Menyemai Cinta di Negeri Sakura

Rating:	★★★
Category:	Books
Genre:	Nonfiction
Author:	Lizsa Anggraeny & Seriyawati

Menyemai Cinta di Negeri Sakura
Diary Kehidupan Dua Muslimah yang Tinggal di Jepang
Penulis: Lizsa Anggraeny dan Seriyawati
Penerbit: Samudera Press, 2007
Tebal: 197 halaman

Seorang teman yang pernah tinggal beberapa lama di Jepang berseloroh, “Orang Jepang itu lebih Islam dari kita yang Muslim.” Maksud sang teman, dalam beberapa perilaku seperti menepati waktu, disiplin, dan bekerja keras, yang pada dasarnya sangat diperintahkan dalam Islam, ternyata orang Jepang lebih baik dari kita. Itu tentu harus dilihat sebagai bahan evaluasi bagi diri-diri yang mengaku Muslim. Coba simak salah satu pengalaman penulis, Seriyawati, tentang perilaku orang Jepang.

Suatu hari ia menyaksikan seorang nenek yang berjalan terseok di trotoar jalan yang cukup sempit smabil mendorong kereta belanja. Di belakangnya seorang pemuda mengendarai sepeda berusaha melewati sang nenek. Namun karena trotoar yang cukup sempit, ditambah kereta dorong si nenek, pemuda tersebut kesulitan untuk mendahului. Yang menarik, pemuda itu tidak membunyikan bel sepedanya atau berteriak meminta si nenek memberi jalan. Si pemuda dengan perlahan tetap berada di belakang si nenek, sampai akhirnya si nenek sendiri yang menyadari ada seseorang di belakangnya dan memberi jalan sambil membungkukkan badan meminta maaf telah menghambat jalan si pemuda.

Lain waktu, penulis yang yang tinggal di Nagoya ini juga merasakan betapa selama tinggal di Jepang ia jarang sekali mendengar suara klakson mobil. Ketika ia bertanya pada suaminya yang orang Jepang asli, sang suami menjawab, “Ngapain bunyiin klakson? Kayak orang bodoh saja! Nanti juga kan dapat gilirannya kalau mau jalan.”

Pengalaman di atas hanya satu dari 30 kisah yang disajikan oleh Lizsa Anggareny dan Seriyawati dalam buku ini. Semuanya sarat hikmah, perenungan, juga pembelajaran. Memang, tak semua tentang Jepang adalah hal positif. Dalam kisah bertajuk “Ciaaattt...!” misalnya, Lizsa menuturkan kasus pelecehan seksual yang ia alami di bus kota dan kereta saat tinggal di Indonesia, ternyata ia juga mengalaminya di Jepang. Sepertinya, soal pelecehan seksual adalah permasalahan “dunia” :D.

Kedua penulis menuturkan pengalamannya dengan bahasa yang ringan. Kisah-kisahnya pun cukup singkat dan tak bertele-tele. Sekali duduk, kita dapat menyerap isi buku ini. Kebanyakan adalah kisah sehari-hari penulis dalam memaknai hidup. Ada kisah tentang istri yang mendamba anak dalam Mengapa Anda Ingin memiliki Anak?, tentang nikmat bersyukur dalam Teguran melalui Sebuah Jempol, tentang azzam melakukan kebaikan dalam Menyemai Cinta di Negeri Sakura, hingga tentang godaan makanan enak namun tak halal dalam Bukan Ungkapan Kecewa.

Pengalaman kedua penulis dalam dakwah Islam juga mewarnai buku ini. Dalam Islam Bukan Agama Bunglon, Seriyawati berkisah tentang keistiqamahan menjadi Muslim di negeri minoritas. Saat memperpanjang KTP di Indoensia, ia ditanya oleh pengurus RT apakah masih Muslim atau tidak. Seri tentu saja kaget. Di satu sisi, pertanyaan itu mengisyaratkan masih ada stereotype bahwa wanita (muslimah) yang menikah dengan orang asing akan berpindah agama. Di sisi lain, pertanyaan itu menjadi pengingat bagi Seri, sebab bukan hal mudah menjadi Muslim di negeri seperti Jepang. Bagaimanapun, ada juga yang berubah setelah tinggal di Jepang. Namun tak sedikit yang keislamannya bertambah kuat setelah tinggal di Jepang.

Buku ini diniatkan sebagai buku saku, yang tak njlimet dalam bertutur dan tak rumit dalam alur berpikir. Di satu sisi buku ini menjadi bacaan yang ringan, di sisi lain, kurang memberikan pengalaman berbahasa dan pemikiran yang lebih mendalam mengenai satu persoalan. Bila hal terakhir lebih digarap, dijamin buku ini akan lebih menarik.