Army of Roses

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Barbara Victor
Army of Roses: Kisah Nyata Para Perempuan Palestina Pelaku Bom Syahid
Penulis: Barbara Viktor
Penerbit: Mizan (2005)
Tebal: xlii + 404 halaman

Perempuan selalu menarik untuk ditulis. Konflik Palestina-Israel tak habis untuk ditulis (juga tak habis menghias media massa. Bagaimana bila kedua hal tersebut menjadi satu? Buku ini jawabannya. Sebuah buku yang cukup emosional dan sarat fakta.

Army of Roses alias Pasukan Mawar, adalah sebutan Yasser Arafat untuk perempuan pelaku bom syahid. PAda 27 Januari 2002, perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajah Israel memasuki babak baru; majunya perempuan sebagai bom syahid. Wafa Idris, perawat dari Bulan Sabit Merah Palestina, meledakkan dirinya di pintu masuk sebuah toko sepatu di jalan Jaffa, pusat kota Yerusalem. Satu orang Israel tewas dan seratus lainnya luka-luka. Sontak, Wafa pun menjadi pahlawan. Di kemudian hari, aksinya diikuti oleh Darine Abu Aisha, Aayat Al Akhras, dan Andalib Suleiman Takatka.

Darine, mahasiswi Jurusan Sastra Inggris Universitas An Najah, Nablus, meledakkan sabuk bom di pos pemeriksaan Maccabim, dekat Yerusalem, hanya selang sebulan setelah aksi Wafa Idris. Tidak seperti Wafa, Darine adalah pelaku bom syahid perempuan pertama yang meninggalkan pesan dalam bentuk kaset video. Dia juga perempuan satu-satunya yang menjadi bom syahid atas dukungan Hamas.

Sebulan kemudian, tepatnya 29 Maret 2002, giliran Aayat Al Akhras, gadis kelahiran Dehaishe, dekat Bethlehem, melakukan aksi bom syahid di Supermarket Supersol, Yerusalem. Menewaskan seorang gadis Israel bernama Rachel Levy dan satpam supermarket, dengan ratusan orang terluka. Andalib adalah bom syahid berikutnya. Hanya setengah bulan berselang setelah syahidnya Aayat, Andalib Suleiman meledakkan diri di halte bus, tepat di sebelah pasar terbuka Mahane Yehuda, Yerusalem. Enam orang tewas dan lebih dari empat puluh orang terluka.

Sangat beruntun memang keempat syahidah tersebut melakukan aksinya. Namun sebenarnya ada banyak perempuan Palestina yang juga melakukan aksi bom syahid. Tapi tak semua sukses. Ada yang tertangkap sebelum melakukan aksi, tak berhasil meledakkan bom, dan sebagainya.

Barbara Victor, jurnalis yang meliput Timur Tengah untuk televisi CBS dan US News and World Report memaparkan tentang perlawanan perempuan Palestina sebagai bom syahid dari berbagai sisi: politik, kultural, psikologis, dan sosiologis. Lengkap dan cukup komprehensif. Barbara juga berusaha seimbang, mewawancarai berbagai belah pihak. Datang kepada keluarga pelaku bom syahid, mewawancarai orangtua, teman, dan saudara. Barbara juga mewawancarai dan menulis tentang korban ledakan (warga Israel). Mewawancarai tokoh Palestina (dari berbagai faksi; PLO, Hamas, Jihad Islam), juga tokoh Israel.

Dari wawancara berbagai pihak, Barbara menganalisis alasan dan tujuan para perempuan pelaku bom melakukan aksinya. Hampir semua perempuan tersebut melakukan bom syahid, menurut Barbara, karena kekecewaan pada hidup dan merasa tak berarti lagi hidup. Wafa adalah perempuan yang dicerai karena tak dapat menghasilkan anak bagi suaminya. Darine melakukannya karena akan dinikah paksa oleh orangtua. Aayat karena rasa malu terhadap ayahnya yang terlibat dengan jasa konstruksi milik Israel. Dan Andalib, karena ingin tenar.

Mengejutkan? Bisa jadi. Terkesan menyudutkan peran perempuan Palestina? Mungkin. Benarkah? Wallahu'alam. Toh, tak ada yang benar-benar tahu niat sebenarnya dari para perempuan tersebut, bahkan Barbara sendiri. Hanya saja, meski secara fakta dan data buku ini cukup lengkap dan seimbang, tentu tak bisa diabaikan motif Barbara sendiri. Dalam wawancara dengan Abdul Aziz Rantissi dan Syekh Ahmad Yassin, Barbara bertanya pada kedua petinggi Hamas tersebut bila anak-anak perempuan mereka menjadi bom syahid. Barbara lupa (atau mungkin tidak tahu?) bahwa tanpa mereka menyuruh anak perempuan mereka menjadi bom syahid, kepala-kepala tokoh tersebut--juga keluarga mereka--menjadi incaran Israel. Dan terbukti, beberapa tahun kemudian, Syekh Ahmad Yassin dan Rantissi syahid dirudal Israel (ya, dirudal). Anak-anak mereka pun sebagian tewas di tangan Israel.

