Mitos-mitos Perayaan Natal Bersama

Mungkin banyak teman-teman Muslim yang bingung dengan pernyataan 
Ketua PP Muhammadiyah, Pak Din Syamsuddin beberapa waktu lalu.
Jujur, saya juga sempat kaget dan juga bingung. Yang saya tahu,
fatwa MUI masih berlaku.

Maka saya berusaha mencari tahu tentang hal tersebut.
Baru hari ini ketemu tulisan Pak Adian. Dan buat saya pribadi
cukup menjelaskan kebingungan saya. Mudah-mudahan juga bisa
memberi wawasan buat teman-teman yang juga agak bingung.
 
So, maaf kalau postingan ini kurang berkenan buat sebagian teman.

Kalau mau komen atau bertanya mungkin bisa langsung
ke blognya Pak Adian DI SINI.

===========================================================

MITOS-MITOS TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA
(Kritik terhadap Pendapat Prof. Dr. Din Syamsuddin)

Oleh: Adian Husaini
(Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat)

Pada tanggal 25 Desember 2007, saat sedang berada di
Palembang, saya menerima banyak SMS yang bernada
prihatin, bahwa Prof. Dr. Din Syamsuddin, selaku Ketua
Umum PP Muhammadiyah, akan menghadiri acara Perayaan
Natal Bersama (PNB) pada 27 Desember 2007. Selama di
Palembang, saya tidak sempat mengecek kebenaran berita
itu. Barulah pada Rabu (26 Desember 2007) pagi ini,
saya sempat mengecek berita tersebut. Setelah menerima
sebuah SMS tentang duduk cerita rencana kehadiran Din
Syamsuddin dalam acara PNB tersebut, saya kemudian
merasa perlu menulis artikel seputar PNB ini, untuk
mengoreksi beberapa logika Din Syamsuddin. Sekitar
tiga tahun lalu, pada 24 Desember 2004, saat tinggal
di Kuala Lumpur, saya sudah menulis Catatan Akhir
Pekan ke-83, dengan judul yang sama dengan artikel
ini.

Bagi saya pribadi, pernyataan dan pemikiran Din
Syamsuddin tentang PNB memang agak mengejutkan.
Artikel ini sama sekali tidak bermaksud meragukan
keimanan Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim. Saya
kenal beliau sangat lama, dan sampai detik saya
menulis artikel ini, saya masih percaya akan komitmen
yang tinggi Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim.
Sekarang, saya juga duduk sebagai pengurus Majelis
Tabligh PP Muhammadiyah dan di pengurus MUI Pusat.
Tentu saya sebenarnya tidak ingin tulisan ini dibaca
secara terbuka.

Akan tetapi, karena Din Syamsuddin sudah
mempublikasikan pemikirannya secara luas dan terbuka,
maka menjadi kewajiban saya untuk menjawab
logika-logika Din Syamsuddin secara terbuka pula.
Sebab, ini sudah menyangkut urusan Islam, bukan hanya
urusan Muhammadiyah atau MUI. Juga, logika seperti
ini, sudah sering dikemukakan oleh berbagai pihak.

Jadi, ini adalah bagian dari kewajiban untuk melakukan
taushiyah antar sesama Muslim. Dan ini sangat penting,
karena kekeliruan pemikiran seorang pemimpin agama –
apalagi yang bergelar Prof. Dr. -- dapat berakibat
fatal, karena dianggap sebagai rujukan kebenaran.

Rasulullah saw bersabda bahwa ”Mimmaa akhaafu ‘alaa
ummatiy zallatu ‘aalimin wa jidaalu munaafiqin fil
Quraani.” (Termasuk diantara perkara yang aku
khawatirkan menimpa umatku adalah tergelincirnya orang
alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang
munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn
Hibban). Saya berpendapat, bahwa dalam soal PNB ini,
Pak Din Syamsuddin sedang tergelincir pemikirannya,
dan mudah-mudahan bersedia meluruskannya kembali.

Situs www.detik.com, (24/12/2007 15:32 WIB), menulis
berita berjudul ”Din Tidak Larang Hadiri Perayaan
&Ucapkan Selamat Natal”. Ditulis dalam berita ini:
”Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin,
menghadiri seremonial Natal tidak seharusnya
dihindari. Demikian pula dengan memberikan ucapan
selamat Natal kepada kaum Kristiani. "Saya pribadi
berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan
menghadiri upacara Natal yang berdimensi ibadah dan
keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing.
Tetapi yang berbentuk seremoni tidak seharusnya
terhindari," kata Din.

Hal ini disampaikan Din usai menerima kunjungan
panitia Perayaan Natal Nasional 2007 di kantor PP Muhammadiyah,
Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/12/2007.
Din pun mengaku bersedia menghadiri perayaan Natal Nasional
yang akan digelar pada 27 Desember 2007 mendatang.

Juga diberitakan detik.com, bahwa dalam kesempatan
itu, Ketua Umum Panitia Perayaan Natal Nasional, Mari
Elka Pangestu
mengharapkan Din hadir dalam acara
tersebut. "Kita berharap perayaan Natal bisa
mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kita
juga sudah menyampaikan berbagai bantuan ke berbagai
daerah seperti sembako di NTT dan penanaman 50 ribu pohon di
Cipularang," ujarnya, seperti dikutip detik.com.

