It takes a village (tentang MFI yang menolak sensor)

Sudah lebih dari seminggu lalu--setelah baca artikel yang saya copy-paste di bawah--saya ingin menulis (lebih tepat: komentar) soal ini. Artikelnya sampai saya gunting. Tapi baru sempat sekarang. Ini sedikit komentar saya:

Saya lebih "ngeh" makna dari "it takes a village" saat membaca buku Hillary Clinton berjudul sama, di masa awal kuliah dulu (meski katanya yang menulis itu sebenarnya tim). Membaca pendapat Nia Dinata juga Dian Sastro tentang kehadiran LSF di bawah, saya jadi teringat pepatah ini.

Jujur saya nggak habis pikir, bagaimana seorang Nia dengan berpendapat bahwa "hanya" orangtua yang bertanggung jawab terhadap tontonan anak-anaknya? Aduhai, kasihan sekali para orangtua. Betapa makin berat tugasnya--yang sudah sangat berat--mendidik dan menjaga anak di jaman seperti ini.

Ya, saya tahu, menjadi orangtua memang bukan perkara gampang. Menuntut tanggung jawab begitu besar, tapi mendidik dan membesarkan anak bukanlah sekadar tugas orangtua biologis. Tapi, "perlu orang sekampung". Orangtua di sekolah (guru), di lingkungan sekitar, dan masyarakat luas pada umumnya. Lembaga seperti LS adalah salah satu dari elemen "orang sekampung" itu.

Kemudian pendapat Dian Sastro, bahwa adanya sensor film membuat kecerdasan bangsa Indonesia nol dan merupakan pelecehan terhadap orang Indonesia. Serta sensor film merupakan sabotase sebuah karya. Oalaa, saya bingung menangkap logika dari kalimat Dian. Bagaimana Dian yang cerdas bisa berpendapat seperti itu? Entahlah, saya yang begitu bodoh mungkin.

Saya mengerti bahwa kebebasan beraktifitas dan berekspresi adalah hak setiap warga negara, tapi sebuah kebebasan bukan an sich kebebasan toh? Sebab, sebuah karya (yang merupakan hasil dari kebebasan berekpresi) akan bersentuhan dengan masyarakat kan? Dan dalam masyarakat ada banyak lapisan. Ada adik-adik kecil kita yang tiap hari (bahkan pagi) disodori iklan kondom, iklan minuman penguat dengan fokus pada bagian tubuh (beberapa anak teman saya yang melihat iklan tersebut bahkan malu, padahal usia mereka belum lagi 7 tahun!). Belum lagi acara televisi yang penuh makian, ejekan, amarah, kata kotor dan jorok, takhyul (itu saja--katanya--sudah disensor!). Lantas bagaimana bila tak ada lembaga sensor?

Rate (klasifikasi) sebuah film--yang merupakan usulan MFI-- dimana masyarakat yang memilih sendiri, tidaklah cukup menurut saya.

Please, bantulah para orangtua mendidik anak-anak. Sebab semua anak adalah anak kita juga.

======================
Republika
Jumat, 08 Februari 2008


MFI: Ngotot Tolak Sensor
Sensor dinilai pelecehan terhadap sebuah karya.

JAKARTA--Sejumlah insan perfilman Indonesia keberatan bila Lembaga Sensor Film (LSF) bertindak sebagai badan 'penjaga moral' anak karena tanggungjawab penuh atas tontonan anak-anak itu ada pada orangtuanya. Keberatan itu diungkapkan saat Mahkamah Konstitusional (MK) menggelar sidang perkara No. 29/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman terhadap UUD 1945 di Jakarta, Rabu (6/2).

Permohonan keberatan itu diajukan oleh lima orang pemohon, yaitu Riri Riza (sutradara film), Nia Dinata (produser film), Shanty (aktris), Rois Amriradhiani (penyelenggara festival film), dan Tino Saroengallo (pengajar dan sutradara film). Pada sidang sebelumnya keterangan diberikan oleh Taufik Ismail, Ketua MUI, Deddy Mizwar dan lainnya selaku pihak yang pro-sensor.

Nia Dinata, sebagai salah satu pihak pemohon mengajukan keberatannya apabila Lembaga Sensor Film (LSF) bertindak sebagai badan 'penjaga moral anak'. ''LSF bukan penanggung jawab moral anak,'' katanya. Menurut dia, orang tua lah yang harus bertanggung jawab penuh mengawasi tontonan anaknya.

