyaman” bagi John. Setelah satu tahun lebih berpikir, John memutuskan keluar dari Microsoft (saat itu ia menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis Microsoft di Cina), dan mendirikan lembaga nirlaba “Books for Nepal”. Dengan modal kantong sendiri, John menjadi “CEO” lembaga tersebut—yang kemudian hari berganti nama “Room to Read” (RtR). Dalam kurun waktu 7 tahun, Room to Read telah membangun lebih dari 3.600 perpustakaan di negara-negara berkembang, menyumbang dan mempublikasikan 3 juta buku, membangun 287 sekolah, serta memberikan lebih dari 3.400 beasiswa jangka panjang untuk anak-anak perempuan.
Tentu, hasil itu tak begitu saja diraih John. Selain harus merogoh kantong sendiri dan sekian dilema dalam hidup, ia juga banyak menemui tantangan dan keraguan dari orang yang diajak bergabung membantu program tersebut. Namun, tekad dan semangat mengalahkan itu semua.
Ditulis dari tangan pertama, memoar ini tak hanya menginspirasi namun, buat saya pribadi, memberi semangat untuk lekas bergerak (terutama resolusi untuk buka taman bacaan di rumah). Ada yang mau nyumbang rak buku? hehe.
Oh ya, yang menarik, pengalaman John Wood selama hampir satu dekade bekerja untuk Microsoft (bidang pemasaran dan pengembangan bisnis) membantu John untuk mengembangkan RtR. Jadi, dalam buku ini kita juga mendapat pengalaman John selama bekerja di Microsoft serta persentuhannya dengan Bill Gates dan Steve Ballmer—orang nomor dua di Microsoft.
belum selesai baca.....hiksz
ReplyDeletegaji level entry di Microsoft...$ 17.000
gak usah kaget gitu ah, na, gedean juga kita. UMR jakarta aja $ 800.000, eh rupiah dink, hihihi
ReplyDeleteyah.. makasih mba dee atas review nya
ReplyDeletejd gak perlu baca buku papanya Bintang :D
ok juga tuh buku ini mba, bisa dijadikan koleksi..ntar disempetin ke gramed deh ;)
ReplyDeleteJadi kepikiran soal zona nyaman sendiri...
ReplyDeleteini mah mamanya bintang aja males baca, hehehe
ReplyDeletebeli onlen diskon tu mbak :).
ReplyDeletesamma, mbak :D
ReplyDeletedi sana di tulis no HP-nya dia ga?
ReplyDeleteooo tnyt ttg perubahan worldview pribadi toh
ReplyDeletekupikir ttg dominasi you-know-who sbg salah satu MNC pengatur dunia :)
adanya no telpon penerbit bentang, hehe
ReplyDeleteini bukan buku harry potter, om yudi (hehe)
ReplyDeleteom volde... eh gates maksute?
kayaknya seh gak, di buku sih dia blg malah dia keluar (selain pengen "mengabdi") juga jenuh dgn microsoft.tapi sistem kerja di sana berpengaruh juga pada pengembangan RtR
mupeng Mbak Dee....hue..hue..
ReplyDeletewah kalo rumah strategis dan ada space utk naroh rak2 buku itu sih emang perlu didayagunakan =D
ReplyDeletethx for the book review. udah banyak org2 di dunia ini yg punya zona aman trus memutuskan utk keluar dan membagi keamanan ke org2 yg kurang aman zonanya..
the-one-whose-name-not-to-be-spoken = multiNational Corp penguasa pasar software dunia :)
ReplyDeletesama2, nit. iya neh, kalo mba lagi bingung, ada di zona nyaman ato gak? hihi
ReplyDeleteooo, dolby si peri rumah, hehehe
ReplyDeleteah om yudi maen petak umpet neh.
hihihi. blm tentu gaji segitu bahagia, buktinya om john tu hehe
ReplyDeletemain pLetak umpet aja yok :)
ReplyDeleteyooook! hom pim pah..! yudi kuciiiing!
ReplyDeleteboleh... mbak dee yang di-pletak ya :)))
ReplyDeletekekeke. spt baisa, yudi suka paketan kalo ngeluarin opini. hayoo dunk, ntu soal MNC dan u-know-who jelasin dikit :p
ReplyDeletewah gak ada yg penting kok mbak dee...
ReplyDeleteCuma lihat judulnya yg ada kata2 "leaving mnicrosoft" + "change the world"-nya, aku pikir ini buku ada bau2 politik-ekonomi internasional. Kupikir isinya ngajak "ayo boikot microsoft biar bisa ubah dunia"... atau semacemnya deh...
Kok bisa? yaa ada sebagian orang/pakar yang percaya bahwa adanya perusahaan2 gede multibangsa plus kepentingannya tuh nggak sehat bagi (bahkan penyebab sakitnya) tatanan bisnis, ekonomi maupun politik internasional....
nah tuh dah di-pletak deh
nah benjol tuh. weleh, kesimpulan mahasiswa PhD ekonomi sekalee, haha.
ReplyDeletehmm, btw, kayak john perkins di confessions of economic hitman, gitu?
ya semacam itulah... mbaq'e :)
ReplyDeletehehehe, iya nih... kirain bukunya berisi ajakan untuk meninggalkan microsoft :D
ReplyDeletebtw, ceritanya si John ini menarik juga ya...
bikin makin semangat mewujudkan taman bacaan ituw :D
ooo.. *ngangguk2*.
ReplyDeleteemang bisa diperdebatkan sih "pengakuan perkins", tapi fakta (??) itu tak bisa dinafikan juga kan, yud?
iya, tin. hayook hayoook... diskusi ttg sinergi waktu itu gimana neh follow upnya? *nunjuk diri sendiri hehe*
ReplyDeleteWah, iya neh mbak Dee... mau banget!
ReplyDeletejadi gimana...
insyaAllah pas pulang nanti mau diskusi ama orang rumah, yang nantinya bakalan menghandle semuanya.
klo ada bahan2 yang bisa buat baca ato bahan diskusi, mau dunk dikirimin ^_^
oce deh, tante. ntar diaduk2 dulu ya file2nya :D
ReplyDeletesiippp.. ditunggu mbak Dee ^_^
ReplyDeletekayaknya gak deh.. soalnya mbak dee kan pontang panting ngurusin banyak hal & banyak orang ;)
ReplyDeletehiks...buku ini masih hrs mengantre...:(
ReplyDeletedosa pribadi atau dosa hadiah? hehe
ReplyDeletehihihihi..dosa hibah :D
ReplyDeletetg jwb lebih berat itu :D
ReplyDeletejustru itu, bu....:(
ReplyDeletetante dee.. kapan datang ke rumah bintang
ReplyDeletediajakin bikin room to read di komplek rumahku lho