Sebenarnya, di dalam Muhammadiyah sendiri, masalah
”Perayaan Natal Bersama” dan soal ”Mengucapkan Selamat
Natal” sudah selesai dibahas. Di dalam buku Tanya
Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis
Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah
(1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum
menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal
ini juga mengacu kepada fatwa MUI.
Adapun soal ”Mengucapkan Selamat Hari Natal” dapat
digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan bisa
terjerumus kepada haram, sehingga Muhammadiyah
menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan.

Fatwa yang Digugat

Secara umum, kita akan mengupas logika yang
menganjurkan perlunya PNB dalam paparan berikut ini.
Seperti dikutip dalam berita itu, Mari Elka Pangestu
berharap, Din Syamsuddin akan hadir dalam acara PNB,
dan dia pun berharap, perayaan Natal bisa mengatasi
permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kita maklum,
selama ini tidak mudah mengajak tokoh Islam untuk
hadir dalam PNB, karena terganjal oleh Fatwa MUI
tentang PNB. Karena itulah, sejak diterbitakannya
fatwa MUI tentang PNB, tahun 1981, fatwa itu sudah
menuai kritik yang tiada habis-habisnya. Ada yang
mengkritik secara terbuka dan ada juga yang tidak
setuju secara diam-diam.

Karena itu, kita perlu menelaah masalah PNB ini
secara mendasar. Ketika fatwa itu dikeluarkan, saya
sedang duduk di bangku kelas 1 SMA di Bojonegoro. Saya
mengikuti perdebatan tentang fatwa itu dari kampung
saya, Desa Kuncen-Padangan- Bojonegoro, melalui majalah
Panji Masyarakat, yang dilanggan ayah saya (almarhum,
seorang guru SD yang juga Pengurus Muhammadiyah
Padangan). Dari majalah ini, hampir tidak pernah saya
lewatkan membaca rubrik Dari Hati ke Hati asuhan Buya
Hamka.

Seperti kita ketahui, Hamka kemudian memilih untuk
mengundurkan diri sebagai ketua MUI, ketimbang menarik
kembali peredaran fatwa itu, sebagaimana diminta oleh
Menteri Agama ketika itu Alamsyah R. Perwiranegara.
Saya masih ingat, saya menitikkan air mata, ketika
membaca tulisan Hamka tentang pengunduran dirinya
sebagai Ketua Umum MUI.

Ketika itu, saya berpikiran,”Beginilah seharusnya seorang ulama:
luas ilmunya dan kokoh pendiriannya!”
Di kalangan Muhamamdiyah sediri,
Hamka sangat dihormati, sehingga namanya diabadikan
menjadi sebuah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
Hamka, di Jakarta. Sayang sekali, akhir-akhir ini ada
sejumlah buku dan artikel yang mencoba ’memelintir’
pendapat-pendapat Hamka, sehingga seolah-olah Hamka
adalah seorang penganut paham Pluralisme Agama.

Maka, saya senantiasa merasa amat sangat sedih dan
pilu, ketika ada diantara orang-orang Muhammadiyah
atau MUI sendiri yang kemudian menggugat atau
menyalahpahami fatwa ini. Jika gugatan atau
kesalahpahaman terhadap fatwa PNB itu datang dari kaum
liberal atau non-Muslim, masih bisa dipahami.
Terakhir, misalnya, Luthfi Asyaukanie, yang menyebut
dirinya sebagai ’Koordinator Jaringan Islam Liberal’,
dalam artikelnya yang berjudul ”Sikap Negara terhadap
Aliran Sesat” (Koran Tempo, 22 Desember 2007),
menulis: ”Majelis Ulama Indonesia berkali-kali
meresahkan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka (fatwa
menghadiri perayaan Natal, misalnya).”

Jadi, fatwa PNB ini oleh kaum liberal senantiasa
diposisikan sebagai fatwa yang meresahkan masyarakat.
Dan seperti biasa, menjelang perayaan Hari Natal, 25
Desember, ada saja sebagian kalangan yang kembali
menggugat fatwa MUI tentang “haramnya seorang Muslim
hadir dalam Perayaan Natal Bersama.” Ada yang
menyatakan, bahwa yang melarang PNB atau yang tidak
mau menghadiri PNB adalah orang yang tidak toleran,
eksklusif, tidak menyadari pluralisme, tidak
menghargai multikulturalisme, tidak mau berta’aruf,
dan sebagainya. Padahal orang Islam disuruh melakukan
ta’aruf (QS 49:13). Banyak yang kemudian berdebat
tentang “boleh dan tidaknya” menghadiri PNB, tanpa
menyadari, bahwa sebenarnya telah banyak diciptakan
mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB itu sendiri.