Nia menuturkan, bahwa ia dan Masyarakat Film Indonesia (MFI) mendukung kebebasan berekspresi. UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak memberikan klasifikasi terhadap jenis film dan reklame film yang dilakukan sensor. ''Gugurkan pasal mengenai sensor, ganti dengan lembaga klasifikasi dan rating yang independen sehingga tidak ada lagi sensor tertutup seperti yang dilakukan LSF,'' tambahnya.

Diungkapkannya untuk melahirkan suatu bangsa yang maju diperlukan tontonan yang cerdas, bukan dengan melakukan penyensoran di sana-sini yang akan menghilangkan esensi dari suatu film. ''Yang diperlukan hanyalah klasifikasi dan pencantuman peringkat di setiap film untuk `mengamankan` anak dari tontonan negatif,'' ungkapnya.

Senada dengan Nia, aktris Dian Sastrowardoyo menilai kehadiran LSF saat ini sudah tak layak. ''Dengan adanya sensor film, kecerdasan bangsa Indonesia nol,'' ujar Dian berapi-api. Dian juga melihat sensor adalah pelecehan terhadap orang Indonesia.

Dian juga membantah bahwa aksi yang dilakukan dirinya bersama MPI ini sebagai cara supaya mereka bisa membuat film porno. ''Kita tidak buat film pornografi. Jangan disamakan, tolong dipikirkan dengan seksama,'' katanya. Dian menyatakan untuk seorang aktris atau aktor sebuah adegan merupakan karya. Kalau sampai adegan itu dipotong oleh sensor, karya itu seperti disabotase. (akb/ant )

Comments

  1. mereka belum merasakan akibatnya secara langsung kali, mbak dee:)

    ReplyDelete
  2. Dn mrk lupa mb, bhw dg kontra thd LSF, menumbuhsuburkan para oportunis yg mlihat celah utk membuat film2 tak brmutu. Wong pinter tp keblinger..

    ReplyDelete
  3. Ya, ya, akur, Mbak:). kalo nggak salah, Hillary Clinton mengambil judul "It takes a village" dari sebuah peribahasa Afrika yang kurang lebih isinya,"butuh orang sekampung untuk mendidik seorang anak." Hmm...jadi pengen baca buku --yang katanya--inspiratif tersebut.

    Soal sensor, memang mutlak perlu. Dengan adanya LSF saja saat ini fenomena film-film seks komedi sejenis Quickie Express, Kawin Kontrak sampai XL (Extra Large) -- yang mengusung filosofi "bupati-sekwilda" dan pelecehan logika--sulit dibendung apalagi jika "sekedar" diklasifikasikan, yang otomatis perlu pengawasan lapangan yang ketat. Di bioskop 21 seperti Kalibata, Detos banyak anak SMP bebas nonton film yang kategori 17 tahun tersebut. Padahal katanya peraturan penangkalnya sudah ada.

    Sensor dan kreativitas rasanya tidak saling menegasikan dan bukan suatu dikotomi yang perlu dibentrokkan. Buktinya film-film Iran -- negara Mullah yang aturan sensor filmnya bahkan mengharamkan penampakan rambut atau aurat perempuan sesuai aturan Islam--banyak yang menang di ajang film bergengsi seperti Cannes. So, creative is in your mind. Saya turut berduka untuk Indonesia jika kelak MK meloloskan permohonan uji material MFI. Ini alamat "sandhykala ning Indonesia".

    ReplyDelete
  4. Kecerdasan macam apa yang bernilai nol itu? Adegan yang disensor pasti bukan merupakan adegan terpenting dari suatu film, kalau disensor pun gak akan mengubah alur ceritanya. Apapun yang hilang dari adegan yang disensor itu, tentunya bisa dicari melalui media lain yang lebih sesuai melalui buku misalnya.

    Cerdas kok dinilai dari ada tidaknya sensor.....:(

    ReplyDelete
  5. Kebablasan... Nggak habis pikir deh. Lagian mana bisa sistem rating diterakan di sini? Bikin SIM aja banyak yang nembak...

    ReplyDelete
  6. aku juga dah baca kesasksian dian dulu ttg sensor, sejak saat itu huh..sa...sh..kss ya..n *sensor*
    wong sura surat aja perlu disensor, apalagi ini sebuah film yg sudah terbukti banyak memengaruhi generasi bangsa...

