Rating: | ★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Other |
***
Review (atau yang hanya sekadar komentar) tentang film Ayat-ayat Cinta (AAC) di MP rame banget sejak pemutaran akhir februari lalu. Dari yang suka banget sampai yang mengkritik habis-habisan. Dari yang kesengsem sampai yang "menghujat" bahwa AAC film maksiat. Dari yang ngasi 1 bintang sampai 5 bintang. Wah, kayaknya jarang-jarang baca review film yang rentang "penilaian"nya benar-benar beragam seperti AAC.
Saya sendiri baru sempat menonton AAC semalam, bareng Tante Vita. Ada yang bilang: Yang udah baca novelnya, jangan berekspektasi terlalu tinggi sama filmnya. Saya sempat ngangguk-ngangguk dengan saran ini, tapi kemudian saya pikir, "Emangnya kenapa kalau saya punya ekspektasi? Toh, ekspektasi saya belum tentu sama kan dengan orang lain? Jadi, semalam itu ekspektasi saya adalah ingin menikmati sebuah karya seni.
Saya nggak mau membebani diri dengan membanding-bandingkan film dan novelnya. Saya nikmati ceritanya, akting tokoh-tokohnya, kalimat-kalimat yang keluar dari para tokoh, dakwahnya, sinematografinya, sound-nya, dll. Dan saya nyaman, dalam artian, saya tertawa kala adegan lucu, saya terharu, bahkan airmata mata sempat mengembang di pelupuk. Saya biarkan saja.
Lantas, apakah film itu tak ada kekurangannya? Tentu saja ada. Dengan setting yang tak sesuai, pemeran yang punya keterbatasan, penyutradaraan yang juga ada kelemahan, dll, AAC memang bukan adaptasi novel ke film yang bagus, meski tak berarti buruk. Beberapa kelemahan sudah banyak disebut di beberapa review para MPers, dan sebagian saya setuju.
Jadi, ya saya nikmati saja, saya amati tanpa saya mau "mempertarungkan" apa yang ada di otak saya. Sesekali saya dan Mbak Vita memang berkomentar, tapi kami lebih banyak menikmati. Menikmati rasa yang ada di hati kami. Sesekali saya teringat Habib, penulis novel, dan ini membuat saya kembali terharu dengan perjuangannya, juga dengan perjuangan teman-teman FLP dalam menegakkan pena. Juga mengingat perjuangan Mas Hanung saat membuat film. Selesai film pun, saya dan Mbak Vita melangkah ringan.
***
Buku dan film memang dua medium yang sama sekali berbeda. Untuk mengadaptasi (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya “menyesuaikan”) novelnya, kita harus mengikuti logika moving pictures (gambar hidup), di samping sistem produksinya.
Penulis adalah seorang pengarang (author, auteur). Buku adalah sepenuhnya karya dan tanggung jawab pengarangnya. Sedangkan dalam film, memang sutradara adalah pemegang kekuasaan dan wewenang dalam hal kreativitas, tetapi ia juga tergantung dengan karya perseorangan dari penulis skenario, penata fotografi, para aktor, penata musik, hingga penyunting gambar, dan tentu saja produser. Ada teori auteur dalam kajian sinema, yaitu ketika selera sutradaranya menjadi penentu satu-satunya. Tapi film jenis ini amat sangat langka, karena tidak mau tahu dengan selera pasar. (tulisan Ekky di Annida).
Inilah yang membuat saya santai saja menikmati AAC. Juga sesantai saya menikmati The Kite Runner (TKR), The Nanny Diaries (TND), dan PS I Love U PILU), tiga film yang juga adaptasi dari novel, yang saya tonton sebelum AAC. Ketiga film hollywood dengan pemeran yang peraih Oscar (TND & PILU), dengan dana besar, dengan sutradara dan segala infra struktur yang --katanya-- oke. Tapi, menjaminkah? Nggak juga. Saya memberi bintang 3 untuk ketiga film tsb, sama dengan 3 bintang sayang saya beri untuk AAC.
TKR mungkin punya problem setting yang agak mirip dengan AAC. Tak bisa syuting di lokasi asli yang ada di novel. Kalau TKR karena kekhawatiran ancaman dari pihak yang tak setuju dengan novelnya, sehingga syuting dilakukan di Cina. Sedangkan AAC karena kendala dana. Memang TKR lebih bagus dalam eksplor setting, tapi tetap saja ada keanehan. Pemeran tokoh Amir besar pun tak bermain cukup baik.