Marilah kita telaah mitos-mitos tersebut:

PERTAMA, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini
seperti sudah begitu berurat berakar, bahwa PNB adalah
enak dan perlu. Padahal, bisa dipertanyakan, dalam
tataran kenegaraan, apa memang perlu diadakan PNB?
Untuk apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala
nasional dan dijadikan acara resmi kenegaraan – yang
mengharuskan Presiden menghadirinya -- maka perlukah
juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi Bersama),
IFB (Idul Fithri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama),
MNB (Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra’ Mi’raj
Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu
dilakukan, mungkin demi alasan efisiensi dan
pluralisme beragama, akan ada yang usul, sebaiknya
semua umat beragama merayakan HRB (Hari Raya Bersama),
yang menggabungkan hari raya semua agama menjadi satu.
Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus,
peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw, dan kelahiran
dewa-dewa tertentu, dan sebagainya.

Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos,
khususnya kata ”Bersama”. Jika kaum Kristen merayakan
Natal, mengapa mesti harus melibatkan kaum agama lain?
Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus,
maka mengapa mesti mendorong-dorong umat agama lain
untuk mendengarkan cerita tentang Yesus dalam versi
Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru
selamat umat manusia itu tidak diyakini diantara
pemeluk Kristen sendiri?

Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti
Indonesia, wacana tentang perlunya PNB adalah sebuah
’keanehan’. Kita tidak pernah mendengar bahwa kaum
Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya,
mendiskusikan tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul
Fithri Bersama), agar mereka disebut toleran. Bahkan,
mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fithri atau
Idul Adha sebagai hari libur nasional. Padahal, di
Inggris, Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26
Desember sebagai “Boxing Day” dan hari libur nasional.
Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua
hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan
Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari libur
nasional di AS meliputi, New Year’s Day (1 Januari),
Martin Luther King Jr Birthday (17 Januari),
Washingotn’s Birthday (21 Februari), Memorial Day (30
Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli),
Labour Day (5 September), Columbus Day (10 Oktober),
Veterans Day (11 November), Thanksgiving’ s Day (24
November), Christmas Day (25 Desember).

KEDUA, mitos bahwa PNB bertujuan membina kerukunan
umat beragama. Mitos ini begitu kuat dikampanyekan,
bahwa salah satu cara membina kerukunan antar umat
beragama adalah dengan menghadiri PNB, sehingga orang
yang menolak untuk menghadiri PNB dipersepsikan
sebagai orang yang tidak toleran dan tidak mau rukun.
Padahal, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara
yang menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus,
bahwa Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru
selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk
menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia
diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes,
14:16). Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang
Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21
November 1964, dalam Konsili Vatikan II, disebutkan:
”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan
adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam
Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat
diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa
Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan
Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh
tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di
dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI,
1983).

Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus
adalah Tuhan atau anak Tuhan dipandang sebagai satu
kekeliruan yang amat sangat serius -- satu kepercayaan
yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157;
19:89-91, dsb). Dalam surat Maryam disebutkan,
memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu
“Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman
dalam al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi
terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka
mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS
19:90-91).
Prof. Hamka menyebut tradisi
Perayaan Hari Besar
Agama Bersama semacam itu bukan menyuburkan kerukunan
umat beragama atau membangun toleransi, tetapi
menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka
menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan
Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya
berdekatan:

“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa
Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah.
Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar
tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal
mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad
bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran
bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad
saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang
disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang
Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu
ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya
disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka
percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada
hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka
kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan
ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka.
Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa
menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi
Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian
Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa
keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau
diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal
kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor
dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam,
ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan
manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat
hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”

Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri
judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
(Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2002).


KETIGA, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya
menghadiri acara non-ritual dan bukan acara ritual.
Dalam ungkapan Din Syamsuddin: "Saya pribadi
berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan
menghadiri upacara Natal yang berdimensi ibadah dan
keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing.
Tetapi yang berbentuk seremoni tidak seharusnya
terhindari."

Kita patut bertanya, apa kriteria untuk menentukan
bahwa suatu kegiatan dalam perayaan Natal adalah
”ibadah” dan yang lain adalah ”seremoni”. Sebab,
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Huston Smith,
”Christianity, is basically a historical religion. It
is founded not in abstract principles, but in concrete
events, actual historical happenings. (Lihat, Huston
Smith, The World’s Religions, (New York: Harper
CollinsPubliser, 1991). Agama Kristen tidak memiliki
sistem ibadah yang bersifat “revealed” yang sama untuk
semua Kristen sebagaimana dalam Islam.

Karena itulah,setiap sekte atau Gereja memiliki tata cara ibadah
yang ‘khas’, yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap
Gereja, pada setiap zaman, dan setiap tempat, dalam
membuat kreasi sendiri dalam “ibadah”. Karena itu,
dalam konsep Kristen, tidak mudah untuk menentukan,
mana yang ibadah atau ritual, dan mana yang non-ritual
atau yang seremoni. Misalnya, acara-acara KKR di
berbagai hotel atau lapangan, apakah dikategorikan
sebagai ibadah aau seremoni?