    ReplyDelete
  7. Hemmh..yang pinter belum tentu bisa mikir bener ya..tergantung apa pola pikir and tujuan hidupnya

    ReplyDelete
  8. mbak dee izinkan diriku melihat dr kacamata yg agak berbeda ya...

    Ya wajar sajalah Nia Dinata atau Dian Sastro bilang seperti itu. Pikiran mereka kan terbentuk oleh lingkungan tempat mereka dibesarkan i.e. "industri" seni yg dinamakan film. Kita tahu bahwa industri ini berkembang (kebayakan) di negara penganut sistem sosial liberalis-kapitalis. Mereka mungkin "terpana" dengan bagaimana film bisa menjadi alat untuk mencerdaskan bangsa. Asumsi mereka tentunya salah satu faktor penyebabnya adalah adanya "bebas sensor" di negara2 tersebut.

    Sayangnya seperti yg Mbak Dee ulas di atas, mereka ingin mencomot idealisme tersebut tanpa memandang perbedaan konteks ekononimk sosial politis (dan cultural-ideologis) negara2 tersebut. Keadaan dan sistem sosial politik mereka memang menunjang praktek "bebas sensor". Misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang relatif lebih tinggi, sistem legal yang baik dan kuat, dan serta sistem "kesejahteraan rakyat" yang sudah mapan.

    Sebagai contoh, film2 di sono tidak segan memuat adegan erotis dan mempromosikan kehidupan seks bebas karena mereka tahu bahwa setiap bayi yang lahir tidak akan sengsara (ada tunjangan dari negara). Bandingkan dengan di Indonesia. Nah, bagi saya, nampaknya Nia dan Dian melupakan hal ini.

    ReplyDelete
  9. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321090&kat_id=18

    Tebing tak Tampak, Jurang tak Tampak.
    Taufik Ismail...



    Di desa kami ada Tebing yang Curam dan ada Jurang yang dalam. Di antaranya, ada sepetak tanah datar tempat anak-anak bermain. Tebing dan jurang tersebut dikelilingi oleh pagar'. Tiba-tiba anak-anak muda ABG yang sedang bermain, berdemo. Kami menuntut pagar dibongkar, kami menuntut kebebasan. Kami tolak pembatasan dalam bentuk apa pun.

    Apa itu pagar, apa itu pembatasan. Kami mau bebas sebebas-bebasnya. Demo berlangsung dengan hiruk pikuk. Namun, sekelompok anak muda lainnya yang tidak ikut berdemo hanya mengatakan bahwa mereka yang berdemo itu adalah buta semua matanya. Karena mereka tidak bisa melihat tebing yang tinggi dan jurang yang dalam. Yang kalau masuk ke dalamnya bisa patah tulang-tulang bahkan mati.

    ReplyDelete
  10. Masih gak ngerti dengan pernyataan ini. Memangnya kalau gak disensor, terus kecerdasan bangsa Indonesia bisa meningkat? Apa hubungannya? Yang jelas bila semua semua ponografi dan pornoaksi serta kekerasan diumbar, itu cuma memperburuk moral bangsa. Heran, kenapa yang paling menentang sensor dan UU anti pornoaksi/pornografi juga mayoritas wanita, ya? Padahal mereka 'kan justru sebagai objek *sori, kalau agak OOT*. Bukankah kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain? Kalau kebebasan yang kebablasan begini, bukannya malah mengganggu orang lain...*yang prihatin banget dengan tayangan TV dan film Indonesia saat ini:(* Semoga Pak Taufik Ismail dkk. bisa membantu memperbaiki situasi ini, Amiiin.
    Anak2 adalah aset bangsa, jadi tanggung jawab seluruh bangsa pula untuk menjaga dan memeliharanya, bukan ortu saja.

    ReplyDelete
  11. *menyimak serius*
    Setuju dengan semua komens reply-an di atas.

    ReplyDelete
  12. Ya, gimana ya.... Saya pikir bentrok seperti ini wajar saja karena asal usul berpikir Dian/Nia dengan Deeyand beda: yang satu mengikuti paham liberal/sekuler yang beranggapan negara perlu dibebaskan dari 'beban' mengawasi tingkah laku wilayah privat, yang satu lagi menganggap negara/LSF perlu jadi 'polisi' pengawas, antara lain karena alasan pragmatisnya.

    Kalau dipikir, membuat rating juga nggak memecahkan masalah soal membatasi penonton, karena seperti yang disebut rekan nursalam di atas, elemen pengawasan di cineplex lemah sekali.

