Februari ini ada dua tokoh besar yang menginjak usia 100 tahun. Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). STA lahir pada 11 Februari 1908 (sumber: wikipedia), sedangkan HAMKA seminggu sesudah STA, 17 Februari 1908 (ada juga yang menyebut tanggal 16 Februari). Keduanya memang telah tiada. STA wafat 17 Juli 1994, dan Hamka wafat 24 Juli 1981.
Saya kenal keduanya, meski hanya melalui karya. Mengenal STA dari karyanya Layar Terkembang dan Dian Yang Tak Kunjung Padam, dan HAMKA melalui Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tafsir Al-Azhar, serta beberapa buku dan tulisan-tulisan beliau di majalah Panji Masyarakat.
Jujur, dibanding STA, HAMKA lebih melekat dalam ingatan saya. Selain karya-karyanya memang lebih banyak saya baca, dulu ayah saya juga sering tentang beliau. Kedekatan suku mungkin (Minang). Selain itu, sejak kecil (SD) saya sudah membaca artikel-artikel HAMKA yang dimuat di Panji Masyarakat (Panjimas) yang dilanggan ayah saya. Saya ingat, di rumah saya di Depok (yang hanya dikunjungi seminggu sekali), saya bisa tenggelam di tumpukan Panjimas edisi lama –yang sengaja dibawa ke Depok biar rumah di Pisangan lebih lega. Awalnya saya senang dengan rubrik anak muda (pertama kali juga saya kenal nama Pipiet Senja, saya baca cerbungnya). Lama-lama—karena haus bacaan—semua artikel saya baca (meski saya nggak ngerti), termasuk tulisan-tulisan beliau.
Ditambah cerita-cerita dari ayah saya, sosok HAMKA makin lekat dalam ingatan. Beliau yang lembut namun tegas dalam prinsip, penuh ilmu—meski hanya mengecap pendidikan formal sampai kelas 2 SD saja, serta sangat peduli pada ummat.
Saat wafat tahun 1981 (usia saya 6 tahun kala itu), ayah saya bercerita bagaimana ribuan orang mengantar beliau ke peristirahatan terakhir, bahkan shalat jenazah pun hingga dilakukan puluhan kali. Saya tambah kagum.
Sedang, STA, saya lebih mengetahui tentang beliau, minggu lalu, 12 Februari, saat diadakan acara “100 Tahun STA” di Tugu, Cisarua, rumah peristirahatan beliau yang juga “rumah peristirahatan terakhir” (beliau dimakamkan di halaman vilanya). Banyak tokoh datang dan memberi testimoni tentang beliau. Menurut Tamalia, salah satu anak beliau (STA menikah 3x dengan 8 atau 10 anak gitu, agak lupa :D), banyak orang mengenal beliau sebagai sastrawan saja, padahal beliau juga gigih dalam penggunaan bahasa Indonesia modern. Yang lucu, saat perjalanan pulang, di bis, seorang wartawan nyeletuk: “STA gigih dalam penggunaan bahasa Indonesia, anak dan cucunya dari tadi cas-cis-cus bahasa Inggris.” Hehehe. Itu kan anak dan cucu ya ;).
I idol both of them too :-) Yarhamahumallah!
ReplyDeleteKita kok sama siy Mba, dibesarkan oleh 'dongeng2' HAMKA dan STA :-p
Jujur cuma tahu dari buku pelajaran dan artikel tentang beliau berdua. Baca karyanya secara lengkap baru dikit banget...
ReplyDeleteSubhanallah, Mbak Deeyand perhatian ya sama yg kayak gini. ;)
ReplyDeleteMbak Deeyand kan orang sastra, jd ngerti bgt sama yg kayak gini..:)
cerita mereka selalu menyemangati. Apakabar, mba dee?
ReplyDeleteUsiaku tahun itu berapa ya? Hm...
ReplyDeleteMbak Dian said: Yah, beda2 dikit ma mbak, deh!
ReplyDeleteHm.. gitu yah?
ReplyDeleteMbak Dian said: He'eh!
ReplyDeleteUdah, ah.... :")
ReplyDeletekalo usiaku... kayaknya... 5 thn kali ya? or.. 4,5 thn?? bentar kuhitung..
ReplyDeletewah seneng, STA dan HAMKA sama bulan lahirnya ama aku. kali aja aku jadi orang yang banyak mangpaatnya buwat ummat juga ya, Kak Dee? (backsound: huuuuuuuw :D) *lhokokjadimanggilkakak?*
ReplyDeleteBerarti waktu HAMKA Meninggal, saya belum lahir Mbak Dee :d, baru satu tahub kemudian saya dilahirkan, tapi meski begitu, tidak banyak yang mengenal saya secara pribadi bahkan karya. (intinya, emang ga bakat jadi orang terkenal) Hahaha.
ReplyDeleteThx for share Mbak Dee ^_^
wuiiih Deee teliti banget sampai tau Pak Hamkah dah 100 tahun. AKu juga penggemar beliau,selain Taufiq Ismail heheheh...
ReplyDeleteTosss!
ReplyDeleteLebih banyak didongengin Hamka sih, secara bokap muhammadiyah ;)
Alhamdulillah, mbak, anak sekarang bahkan lebih banyak gak tau kali yaa.
ReplyDeleteAku juga belum banyak baca buku mereka. Tafsir Al Azharnya Hamka aja baru baca beberapa.
Gak juga kok, Mbak. Kebetulan minggu lalu diundang acara 100 thn STA, trus jadi ingat Hamka, eh baca Republika beliau 100 thn juga. Jadi pengen ngenang masa kecil/remaja dulu :)
ReplyDeletebetul, tan. manusia mati meninggalkan semangat, inspirasi, buku, kerja besar seperti STA & Hamka. gimana dgn kita?
ReplyDeletealhamdulillah, kabar baik, tan. miss u ;)
dasar elly sableng! huahaha!
ReplyDeletelho, usia ndiri lupa? :D
ReplyDeleteaaminnn, insya Allah, Dek Febi. Cita2 kakak juga begitu (ihik ihihihi)
ReplyDeleteyang penting bukan terkenal atau tidka, tapi sejauh mana kontribusi kita pada umat *ciee, sok serius*
ReplyDeleteBukan karena teliti, tapi karena diingetin, mbak, hehe. dakuw mash aslinya peluppa.
ReplyDeletepak taufik ismail mah engkong kite *idih ngaku2*
Meski baru 9 tahun setelah kematian Hamka meninggal Za baru lahir, tapi di rumah juga sering di dongengi how great he was :)
ReplyDeleteyah, orang2 great emang akan terus dikenang, za :)
ReplyDelete