Konsep kenabian (prophecy) dalam agama Kristen berbeda
dengan konsep kenabian dan konsep uswah sebagaimana
konsep kenabian Islam. Umat Islam memiliki tata cara
ibadah yang satu, karena ada contohnya yang jelas,
yaitu sunnah Nabi Muhammad saw. Ke mana pun umat Islam
pergi dan dimana pun, kapanpun, orang Islam shalat
dengan cara yang sama. Umat Islam takbir, ruku’,
sujud, dengan cara yang sama. Bahkan, sejumlah aliran
yang disebut ”sesat” dalam Islam masih memiliki ibadah
yang sama.

Dalam Islam sistem ibadah tidak berubah,
sudah sempurna sejak awal, di zaman Nabi Muhammad saw.
(QS 5:3). Karena itu, bagi umat Islam, mudah
menentukan, mana yang ritual dan mana yang non-ritual.
Shalat Idul Fithri adalah ritual, tetapi kunjungan ke
rumah-rumah setelah shalat Id adalah tradisi,
non-ritual. Karena itulah, dalam fatwa MUI tentang PNB
yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1981 disebutkan bahwa
”Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah
merupakan ibadah.”

Untuk menjernihkan masalah ”ibadah” dan ”seremoni”
dalam Natal, bagus juga kita tengok sejarah peringatan
Natal itu sendiri, dan sulitnya memisahkan antara yang
ibadah dan yang seremoni. Sebab, tradisi ini tidak
muncul di zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan
oleh Yesus. Maka, bagaimana bisa ditentukan, mana yang
ibadah dan mana yang seremoni? Remi Silado, seorang
budayawan Kristen, menulis kolom di majalah Gatra,
edisi 2 Desember 2003. Judulnya “Gatal di Natal”.
Beberapa kutipan kolomnya kita petik di sini:

(1) “Sebab, memang tradisi pesta ceria Natal, yang
sekarang gandrung dinyanyikan bahasa kereseh-reseh
Inggris, belum lagi terlembaga. Sapaan Natal, "Merry
Christmas" --dari bahasa Inggris Lama, Christes
Maesse, artinya "misa Kristus"-- baru terlembaga pada
abad ke-16, dan perayaannya bukan pada 25 Desember,
melainkan 6 Januari.”

(2) “Dengan gambaran ini, keramaian Natal sebagai
perhitungan tahun Masehi memang berkaitan dengan
leluri Barat, istiadat kafir, atau tradisi pagan, yang
tidak berhubungan dengan Yesus sendiri sebagai sosok
historis-antropolog is bangsa Semit, lahir dari garis
Ibrahim dan Daud, yang merupakan bangsa tangan pertama
yang mengenal monoteisme absolut lewat Yehwah.”

(3) Saking gempitanya pesta Natal itu, sebagaimana
yang tampak saat ini, karuan nilai-nilai rohaninya
tergeser dan kemudian yang menonjol
adalah kecenderungan- kecenderungan duniawinya semata: antara
lain di Manado orang mengatakan "makang riki puru
polote en minung riki mabo" (makan sampai pecah perut
dan minum sampai mabuk).

(4) “Demikianlah, soal Natal sekali lagi merupakan
gambaran pengaruh Barat, dan persisnya Barat yang
kafir, yang dirayakan dengan keliru.”

Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan
tokoh Santa Claus, karena ini adalah tokoh fiktif yang
kehadirannya dalam peringatan Natal banyak dikritik
oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen
(www.sabda.org) , menulis satu artikel berjudul:
“Merayakan Natal dengan Sinterklas: Boleh atau Tidak?”
Dikatakan, “Dalam artikelnya yang berjudul The Origin
of Santa Claus and the Christian Response to Him
(Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen
Terhadapnya) , Pastor Richard P. Bucher menjelaskan
bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil polesan
cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta
dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis. Sinterklas
yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita
kehidupan seorang pastor dari Myra yang bernama
Nicholas (350M). Cerita yang beredar (tidak ditunjang
oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan
bahwa Nicholas dikenal sebagai pastor yang melakukan
banyak perbuatan baik dengan menolong orang-orang yang
membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan
sebagai "orang suci" oleh gereja Katolik, dengan nama
Santo Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh
Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran iman
Kristen… Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu kita
harus menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita
perhatikan adalah menjadikan Kristus sebagai berita
utama dalam merayakan Natal -- Natal adalah Yesus.”

Karena itu, kita bertanya, bagaimana seandainya
seorang Prof. Dr. Din Syamsuddin mengenakan busana ala
Santa Claus, dengan alasan itu bukan termasuk ibadah?
Tentulah, sulit diterima. Dan kita yakin, Pak Din
Syamsuddin sendiri, tentu tidak akan bersedia
melakukan tindakan tersebut.

KEEMPAT, mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen
dalam PNB. Melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan
toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi
Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah
salah satu media yang baik untuk menyebarkan misi
Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin
kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan
Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat.
Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap
individu dan Gereja Kristen.
 
Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja
(Lumen Gentium, 1) juga disebutkan: “Christ is the
Light of nations. Because this is so, this Sacred
Synod gathered together in the Holy Spirit eagerly
desires, by proclaiming the Gospel to every creature,
to bring the light of Christ to all men, a light
brightly visible on the countenance of the Church.”
(Terjemahan oleh Dr. J. Riberu adalah: “Terang
bangsa-bangsa adalah Kristus. Karena itu Konsili Suci
ini, yang berhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali
mewartakan Injil kepada segala makhluk (bdk Mk 16:15)
dan menerangi semua manusia dengan cahaya Kristus,
yang terpantul pada wajah Gereja).

Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes, juga
menugaskan, agar semua manusia harus dijadikan sasaran
misi. Ad gentes juga menugaskan agar misi Kristen
tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis.
Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci
untuk menjadi “sakramen universal penyelamatan umat
manusia (the universal sacrament of salvation), dan
untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to
proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan,
semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus,
mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua
manusia harus disatukan dalam Yesus dengan
pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him,
made known by the Church's preaching, and all must be
incorporated into Him by baptism and into the Church
which is His body).

Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen
ingin menyebarkan agamanya, dan memandang penyebaran
misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Namun,
alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara
terus-terang, bahwa acara-acara seperti PNB memang
merupakan bagian dari penyebaran misi Kristen. Paus
Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik-nya, Redemptor
Hominis, (dikeluarkan 4 Maret 1979) menyatakan, bahwa
Gereja berkeinginan agar setiap orang dapat menemukan
Kristus (The church wishes to serve this single end:
that each person may be able to find Christ, so that
Christ may walk with each one the path of life).

Lebih jauh lagi ditegaskan dalam Dekrit Dominus
Jesus: “The Lord Jesus, before ascending into heaven,
commanded his disciples to proclaim the Gospel to the
whole world and to baptize all nations: “Go into the
whole world and proclaim the Gospel to every creature.
He who believes and is baptized will be saved; he who
does not believe will be condemned. (Mk 16:15-16);
“All power in heaven and on earth has been given to
me. Go therefore and teach all nations, baptizing them
in the name of the Father, and of the Son, and of the
Holy Spirit, teaching them to observe all that I have
commanded you. And behold, I am with you always, until
the end of the world?(Mt 28:18-20; cf. Lk 24:46-48; Jn
17:18,20,21; Acts 1:8).

Sebagai Muslim, kita menghormati keyakinan dan tugas
misi kaum Kristen tersebut. Karena itu adalah
keyakinan mereka. Paus Yohanes Paulus II pun maklum
akan perbedaan mendasar antara Kristen dengan Islam.
Dalam sebuah wawancara, Paus mengatakan, bahwa Islam
bukan agama penyelamatan. (Islam is not a religion of
redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang
untuk Salib dan Kebangkitan Yesus (… in Islam, there
is no room for the Cross and the Resurrection) .

Lebih jauh Paus menyatakan: “Jesus is mentioned, but
only as a prophet who prepares for the last prophet,
Muhammad
. There is also mention of Mary, His Virgin
Mother, but the tragedy of redemption is completely
absent.” “For this reason,” Paus menyimpulkan, “not
only the theology but also the anthropology of Islam
is very distant from Christianity.” (Lebih jauh
tentang pernyataan Paus Yohanes Paulus II, lihat
Vittorio Messori (ed.), Crossing The Threshold of Hope
by His Holiness John Paul II, (New York: Alfred A.
Knopf, 1994).

Imbauan

Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya
kaum non-Muslim bersedia menghormati fatwa Majelis
Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk
menghadiri PNB. MUI sama sekali tidak melarang kaum
Kristen merayakan Natal. Fatwa itu adalah untuk
internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan
pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen
dalam merayakan Hari Natal. Mestinya, kaum non-Muslim
menghormati keyakinan umat Islam ini, sebagaimana
difatwakan oleh MUI. Fatwa itu dikeluarkan Komisi
Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara lain
menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi
umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak
terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT,
dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan
Natal.

Karena itu, kita menyesalkan jika kalangan Kristen
banyak mengkritik fatwa tersebut. Menganggap fatwa MUI
tentang PNB itu tidak sejalan dengan semangat
kerukunan umat beragama, adalah penilaian yang
berlebihan dan tidak mengormati keyakinan
masing-masing agama. Lebih ajaib lagi, jika ada yang
mengaku Muslim ikut-ikutan meributkan fatwa ini,
seolah-olah merupakan musibah besar bagi bangsa
Indonesia, jika PNB hanya dihadiri internal kaum
Kristen saja.

Kaum yang mengaku liberal ini seringkali aneh jalan
pikirannya. Mereka mengaku liberal dan katanya punya
misi untuk menanamkan pluralisme dan menghormati
perbedaan. Tapi, mereka sendiri bersikap otoriter dan
tidak mengormati pendapat dan fatwa MUI soal Natal
Bersama. Harusnya mereka menghormati fatwa tersebut
dan tidak mencaci maki serta menuduh fatwa itu
meresahkan masyarakat, dan sebagainya. Jika mereka
sudah ”kebelet” mau menghadiri PNB, ya silakan saja.
Itu urusan mereka. Tidak perlu berteriak-teriak
memaki-maki MUI. Dalam soal PNB ini, MUI hanya
menyatakan, bahwa itu hukumnya haram. MUI tidak
meminta polisi membubarkan PNB atau tidak meminta
orang-orang yang hadir dalam PNB itu ditangkapi. MUI
hanya berpendapat, tapi sudah dicaci maki. Karena itu,
MUI juga tidak akan memaksa kaum liberal untuk
mengikuti fatwa MUI. Jika mereka berpendapat bahwa
menghadiri PNB adalah jalan untuk menggapai Ridho
Ilahi dan halalan thayyiban, ya itu urusan mereka.
Toh, nanti di akhirat tanggung jawabnya juga
masing-masing. Wa laa taziru waaziratun wizra ukhraa.