    Jadi, kalau pakai sistem rating, sebenarnya beban pengawasan LSF sepenuhnya dipindahkan ke cineplex dan mbak-mbak yang tukang potong karcis. Naaaaa.... kalau sampai argumen Nia dkk lolos, kita perlu berdayakan relawan -seperti RELA di Malaysia- yang galak-galak untuk bisa ikut mengawaasi cineplex dan anak-anak sekolah yang nonton film diatas 18 tahun?? :D

    ps: katanya ada buku baru di sini yang judulnya "Pornified". Ini bisa jadi 'senjata' juga untuk melawan argumen bebas-bebasan soal pornoaksi/pornogrfi itu. saya belum baca.

    ReplyDelete
  13. pilihan lain yang lebih ekstrim: mulai dengan tidak menonton TV di rumah. tahap berikutnya, tidak menonton bioskop juga. :P

    kucing... TV-free since 2003.... hi hi hi.....

    ReplyDelete
  14. Perasaan film disini juga di sensor dech, coba aja kalau nonton sering ada beepnya,atau dipotong, terus juga jelas tujuan film itu untuk usia berapa.
    Orang Indonesia kadang sok Amerika daripada orang sini

    ReplyDelete
  15. Lah, lembaga klasifikasi apa bedanya sama sensor? Emangnya dikira lembaga klasifikasi di amrik bukan badan sensor? Setali tiga uang kaleee.... Cuma die gayanya lebih halus aja nggak kayak disini ama banyak ruang untuk negosiasi untuk mendapatkan rating tertentu, kalo adegan ini dipotong dapat rating PG 13, kalau nggak mau potong dapat rating PG 15 atau apalag strata ratingnya sekarang. Sama aja ;)

    ReplyDelete
  16. sependapat..
    masyarakat indonesia gak bisa dikasih demokrasi.. gak dewasa2..
    musti punya pemimpin otoriter..
    atau skrg dibiarin aja kecebur demokrasi sambil belajar.. moga2 ntar2nya bisa lebih dewasa..

    ReplyDelete
  17. *terus menyimak. kayaknya tambah seru, nih. sambil mikir utk nantinya cebur ke dunia perfilman biar bisa bikin film2 bermutu*

    ReplyDelete
  18. Wah, kalau gitu, perlu ada yang bikin studi banding antara LSF dan lembaga klasifikasi di Amerika. Kalau ternyata intinya sama, ya argumen Nia dkk bisa diterima dong?

    Tantangannya kan, di Indonesia yang nyatpamin kesesuaian usia dengan rating itu hampir tidak ada, seperti yang disebut-sebut beberap teman di atas. Jadi, untuk mengantisipasi runtuhnya LSF dan lahirnya lembaga klasifikasi itu, perlu dipikirkan cara paling oke untuk memfilter siapa yang berhak nonton dan tidak.

    Cara yang pragmatis: ada inspektur yang bisa sidak cineplex, juga ada ruang untuk warga untuk mengadukan cineplex yang tidak memfilter penonton. Biaya untuk ini dikenakan ke konsumen juga: misalnya retribusi sidak Rp. 500 setiap karcis. Kalau cineplex melanggar, ada denda yang BESAAAAR....

    Tapi.... tapi.... ini rentan korupsi juga dong?

    ReplyDelete
  19. yah elah, bung Onit.... masak mau mundur lagi setelah perjuangan 1998? memang harus ada 'learning curve' dong kalau mau belajar berdemokrasi, mesti ada 'sakit puber'nya juga.

    mesti dibedain, menurut saya, pemimpin yang otoriter dengan pemipin yang tegas.

    ReplyDelete
  20. om kucing, saya kan cuma mengiyakan tulisan om irmawan..

    sejak 1998 memang negri kita jadi kacaw balaw. demokrasi jalan tapi orang2nya kesana kemari, belum menemukan kebebasan yg bertanggungjawab. dan emang masih sakit puber. saking pubernya, ada dian sastro dkk yg menolak lembaga sensor pilem, dan direspon oleh orang2 yg menolak pendapat itu, seakan2 itu gerakan politik. pdhl mrk cuma lagi menyatakan wacana. kan kita bukan mau item putih "ada atau tidak ada lsf". gak bisa mutlak. musti dicari tau gimana2nya. studi banding yg bener.