Menurut Anis Baswedan dalam pengantar buku edisi bahasa Indonesia, Barbara berhasil mengombinasikan pendekatan kultural dan rasional dalam sebuah narasi yang ilustratif dan informatif, juga detail dan partikularistik, yang menunjukkan kekuatan Barbara, namun di sisi lain pembaca bisa terlena dan kehilangan kompas untuk mencerna buku ini secara proporsional dan kontekstual.***

Comments

  1. Mbak di Jakarta bukan tinggalnya? Kalo iya, ke Toko Buku MP Book Point aja (Jl. Puri Mutiara, Cilandak, deket kuburan jeruk purut). Buku ini (dan buku2 lain yg oke) diskon 50%, mbak. Cepetan, sampe 28 februari :)

    ReplyDelete
  2. bila alasan eskapistik ini jadi motif utama, bukankah sebutan "syahid" menjadi problematik?

    ReplyDelete
  3. eskapistik apa sih? *kuper tapi males buka kamus :D*

    ReplyDelete
  4. ehehe, maap ya mba, nanyanya malah OOT :D

    btw, setebel itu harganya berapa mba?

    ReplyDelete
  5. itu kan menurut tante barbara, yud. penulis lain (misalnya org palestin sendiri) blm tentu kan. fakta yang dia sodorkan menurut saya belum tentu sesuai konteks.

    ReplyDelete
  6. escapistic mbak... lari dari kenyataan

    IMHO, sepemahamanku, syahid (dalam penertian tertingginya) adalah penghargaan tertinggi bagi sesiapa yang mengorbankan jiwanya demi tegaknya keadilan dan hilangnya kedzaliman..

    ReplyDelete
  7. hehehe, beda dari kenyatan, fe, atau lari dar kenyataan? semacem itulah. iya bukan, om yudi?

    ReplyDelete
  8. kalo gak salah 49 ribu deh, fe. spt info buat bythis di atas, lagi didiskon 50% di MP book point, fe.

    ReplyDelete
  9. setuju Mbak...bagaimana penulis menangkap dan menyajikan hasil risetnya pasti memoles makna yang disodorkan (powerful ya penulis tuh :))

    makanya kutulis "jika..."... eh bila ... maaf

    ReplyDelete
  10. Bukankah itu yang dilakukan para bomber tsb? Okelah, Barbara punya fakta itu, tapi ada fakta lain di lapangan toh, cuma fakta ini belum ditelusur saja. Contoh negeri kita misalnya, saat dulu jaman kemerdekaan pejuang lantang berteriak: merdeka atau mati!! (yaa, ogut sih baca dr buku, denger dr nenek, bokap, liat pelem). Bukankah itu sama dgn kondisi palestin saat ini? So, saya sih kurang setuju para perempuan itu adalah para escapist.

    ReplyDelete
  11. Udah punya, tapi bacanya belum tuntas (lompat-lompat gitu).

    ReplyDelete
  12. tepat sekali Mbak Dee. Memang kita tidak bisa menyimpulkan bahwa mereka adalah para eskapis.

    Dan memang bukan itu tujuan reply di atas. Yang hendak disampaikan, seperti bunyi reply di atas adalah: bila alasan eskapistik (seperti yang disampaikan Barbara) memang benar menjadi motif utama, maka bukankah (ini menimbulkan kesan bahwa) penyebutan "syahid" menjadi problematik?

    Adanya "perselisihan" kita menunjukkan adanya dampak pencitraan pada tulisan Barbara. Tapi kita tentu tidak bisa mengurai lebih jauh analisis (apalagi motif) Barbara, kecuali kita punya akses pada data yang dia punya atau mengumpulkan data baru untuk meng-counter tulisan dia.

    ReplyDelete
  13. Yup, betul.
    Fakta & data dari riset yang dilakukan barbara mungkin memang lengkap, tapi tetep ada motif dari penulis. Sayangnya memang blm banyak penulis "asli" (baca: yang dekat dengan kondisi). Kebanyakan konflik atau kondisi di Timteng malah diangkat penulis Barat. Yaa gimana mau riset ya, negerinya dibombardir terus... meski ada juga tapi belum banyak.

    ReplyDelete
  14. Asyik lho "berselisih" ama yudi, hehe.
    Betul banget, data dan riset tentu harus dibandingkan dengan data dan riset juga, bukan sekadar asumsi. Makanya, di akhir review saya kutip pernyataannya Anis Baswedan. Saya *sambil baca* beberapa komen di amazon nih, sepertinya ada orang palestin sendiri yang telah membaca dan berkomentar. Salah satunya bahwa buku ini memang sarat fakta namun ada kecenderungan mislead dan mengabaikan fakta yang lain.

    ReplyDelete

Post a Comment