Dalam pandangan Islam, masalah peringatan Hari Besar
Agama, sebenarnya sudah diberi contoh dan penjelasan
yang jelas oleh Rasulullah saw, dan dicontohkan oleh
para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini
dikaji secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan
Islam. Untuk berijtihad, memutuskan mana yang halal
dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan
menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di
hadapan Allah, sangatlah berat. Untuk masalah
hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca
Kitab “Iqtidha’ as-Shirat al-Mustaqim Mukhalifata
Ashhabil Jahim”, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas dan
kerukunan umat beragama. Islam hadir dengan mengakui
hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain, disaat
kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum “heresy”
karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan
Umar bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan
kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem.

Umar r.a. adalah penguasa pertama yang menaklukkan
Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia,
bahkan menandatangani perjanjian ’Iliya’ dengan
pemimpin Kristen Jerusalem. Secara tegas Armstrong
memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap
Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah
dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat:
“Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang
dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan
semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan
perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu
penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah,
yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang
sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika
kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana,
tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran
simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau
pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa
penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek
terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem
itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan
monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa
yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik
tentunya. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of
Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper
Collins Publishers, 1997).

Namun, kita bisa menyimak, dalam kitab Iqtidha’
as-Shirat al-Mustaqim digambarkan, bagaimana ketegasan
Umar bin Khatab dalam soal perayaan Hari Besar kaum
Yahudi dan Kristen. Beliau meminta kaum Muslim untuk
menjauhi Hari Besar agama mereka. Umar r.a. sama
sekali tidak menganjurkan kaum Muslim untuk
berboncong-bondong merayakan Natal Bersama.
Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap
dipertahankan sebagai hal yang eksklusif milik
masing-masing umat beragama. Biarkanlah masing-masing
pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa
dipaksa untuk menjadi munafik, dengan mencampuradukkan
urusan perayaan Hari Raya. Masih banyak cara dan jalan
untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan
bekerjasama antar umat beragama, seperti bersama-sama
melawan kezaliman global yang menindas umat manusia
saat ini. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan
mitos-mitos yang menyesatkan, bahwa jika orang Islam
mau menghadiri Perayaan Natal Bersama, atau orang
Kristen mau menghadiri perayaan Idul Fithri Bersama,
maka Indonesia akan menjadi negara yang rukun dan
maju.

Kita berharap, masing-masing agama bersedia
menghormati keyakinan masing-masing dan tidak memaksa
– secara halus atau terang-terangan – untuk melakukan
suatu tindakan yang melanggar ajaran agamanya
masing-masing. Tentu amat sangat tidak bijaksana, jika
umat Islam juga mendesak pemeluk Kristen atau
non-Muslim lainnya untuk menghadiri perayaan Idul
Fithri. Karena itu, kita juga berharap, terutama
kepada para tokoh dan cendekiawan dari kalangan
Muslim, agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan
mengeluarkan pendapat. Wallahu a’lam. (Depok, 26
Desember 2007).

Comments

  1. Buat saya - kebetulan saya muslim yang tidak taat - menghadiri Natal bersama adalah wajar dan sama sekali tidak mengganggu keimanan saya....

    anggap saja sebagai silaturrahmi dan toleransi...

    ReplyDelete
  2. makasih pencerahannya say !!!
    setiap kita punya keyakinan sendiri bukankah begitu bukan ???

    ReplyDelete
  3. yang masih dilema adalah ucapan Natal. alhamdulillah selama ini "selamat" dari keharusan "bertoleransi" di kantor, pinter2 caranya aja

    ReplyDelete
  4. hummm. memang selalu dibikin masalah,ya?

    ReplyDelete
  5. Penjelasannya lumayan komplit (dan panjang, makanya nanti perlu dibaca ulang waktu longgar nih).

    ReplyDelete
  6. Fyuuh, panjang bener, copas dulu deh mbak ^_^

    ReplyDelete
  7. Baru baca setengah udah ngantuk nih Mbak Dee.. fyuuh... *udah pagiiii*... bobo' dulu ah. But kalau gak sempat mampir lagi, have a nice week-end aja ya.

    ReplyDelete
  8. wow panjang bener. tapi informasi ini makin mencerahkan. tx dee :)

    ReplyDelete
  9. Saya link ke blog saya ya mbak dee :D miaaaauuuww...