    lsf yg ada aja blon beres kerjanya. film2 yg berisi kekerasan lebih marak di mana2, sementara adegan ciuman sebentar aja disensor. mana yg lebih penting? menghindarkan anak dari mbunuh orang atau dari ciuman sayang? --> tolong ini jangan dijadikan inti diskusi, ini cuma contoh aja. adanya lsf tidak berarti lantas anak2 kita aman dari racun2nya film.

    aku bayangin pendukung pilem yg cerdas2 macam dian sastro, udah bikin capek2 ehhh dipotong. aku sih cuma mencoba empati aja, berada dalam posisi dia. aku bayangin pilemku gak isi kekerasan kok dipotong, sementara pilem2 lain yg isinya kekerasan dengki2 jahat2an kok tetep berkeliaran..

    ReplyDelete
  21. contoh film nagabonar,..dan deddy mizwar yg pro lsf,...
    nagabonar contoh film yg buat aq merasa -sangat nasionalis- tanpa harus hapal UU 45 atau pancasila harus merasuk kekalbu dahulu..(apa pula nich..)
    ..klo orng2 film itu berpikir cerdas seperti D.mizwar.. mungkin lsf di Ina tak perlu ada.

    Tapi..diakui atau tidak bangsa Ina memang LATAH... sering meniru2 hal yg tdk berbudaya dan amoral atas nama demokrasi dan kebebasan. sy setuju jg dgn mba onit,..setelah 1998..Indonesia makin carut marut..kalau dulu orng2 mencuri dibawah meja (mash malu) dan terbatas, sekarang gak malu ngambil diatas meja..rampok klo perlu.. contoh demokrasi yang -sangat kebablasan-

    ReplyDelete
  22. Mbak (atau bung?) Onit,

    Saya setuju dengan komentar yang sampeyan kutip di atas.

    Kalau kita lihat kembali komentar tentang sistem rating dengan sistem sensor, sebenarnya bedanya apa ya?

    Kalau dari yang saya tangkap, bedanya adalah dengan sistem rating, pekerja seni lebih punya pilihan mau meletakkan karyanya di rating yang mana: G, PG, PG-13, R, atau NC-17 (ref: http://en.wikipedia.org/wiki/MPAA_film_rating_system). Ibaratnya kalau film Quickie Express (saya gak nonton ye... jadi nggak tahu yang sebenarnya) mau dipaksa masuk G, ya mungkin cuma tinggal judul dan credit title aja yang bisa dilihat penonton semua umur.... Kalau pekerja seninya rela, ya monggo. Kalau mau tidak disensor, ya harus masuk NC-17.

    Terus juga, logikanya faktor kekerasan juga perlu masuk dong dalam kriteria rating, nggak cuma faktor seks.

    Kalau misalnya persepsi saya ini bener, lalu keberatan tentang pengalihan dari LSF ke rating masih berlaku nggak? Gimana nih Deeyand?

    ReplyDelete
  23. kalau ini, menurut saya, bukan contoh demokrasi yang kebablasan... emang dasarnya aja orang korup :).

    mungkin kita perlu mengambil hikmah juga, bahwa bukan demokrasinya yang salah... tapi kitanya yang belum mampu -kalau pinjam istilah anak-anak Masjid jaman saya dulu kuliah- "mensibghah" orang Islam untuk menolak yang begini-beginian. Jangan cuma sektor supply-nya yang kita salahkan, kita perlu bercermin lagi... lah kok bisa ada demand.....

    Demokrasilah yang berhasil menggolkan penghapusan larangan mengenakan jilbab di Turki, tak iye?

    ReplyDelete
  24. Iya ya..tapi orang2 sana tau berdemokrasi yang benar..kali yee.. :)
    soal beberpa org ina emang dasarnya korup... akur juga.. :)


    ReplyDelete
  25. emangnya si dian sastro cerdas ?.
    lebih pinter mbak dee kemana-mana deh :)

    ReplyDelete
  26. Wah jgn pesimis dong Mbak, pd dasarnya smua manusia kan dikaruniai kecenderungan pada dua2nya: kebaikan dan keburukan...

    Ttg demokrasi, bagi beberapa orang, masalah demokrasi (liberal) terletak pada konsep bahwa kedaulatan (negara) ada di tangan manusia. Manusia yg liberal bisa saja menerapkan aturan yg bertentangan dengan aturan Allah SWT. Namun IMHO, saya cenderung tidak mengahakimi saklek demokrasi jelek atau baik.