Bagaimana dengan PILU & TND? PILU lebih "nekat". Sang sutradara mengubah setting film dari Irlandia menjadi New York, Spanyol jadi Irlandia. Bukan karena kendala dana seperti AAC. Cerita pun diperas sedemikian rupa. Ending sangat hollywood, beberapa hal "norak" dijumpai dalam film (padahal nggak ada di novel) demi "mencairkan" film.
Saya menyadari betapa "memindahkan" novel ke film memang bukan pekerjaan mudah. Beberapa film seperti LOTR (yang saya nggak bosan menontonnya) bisa dibilang adaptasi yang berhasil. Tapi ada banyak film yang kurang berhasil. Dan saya pikir itu wajar, meski bukan berarti kelemahan itu lantas tak diperbaiki. Dalam hal AAC, saya kira kritikan dari review yang saya di MP, patut diperhatikan juga oleh sutaradara. Meski harus seimbang juga melihat perjuangan sang sutradara dalam mewujudkan film tsb. Setuju dengan Teh Rinrin, pujian jangan melenakan, kritikan adalah bentuk perhatian.
Wah, mau ngejar AI nih, jadi tulisannya masih mentah, hehe. Masih banyak di kepala, tapi udah malem :D. Anggap aja besambung (meksi gak janji nyambunginnya :D)
setujuuuuuu :D
ReplyDeletehebat euy reviewnya......
ReplyDeleteck ck ck......salut!!! apa yang dialami mbak Dee waktu nanton AAC mirip banget sama aku (nggak ikut-ikutan looo....:p). Pokoknya ngalir aja...meski kadang nyeletuk dan berbisik, "kok beda banget ya ama novelnya????", bla bla bla.... tapi tetap aja acung jempol untuk upaya mas hanung jadikan film ini...
Kemarin mau nonton PS: I love you, eh ternyata dah gak diputer di Chitos. dah semangat, kecele deh..
aku baru aja nonton AAC tadi,...g mennggebu2 banget menanti dari awal seperti yg lainnya, mungkin karena seperti kata mba dee mengharapkan sama dgn novel yg tentunya saja ceritanya dah tau tapi visualisasi tiap orang beda,..
ReplyDeleteTapi ya ternyata aku menikmati juga tadi...karena banyak haru mata berkaca2 tapi kutahan2 biar g netes...(biarin mengalir juga napa sich..kan gelap... hehe..)
Yg jelas aku jg suka nonton..jadi novel ma film beda..biarlah lain..
btw review mba dee Ok dech.. ;)
penasaran pengen nonton PILU.............
ReplyDeleteBener mba Dee,
ReplyDeletebiar aman mending kasih 3 bintang...
aku nonton sambil dengerin celetukan ABG2 di kiri kanan belakang....seru aja...:) mencoba menikmati....sama lah kyk mbak dee...;)
ReplyDeleteini katanya Hanung Bramantyo di blognya di FS :
Ini bukan pertama kali aku membuat film dari Novel.
Sulit? Tentu saja. Bukan hal aneh ketika novel di filmkan pasti mengecewakan atau 'tidak sesuai ekspektasi pembaca', sekalipun ada juga film lebih bagus dari Novelnya. Bicara soal bagus mana antara Novel dengan Film, saya tertarik dengan ungkapan Andrea Hirata (Penulis Lasykar pelangi yang akan difilmkan oleh Riri Riza): 'Jika Filmnya nanti tidak sesuai dengan expectasi saya, maka yang saya pertanyakan justru ekspektasi saya.' Sering gambaran imajinasi kita saat membaca novel menjadi sebuah tuntutan atas visual yang tampak di layar film. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi kita saat baca novel, maka kita kecewa. Secara tidak langsung kita membandingkan Novel dengan film. Padahal usaha membanding-bandingkan Novel dengan Film adalah tindakan kurang tepat. Kenapa? Karena Novel dan Film adalah dua hal berbeda.
Film adalah bahasa visual sedangkan Novel adalah bahasa tulis (baca: teks). Teks mampu membimbing imajinasi kita secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘Nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan, meloncat ke masa silam atau mendadak menjamah masa depan seolah tanpa ada beban. Tapi visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati dan latar belakang, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda. Kita bisa melihat teks yang dibuat Ayu Utami dalam Saman. Lomptan bahasa antara orang pertama, kedua dan ketiga dengan bebas Ayu mainkan yang mana belum tentu memiliki kekuatan sama ketika itu di visualkan. Pendeknya, membaca Novel dengan menonton Film adalah dua pengalaman yang berbeda.