    ReplyDelete
  10. Silakan, Rul. Salam kenal juga buat trasyid.
    Teh Tina, Inna, Mbak Leila, Dani, Mbak Ari, Kang Tian: Iya, emang panjang. Saya aja bacanya ampe disambi nyuci dan ngepel, hehe gak ding.

    ReplyDelete
  11. Bca nyampe separuh. Ndak kuat oey. Dari kemaren mampang terus didepannya LCD. Mataku akut nih :D

    ReplyDelete
  12. mataku pedes mbak... ;p

    tapi kelar juga bacanya, makasih artikelnya.... :)

    ReplyDelete
  13. kopi duluuu... bacanya nanti.. sambil ngopi :D

    ReplyDelete
  14. agama bikin repooottt .. cape deeehh :(

    ReplyDelete
  15. alhamdulillah...gak pernah mengucapkan dan merayakannya hnb....alhamdulillah....alhamdulillah......

    ReplyDelete
  16. Zaza, Prazz, Mas Wib: maap udah bikin mata pedes, yg pedes2 buat dimakan sama tahu enak kayaknya *garink :D*
    Mas Moris: yg repot agama atau manusianya ya? :)
    Himma: alhamdulillah :)

    ReplyDelete
  17. kenapa sih ya kok harus bikin artikel seaneh ini?
    sampai isinya kesalahpahaman2 dan adudomba antara islam dan kristen?
    (saking banyaknya, aku mau mbahas ntar kepanjangan di sini.. kapan2 aku bikin artikel terpisah).

    seharusnya orang2 mui seperti penulis artikel ini, (sebagai mayoritas di indonesia), adalah yg mulai merangkul duluan warga minoritas. dan menggalakkan dialog, bukan adu domba.

    http://onit.multiply.com/journal/item/122/selamat_natal_dan_idul_adha

    ReplyDelete
  18. silakan dibikin artikelnya, nit. protes tulisan dengan tulisan :)

    ReplyDelete
  19. wah subyek agama itu sangat sensitif.... say hi not war....

    ReplyDelete
  20. wah...penjang lebar...tapi menarik....
    makasih infonya yak....salam kenal....

    ReplyDelete
  21. saya rasa point-point yang dibold sudah cukup menjelaskan. gak ada yang aneh dan gak ada yg berbunyi mengadu domba dr tulisan di atas.
    TFS mbak:-))

    ReplyDelete
  22. setuju mbak....saya tadi baca ulang lagi dari atas....ga nemu kata2 yg aneh dan mengadu domba...
    jadi pensaran ntar tulisan dari mbak onit dibawah....yg mana yg dimaksud aneh dan adu domba....

    ReplyDelete
  23. Mba Inci dan Ardhe: sama-sama, makasih juga. Soal "adu domba" (jadi inget lagu rhoma irama, hehe), mungkin onit bisa kasi tau bagian mananya. Sengaja saya bold beberapa bagian tulisan di atas, yang menurut saya itu adalah pesan inti dari tulisan Pak Adian.

    ReplyDelete
  24. Thankx Dee :) Artikelnya menjawab beberapa pertanyaanku sendiri mengenai hal ini. Nemu2 aje...

    ReplyDelete
  25. nggak enak yah, jadi pejabat. jadi inget jaman di sma tn dulu, ketika semua yg muslim memboikot acara perayaan natal. abis yg agama lain pada disuruh ikutan. maklum sekolah semi militer, apa yg dilakukan di level negara, maunya diikutin juga. [latihan kalau jadi pejabat katanya hehehe, what a pity].

    enakan jadi orang bebas, kagak perlu pusing ama protokol. mau datang monggo, mau gak ikutan monggo :)

    ReplyDelete
  26. tulisan yg dibold di 2 paragraf terakhir emang cocok..
    urusan yg keagamaan ya ngajak yg seagama aja.. malah garink kalo ngajak2 yg laen..


    yg menurutku mengadu domba adalah penyebutan 4 mitos itu..
    hmm panjang kalo dibahas di sini.. kalo mau, coba bahas 4 mitos itu sama teman2 kristen.. (aku krn dah pernah ngobrol sama mrk jadi ya heran kenapa pakai ada mitos2 itu dan dibahas seperti itu)

    ReplyDelete
  27. setuju sama onit. cara penulisan artikel ala adian husaini itu emang bikin reseh. hahahahah .... kalau agama ya udah agama ajah. ini malah diajdiin mainan politik ama adian.

    eniwei, aku ikutan ngucapin selamat natal dan bersimpati pada rekan kristen. tapi kalau kudu ikutan merayakan dan doa doa formil segala rada aneh aja sih. kalau ikutan makan makan dan say hello aja sih, why not. :)

    ReplyDelete
  28. coba bayangkan kita muslim.. lagi merayakan idul fitri di negara lain yg muslim mayoritas.. misalnya di amrik..

    lalu kita masak2.. makan2.. mengundang temen2 kantor/temen2 kuliah.. utk ikutan datang..

    trus sebuah badan nasional (aku gak ngerti apakah di amrik ada badan agama kristen nasional seperti MUI) tiba2 mengumumkan melarang warga yg non-muslim utk menghadiri undangan yg muslim dalam merayakan idul fitri?

    bagaimana?

