Three Wishes Palestinian and Israeli Children Speak

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Deborah Ellis
Three Wishes Palestinian and Israeli Children Speak
Penulis: Deborah Ellis
Penerbit: Groundwood Books (2004)
Tebal: 111 halaman

Tanyakan tiga hal yang sangat diinginkan pada anak-anak pada umumnya. Bisa jadi mereka menjawab: ingin sekolah, ingin jadi artis atau seleb, dan–mungkin kalau anak Indonesia—ingin punya handphone. Bagaimana dengan anak-anak Palestina dan Israel?

Hakim, anak Palestina berusia 12 tahun, hanya punya satu keinginan: secepatnya sembuh dan kembali melawan Israel. Saat sedang melakukan aksi intifadhah bersama teman-temannya, kedua kaki Hakim ditembak oleh tentara Israel. Simak tuturan Hakim tentang penembakan tersebut:

I was in the street with my friends. We were hiding from the soldiers, and when we could, we were throwing tocks at them. The soldiers were angry and they were looking for us.... I started running. In the middle of the road I heard many shots. I stopped feeling anything in my right leg... I heard more bullets. My legs stopped working. I fell down in the street. Some of my friends came and carried me off the road, but they were pushed away by the soldiers. I can remember the soldiers standing all around me. I was on the ground staring up at them, and they were all around me, with their guns pointed at me. There was a lot of yelling and screaming.

Dokter yang memeriksa Hakim mengatakan, ia ditembak 15 kali. Hari itu ada 5 orang Palestina yang tewas, termasuk Tareq, teman Hakim. Hakim menderita luka serius dan harus terbaring di rumah sakit karena luka tersebut, juga malnutrisi yang dideritanya sejak kecil.

Salam, adik Aayat al Akhras, gadis 17 tahun yang melakukan aksi bom syahid pada tahun 2002, punya keinginan mengikuti jejak sang kakak. Anak Palestina berusia 12 tahun ini telah menyaksikan begitu banyak anak-anak seusianya, bahkan lebih muda, yang dianiaya dan dibunuh oleh tentara Israel. “You don’t have to be doing anything bad to be hurt by the soldiers. You could just be walking down the street. I was walking down the street with my friends one day when there was no curfew, and there were some boys nearby, and the Israelis shot one of them.”

Wafa, gadis Palestina berusia 12 tahun, telah berulang kali menyaksikan rumahnya dihancurkan oleh tentara Israel. Ia berusia 8 tahun saat pertama melihat rumahnya dihancurkan. Malam itu seseorang mengetuk pintu rumah keluarga Wafa. Ayahnya membuka dan ada beberapa tentara di hadapan sang ayah yang berkata, “This is not your house anymore. This is our house now.”

Ayah Wafa berusaha melawan, namun tentara Israel memukul kepala ayahnya dengan senapan. Kemudian mereka merangsek dan menghancurkan isi rumah. Juga menembakkan gas airmata, yang membuat Wafa dan saudara-saudaranya tak dapat bernapas dan keluar dari rumah. Tentara sendiri menggunakan masker sehingga Wafa tak dapat mengenali wajah-wajah mereka. Tapi, coba simak pendapat Wafa tentang orang Israel. “The thing I hate most are the Israelis. Not the Israelis who try to be friends with the Palestinians, but the ones who try to hurt us.”

Elisheva, gadis Israel berusia 18 tahun, punya keinginan agar orang-orang Israel dari penjuru dunia datang sehingga orang-orang Palestina terusir dan tinggal di negara Arab. Ia menyaksikan temannya ditembak oleh seorang laki-laki Palestina. “I feel a lot of anger toward the Palestinians. When I walk through the Old City of Jerusalem and see the Arabs there, I don’t want to see them. I don’t want them to be there. They make me angry.”

Danielle, anak Israel 8 tahun, tak mengerti mengapa perang terjadi dan mengapa orang-orang Palestina marah kepada bangsanya. Pendapat hampir sama yang diungkap Artov, 15 tahun, yang datang ke Israel dari Rusia. Ia tak pernah bertemu dengan orang Palestina dan bingung mengapa orang Palestina membenci Israel.

Buku yang merekam kisah 20 anak Palestina dan Israel ini sangat jujur dan terbuka. Deborah Ellis, sang penulis, langsung datang ke Palestina dan Israel untuk mewawancarai anak-anak tersebut. Penulis asal Canada ini juga berusaha netral, menggali kehidupan sehari-hari anak-anak tersebut, dampak perang bagi mereka, serta keinginan anak-anak tersebut dalam hidup.

Senetral itu saja sudah mengundang protes dari Canadian Jewish Congress (CJC). CJC mengirim surat ke Ontario Library Association yang berisi keberatan buku tersebut menjadi buku rekomendasi dalam sebuah program klub buku di sekolah-sekolah. Menurut CJC, penulis buku telah memberikan informasi “cacat” mengenai konflik Israel-Palestina. CJC juga menyebutkan bahwa beberapa anak dalam buku tersebut menggambarkan tentara Israel brutal (bukankah memang brutal?). Padahal Deborah Ellis hanya menyampaikan penuturan anak-anak yang merasakan sendiri kondisi tersebut.

Sebenarnya Deborah mewawancara lebih banyak anak, namun beberapa anak Palestina menolak kisahnya dimuat, saat mereka mengetahui bahwa Deborah juga mewawancara anak-anak Israel. Sayang, padahal saat membaca buku ini saya rasanya tak ingin berhenti, ingin lebih banyak menyimak kisah-kisah mereka.

Comments

  1. iya mba, ada terjemahannya ga? di gramedia matraman ada ga mba?

    ReplyDelete
  2. dari mata anak2.. kita lihat kejujuran berita..
    dan deborah ellis sudah bagus meliput dari 2 sisi..
    (kok ya masih diprotes ck ck ck)

    ReplyDelete
  3. @ cutintan: duh juga :)

    @ agatogata: dari orang kedubes canada, jeng. waktu itu kan aku pernah ngasi copy trilogi the breadwinner (pas deborah mo dateng en dia nyari2 di jakarta gak ada--ogut dapet dr flp amrik), dia bales ngasi buku ini. aslinya sih dipinjem temen trus katanya nyelip, dia balikin fotokopinya huhuhu.

    @ niwanda & annidalucu: belum ada mbak leila n febi. aku juga pengen ini diterjemahin.

    @ onit: begitulah, nit :)

    ReplyDelete

Post a Comment