Dari pemahaman diatas, saya memiliki kepercayaan diri untuk kembali menerima tantangan memfilmkan sebuah Novel. Tepatnya, melakukan adaptasi (secara bebas) sebuah novel ke dalam Film.
Hal pertama yang saya lakukan ketika membedah Novel Ayat-Ayat Cinta untuk dijadikan Film adalah memahami bahwa menonton Film berbeda dengan membaca Novel. Ketika membaca Novel, kita bisa melakukan interupsi, menghentikan sementara membaca novel dan dilanjutkan kembali dilain waktu. Tapi di film, tidak ada interupsi seperti itu. Ketika film diputar, penonton seperti penumpang sebuah kapal yang terbawa arus emosi cerita selama kurang lebih 2 jam. Karena itu hal terpenting ketika menuliskan scenario dari Novel adalah menentukan ‘Benang merah plot’, sehingga bisa disusun struktur dramatik film. Struktur dramatik menjadi ‘perahu’ bagi penonton. Jika dalam struktur dramatik terlihat kendor, maka seperti kapal yang tersendat lajunya. Oleh sebab itu susunan adegan dalam struktur dramatik menjadi penting untuk menjaga intensitas penonton mengikuti cerita. Dengan demikian Plot-plot yang tergambar di novel melalui bab-bab, tidak bisa dijadikan patokan secara mutlak untuk filmnya nanti. Disini saya dan Salman Aristo melakukan ‘seleksi’. Tidak semua adegan dalam novel muncul di Film. Ini bukan pekerjaan mudah. Habiburrahman (Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta) secara teks cukup detil menggambarkan suasana hati, lokasi dan latar belakang tokoh utama. Teks yang ditulis Habib meluncur secara bebas. Sering saya menemukan deskripsi tentang kondisi kairo ditengah paragraph yang berisi adegan romantis antara Fahri dengan Maria. Atau tiba-tiba saja, muncul deskripsi latar belakang Fahri yang anak penjual tape ditengah paragraph yang menggambarkan pernikahan.
Tentu saja scenario yang ditulis tidak semata-mata menuliskan seperti apa yang tertulis di novel. Kita mengurai adegan-adegan tersebut, kemudian kita kelompok-kelompokkan ke dalam sequence. Setelah itu baru dipilih adegan mana yang bisa masuk di film, dan adegan mana yang tidak. Dalam merangkai scene-scene di scena
lebih santai lagi kalau kita nilai sebagai oase, di tengah gersangnya perfilman indonesia yang sedang doyan-doyannya pada tema mistik (spt "hantu ambulance"). :D
ReplyDeletemakanya dee, gw bilang juga apa, nonton aja dah, ga usah pusing sama komentar miring. Nikmati aja. wong gw aja sepulang nonton bareng istri, pegangan tangan jadi ngerasa gimana gituh, lebih hangat. ternyata felem juga bisa bikin sisi romantis jadi membuncah *halah*. btw gw udah dapet file avi-nya, karena ga gw sebar2in da krn gw udah nonton bayar, jadi ga salah dong ya gue tonton dirumah lagi bareng istri kekeke.......
ReplyDeletekayaknya ini standar yg terjadi kalo dr novel ke pilem hihihi..
ReplyDeleteya mo gimana lagi.. pilem kan visual.. musti diseru2in..
kalo novel kan buat dibaca sendiri & direnungi.. ^^
udah nonton juga tapi diyoutube..jadi kasihan mas Hanung nih.filmya udah dibajak.
ReplyDeletejaman sekarang yg kaya beginian ga bisa dicegah. mending diikhlasin aja biar jadi sedekah. ntar diganti sama Allah lewat pintu yg lain.
ReplyDeletesepakath dech
ReplyDeleteyup....btw saya juga nonton di youtube :) ringan dan menghibur juga:)
ReplyDeleteiya mbak...
ReplyDeletekalau di tulisan bisa berkata-kata dengan seting yang bisa nyari dengan riset, pengalaman, dll... kalau di film kan susah ya....menuangkannya
tfs, reviewnya
jadi ingat pas nonton film the devil wears prada... novel setebel itu, diperas sampe jadi film...pusing kali ya sutradaranya :D
.....