    Sebagai sebuah "barang" kreasi manusia ia tidak bisa dihakimi terlepas dari konteks tindakan pelaksananya. Kayak pisau aja, orang nggak bisa bilang pisau "haram" karena melihat ia dipakai membunuh manusia. Yang haram adalah membunuhnya, sedangkan pisaunya sendiri bisa saja dipakai untuk motong sayuran misalnya. Demokrasi bisa jadi menentang Tuhan kalau dilaksanakan orang yg tak peduli dg Tuhan tapi bayangkan kalau pelaksananya (mayoritas) orang saleh.

    Saya malah punya prediksi kl demokrasi bs jd adalah sunnatuLlaah yg akan mengembalikan Islam sebagaimana di masa Rasul. Ini karena demokrasi membuat ajaran Islam bisa diakses siapa saja. Akibatnnya, banyak orang memilih Islam dg komitmen tinggi krn piliha mrk dilakukan stlh melalui "pergulatan intelektual". Buktinya, di negara2 lib-dem spt USA Islam adalah "the fastest growing religion" (lihat misalnya www.cnn.com/WORLD/9704/14/egypt.islam/)

    ReplyDelete
  27. mbak eti, dian tuh lulusan jurusan philosophy UI lo :)

    ini jg bs jelasin posisi dia ttg LSF, kan sitem kemasyrakatan di sono banyak didasari pandangan filosofis bahwa dlm menentukan ukuran & etika moral, manusia tidak memerlukan bimbingan tuhan (mis. teory "abandonement")

    ReplyDelete
  28. Komennya podo dowo-dowo rek... Aku mung iso mlongo moco teorine Kang Yudi... Soale biasane ngaco jeh. Gara-gara postinganku sing nagco sisan paling yo...

    ReplyDelete
  29. ni yg komen dah 21 taon blm? kl belum lapor LSF dulu gih :-p

    ReplyDelete
  30. Lagian curang amat... emang batasan umur LSF 21 taun yak? Perasaan dari dulu 17 tahun deh. Aku udah 17 tahun lho

    *mbak dee numpang protes ke Kak Yudi di sini yak ^_^*

    ReplyDelete
  31. Mbak Irmawan, saya terkesan pada tulisan anda yang terang dan mudah dimengerti. Dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar pula. Jadi malu hati...... :)

    ReplyDelete
  32. wah saya mbak yang paling ganteng dooong :)))
    kl replyan di jaring pertemanan online kayak gini mah nggak usah khawatir bahasa yg baik dan benar lo Mbak/Mas :)

    ReplyDelete
  33. aku ga mau kasih komen mbak dee... cuma mau ketawain si abang aja
    ini kali keberapa ya dipanggil mbak qeqeqe.....

    ReplyDelete
  34. wah kalo mba', namanya A'Yudi bukan irmawan tapi irmawati :p

    ReplyDelete
  35. nyeletuk ah..
    sama2 cerdas dunk ;)
    sama2 lulusan fakultas yg sama di univ yg sama... hihihi

    ReplyDelete
  36. Wah, maaf ya teman2, waktu itu abis posting langsung pulang. Ternyata seru neh reply-replynya. Lagi saya bacain, so komen saya ntar ya, hehe. Tapi kayaknya gak perlu dikomentari lagi ya :D

    ReplyDelete
  37. hm, tanpa mereka harus merasakan akibatnya secara langsung, mestinya bisa melihat dampak yang ada pada orang lain ya, tan.

    ReplyDelete
  38. yup, oportunis2 yg gak peduli bangsa ini mau hancur, mau jaya, pokoke mereka untung, gitu kali ya mbak :)

    ReplyDelete
  39. Betul, nursalam. Bukti yang elegan betapa sensor tak berarti memasung kreativitas.
    Bukunya saya punya, silakan kalo mau pinjam :)

    ReplyDelete
  40. Yup, toh anggota LSF juga bukan orang sembarangan yang main babat sana-sini.

    ReplyDelete
  41. hehe. sistem rating bisa aja, tapi asal mekanisme sensor tetap ada, bukan sekadar naro label.

    ReplyDelete
  42. mungkin benar menurut pemikiran mereka, tapi belum tentu sejalan dengan orang lain.

    ReplyDelete
  43. siip, kacamatanya keren kok. silauuu, man hehe.
    saya setuju, yud.