ReplyDeleteAmin...
ReplyDeletebijak banget, Mas :D
tapi kadang ada beberapa sineas indonesia tidak siap dikritik...
ReplyDeletebahkan ada sineas yang dikritik malah ancam membunuh si tukang kritik....
moga2 mas hanung ga gitu....amiin..
aku udah baca TKR, udah beli juga dvdnya tapi masih ragu buat nonton filmnya...
ReplyDeletePasti susah lah kalau mau nyamain film sama novel, krn pas baca novel, kita (si pembaca) punya imajinasi sendiri, sementara film itu adalah imajinasi orang lain thd novel itu. Bahkan Harry Potter saja yg JK Rowling minta supaya isi film gak jauh beda sama isi buku aja juga masih gak sama pas di tonton.
ReplyDeleteMakanya saya sama anak2 punya rule sendiri, buat literatur yg dijadiin film, baca dulu bukunya baru nonton filmnya. Supaya imajinasi saat baca buku gak dipengaruhi sama imajinasi orang lain....;-)
Setuju mak dee
ReplyDeleteTetep belum nonton sampe hari ini, masih cari temen, huhuhuhu...
ReplyDelete*gak suka nonton sendirian*
pgn ntn TKR.
ReplyDeleteyup! LOTR itu visualisasi novel yang keren banget. Malah jadi lebih asyik ntn filmnya ketimbang baca bukunya. Tapi kalau To Kill A Mockingbird, jelas lebih detail bukunya. Lebih menyentuh, lebih emosional :)
ReplyDeleteRisiko film yang diangkat dari buku ya gitu deh akan selalu dibanding-bandingkan dengan bukunya. Apa lagi kalau bukunya laris dan telanjur disukai.
belum nonton 3 film itu dee..
ReplyDeleteayo nonton bareng di jogjaaaa.... :D
ReplyDeletendah, udah nonton belum ?. aku belum berani nih mau nonton TKR, ngeri ngebayangin ada adegan2 diluar perikemanuasiaan seperti yg tertulis dinovelnya...
ReplyDeleteBelum nonton AAC, TKR, PILU, TND... Padahal udah baca bukunya. Mau cari dvdnya belum sempat.
ReplyDeletedi tempat kos saya di Jogja, film ini diputar berulang-ulang walau dikomentari tapi tetap sangat digemari :D
ReplyDeleteblm, Et. Blm sempat cari DVD jack sparrownya hehehe
ReplyDeleteSetuju Mba Dee, Ketika nonton sebaiknya apa yang kita pikirkan dan niatkan adalah jelas murni untuk karya seni, bukan malah buat memastikan atau membandingkan, tapi aku jadi penasaran juga saat temen2 pada teriak berbarengan gitu “Loh ko Marianya ga meninggal juga seh…”, ini jadi introspeksi juga buat kita sebagai penonton, yang perlu belajar dan menambah ilmu tentang dunai sineas bukan hanya para seniasnya aja, tapi penikmat karya seniasnya juga. Agar kalaupun ada kritikan yang muncul adalah kritikan Karena kacintaan pada suatu karya yang bakalan membangun karya kedepannya jadi lebih baik. Dan si sineas yang dikritik jg jadi tambah ilmu untuk lebih ikhlas dan lapang dada menerima setiap masukan sebagai pecut untuk lebih memeperbaiki kesalahan di masa datang ….
ReplyDeleteBravo buat mba dee yang kata2nya selalu bikin orang penasaran …Aku jadi pengen onton LOTR ..^^
makacih mbak :)
ReplyDeleteweleh, di mana hebatnya, mbak'e?
ReplyDeletePILU hmm, gak nonton juga gapapa kok hehe
hehe, banyak juga tuh mbak2 en ibu2 yg nangis pas nonton.
ReplyDeletevisualisasi sutradara juga berbeda, jadi emang gak mudah menadaptasi novel ke film.
nanti aja kalo dvd-nya udah, fet. gak usah ngejar bioskop, biasa kok ;) (lagian bisokop juga kayaknya udah pada turun hehe)
ReplyDeletehehe.
ReplyDeletemakasi ye, non udah co-pas ke sini. jarang buanged buka FS soale :)
ReplyDeleteya, betul banget, kang tian. look at the brighter side, kata orang :). waktu aku nonton misalnya, sebagian besar penonton wanita misalnya adalah wanita tak berhijab (bukan bermaksud memilah ya). di sebelahku ada seorang mbak yang sepertinya wanita karir dengan rok mini, ikut terisak saat aada adegan sedih :)
ReplyDeleteyeee, sapa yg pusing ama komen orang? ;p
ReplyDeletetaelaa, suiitt suiiiitttt!
yap. meski kadang2 banyak juga sutradara yg terlalu berlebihan nyeru-nyeruin :D
ReplyDeletekata teman yg baru baca koran kemarin (penonton AAC udah tembus 1,5 juta): gapapa deh, udah untung itu si manoj, hehe.
ReplyDeletegak bener juga kayak gitu. bab-nya kan beda ya, mbak
kata teman yg baru baca koran kemarin (penonton AAC udah tembus 1,5 juta): gapapa deh, udah untung itu si manoj, hehe.
ReplyDeletegak bener juga kayak gitu. bab-nya kan beda ya, mbak
wah, kalo prinsipnya kayak gini, bisa tambah nyengir tu para pembajak, ndro :p. emang sih ada kondisi2 tertentu yg gak bisa dicegah, tapi yang udah kebangetan ya mesti dicegah (diberantas) juga kan?
ReplyDeletenovel devils saya gak baca sampe abis, bosen. tapi filmnya cukup bagus. yang maen meryl streep euy!
ReplyDeletesoal kritik mengkritik, ada etikanya juga, baik buat yang dikritik maupun yang mengritik.
ReplyDeletebetul, mbak. buat aku pribadi, kenikmatan MEMBACA itu gak bisa dikalahkan dengan nonton :)
ReplyDeleteduh, cuciaan, tuu ada yg ngajakin nonbar ;)
ReplyDeletegak banyak kok mbak, hampir gak ada malah. cuma pas amir berantem ama asif, trus pas hukuman rajam, tapi gak terlalu kasar.
ReplyDeleteaku malah blm nonton Too Kill... mbak. Susah nyari filmnya.
ReplyDeleteiya, betul, makanya bisa jadi dilema :D
gapapa mas, gak harus kok hehehe
ReplyDeletedvd jack sparrow (kayak kata mba endah) sih udah ada :D
ReplyDeleteterutama oleh para cowok, terutama "dualisme"nya fahri terhadap aisha dan maria haha
ReplyDeleteyup, betul banget. yang cerdas bukan cuma sutradara tapi juga penonton, juga produser (biar gak cuman berasas kapitalis :D)
ReplyDeleteaku donk udah ntn :)
ReplyDeletepengen rview aac tp dah banyak bangeet
ReplyDeletentar pada bosan deh
ah, blm tentu. cari angle lain dunk.
ReplyDeleteente males aje nulis neh :p
mpok tau aja...
ReplyDeletessst rahasia tuh.. kan tengsin ane !
o-ow kamu ketauan!
ReplyDeletehehe
waks
ReplyDeletekorban ringtone :))
haha.
ReplyDeleteseumur2 pake hape gak pernah pake ringtone lagu2, cukup yg ada di hape aje.
rugi ah bayar 10 ribu, hehe
datang dong ke eMV Cellular
ReplyDeleteJl. Oleced Raya No 3 Kuningan 45574...
gratis deh wehehe
wehh, punya dagangan die, pantesan ngomongin ego, haha!
ReplyDeletemahal di ongkos euy! kecuali dapet ringotne seharga 1 juta, hehehe
ntar ye ane rekam suara ane dulu
ReplyDeletepriceless deeeh :)))
waaa...! *pingsan*
ReplyDeletewah gawat
ReplyDelete*kabuur*
*siuman dari pingsan*
ReplyDelete*ngejar sambil bawa panci eh pentungan*
p.s. i love you walupun diambil dari novel ternyata sama persisi dengan film korea judulnya the letter. filmnya sekitar tahun 1990-an gitu mbak.sedasngkan novelnya juga baru ajah.nah, siap nyontek siapa nih?
ReplyDeleteyup mbak, mau ga mau kalau nonton adaptasi novel kita membandingkan sama versi novelnya.tapi akhirnya, yah emang ga kudu wajib mirip2 amat:D tapi kayak lord of the rings justru sutradaranya bisa menangkap gambaran dari novelnya.yang penting garis besar cerita ga ngawur gitu mbak mneurut aku:D