    ReplyDelete
  44. hehe, mbak kucing abis operasi ya, jadi om deh :D
    yang mbak dibilang om, yang om dibilang mbak, haha

    ttg sensor, bukan hanya yang berhubungan dengan seks aja lho, nit, tapi juga kekerasan. dan dlm hal ini memang harus diakui, masih banyak film/acara yang mengandung kekerasan, pelecehan dsb. seperti halnya isu playboy, playboynya sndiri hanya momentum, sebelumnya kan udah banyak majalah kayak popular, fhm, cosmo, dll yang menjajakan "keterbukaan". dan itu juga diprotes.

    ReplyDelete
  45. Kalo seperti ini, ya cuma beda nama aja kan Mbak? (seperti pendapat Jeng sita/agatogata)

    ReplyDelete
  46. wah, masak sih, nit? kesimpulan terlalu simpel deh kayaknya.
    setuju ma kucingkembar, lebih tepat "tegas" kali ya.

    ReplyDelete
  47. tadinya mo co-pas puisi ini, din. thanks udah co-pas-in :)

    ReplyDelete
  48. gak usah yg terkenal2 itu mbak.. yg nama2nya gak jelas aja pasang begitu2an di kios2 pinggir jalan.. kenapa gak dijual di tempat khusus tersembunyi, yg mau lihat harus nunjukin ktp dulu? ya kira2 begitu maunya dian sastro dkk utk pilem2 yg "kelewatan".

    ReplyDelete
  49. mungkin perlu dipahami lagi maksutnya dian sastro. sensor memang bukan berarti memasung kreativitas, tapi soal karya yg udah dibikin terus dipotong begitu aja.

    ''Kita tidak buat film pornografi. Jangan disamakan, tolong dipikirkan dengan seksama,'' katanya. Dian menyatakan untuk seorang aktris atau aktor sebuah adegan merupakan karya. Kalau sampai adegan itu dipotong oleh sensor, karya itu seperti disabotase.

    kalau memang mau mengatur kreativitas, lebih baik lsf mengeluarkan guidelines seperti apa pilem2 yg menurut lsf bakal lulus sensor. jadi para pembikin pilem bisa menyesuaikan, bukannya udah bikin trus dipotong..

    ReplyDelete
  50. Kalo argmen Nia dkk seperti yang Mbak kucing bilang, berarti alasannya selain membebaskan negara dari pengawasan wilayah privat, juga alasan pragmatis, buka lapangan kerja gitu lho untuk para relawan, hehe.

    ReplyDelete
  51. Hebat euy udah 5 taon tv free. aku masih tergoda ama american idol seh hehehe

    ReplyDelete
  52. hehe, padahal orang amerika gak sok indonesia ya :D

    ReplyDelete
  53. yup, makanya kalo dalam qur'an, yang disuap dan yg nyuap dosanye same.

    ReplyDelete
  54. Haha, Mbak Irmawan, dengerin Mbak Kucing tuh

    ReplyDelete
  55. hukuman korupsi hukum mati kali ya, biar pada ngeper kayak di cina.
    eh ntar saya bilang hukuman mati pasti disangka melanggar HAM neh :D.

    ReplyDelete
  56. tv-free, tapi dalam bahaya kecanduan internet.... aiiiih! hidup ini perjuangan....

    oh, juga... bioskop-free since 2005 :D ... tapi masih suka ngintip YouTube... aiiih... hidup ini betul-betul perjuangan!!

    ReplyDelete
  57. itulah namanya JuKene DurKene (Maju Kene, Mundur Kene).

    ReplyDelete
  58. Ini juga bisa dibalik kan, kalau mau gak dipotong, ya jangan bikin adegan macem-macem. Kan mestinya udah tau batasannya?
    Pa kabar Mbak Dee, kangen niy *hug*

    ReplyDelete
  59. Dian sampe ngomong gituh? Waaaaaaaaah, gak SMART banget utk ukuran seorang DIAN!
    Samperin aja dia Mba di blognya dan kasih link tulisan ini, biar Dian juga baca komen teman2 disini :-D

    ReplyDelete
  60. mestinya begitu ya, mbak. cuma karena paradigma udah beda, susyeh juga ya ketemunya.
    alhamdulillah, kabar baik, mbak.
    mbak desti gimana? kangen jugaaa! *hug juga erat2*

    ReplyDelete
  61. hehe, iya. adek kelas, beda angkatannya jawuuh :D

    ReplyDelete

Post a Comment