    ReplyDelete
  29. iya tuh, di luar negeri malah yg muslim malah sok sokan mengundang non muslim buat ikutan makan makan.

    ini bisa dianggap islamisasi dan mengubah akidah seseorang gak, yah ?

    ReplyDelete
  30. yeah yeah, sepertinya asik kalau ada pemboman gereja rame rame kayak beberapa tahun lalu. trus ada pemimpin islam yg ikutan perayaan natal bersama yg juga jadi korban. such a tragedy.

    mungkin mari elka pangestu cari tameng dari petinggi muslim sendiri, biar perayaan natal gak dibombardir kayak kemarin.

    hehehe.. komen iseng banget diatas itu. :)

    ReplyDelete
  31. Ini persoalan riil. Sebab masih ada segelintir orang Islam yang suka ikut-ikutan merayakan natal entah sebagai ritual, seremoni, ataupun pesta. Contohnya seperti diceritakan dalam blog di bawah ini:

    Natal 2007
    Fröhliche Weihnachten

    Ini Natal kedua di Bremen, Jerman. Dingin, tanpa kehangatan pelukan Sang Kekasih. Salju 3 hari lalu hilang terbasuh hujan. Misa Natal seperti biasa di St. Johann. Tema khotbah tidak dapat kutangkap semua, maklum bahasa Jerman masih pas-pasan ditambah malas mendengar khotbah. Merry Christmas

    Pesta Natal kemarin dirayakan di rumah kawan-kawan Muslim, sebetulnya sih perayaan ultah salah satu penghuni rumah.
    Kemudian datang MMA (asal Bogor, UI pula, punya nama mirip negara Afghanistan) dan TRY (asal Aceh, ITB pula), yang juga Muslim, tapi menenggak minuman beralkohol lebih banyak dari saya.
    Datang A (asal Bandung, sempat mampir Kiel, tinggal dekat kuburan di Bremen).
    Datang juga Sin, asal Singapura (kaga tahu gimana cara nulis namanya).
    Lalu Anata (cewe Rusia) yang rambutnya mirip Adam's Family, ada putih alami (baca uban) yang membuat indah rambutnya. Lalu Lorena (cewe Mexiko) yang kalau nari gayanya selalu aneh, loncat-loncat kaga karuan. Oh, ya, ada juga Sunthar (cowo India, suku Tamil), ternyata suka dangdut Indo.

    Feliz Navidad
    Menu pesta natal itu, yang sempat masuk mulutku:
    - keripik
    - salat
    - makaroni
    - Amaretto (alkohol 28%), rasanya manis
    - sepertinya Wein (alkohol 9%)
    - Lorsch (alkohol 38%), rasanya kaya puyer
    Perutku perut Indo. Minum minuman haram, kaga mabuk, malah sakit perut.
    (yang aku kaga mabuk boleh dikomentari oleh hadirin pesta itu)
    Tapi kaga nyangka, MMA dan TRY ini minum lebih banyak dariku.
    Mudah-mudahan karir politik mereka di Indonesia kaga kena pengaruh alkohol.
    Siapa tahu MMA ini bakal masuk PKS. Juga TRY ini bakal jadi gubernur Aceh suatu hari.
    TRY entah mabuk atau tidak, malah nyanyi lagu Rhoma Irama sambil ketawa-ketawa, betul-betul paradox.
    MMA ini tiba-tiba mengembangkan Mazhab Hanafi dan Syafii, katanya selama kaga mabuk, minuman itu tidak haram.

    Tapi matanya mulai redup aneh.
    ---truncated----
    for full story, click: http://iscab.blogs.friendster.com/ignatius_sapto_condro_atm/2007/12/selamat_natal_2.html

    ReplyDelete
  32. Panjang kali Lebar penjelasannya..jd bolak balik bacanya ..tp makasih tausiyahnya mba dee...saya rasa ini bukan utk mengadu domba dalam sarana tausiyah saja.

    Dan perkara spt ini dikembalikan buat masing-masing pribadi utk mencernanya.


    OOT :
    Seperti kasus org yang tinggal di LN malah kita tidak mendapat jatah liburan untuk merayakan Idul Fitri/Idul Adha. Malah semisal di tempat kursus bahasa saya, kita yang muslim harus ikut berpartisipasi di bulan desember ini. Saya mengikuti acara bagian makan dan pas utk acara ke gereja saya memutuskan untuk tidak datang walau mungkin berpengaruh pada absensi saya :). Jadi kembali ke pribadi masing-masing dan dilihat kondisi serta situasi jika bisa dihindari baiknya yah dihindari.

    Tentunya ini berbeda dgn di Indo yang mayoritas Islam tapi hari raya umat agama lain di jadikan hari libur nasional. Dan disekolah begitu pelajaran agama Islam, umat agama lain dpersilahkan keluar. Saya berpendapat ini sudah menjadi toleransi yang amat sangat dari umat Islam sendiri..jadi tidak ada paksaan dalam beragama Islam dan umat agama lain wajib juga untuk menghormati dalam pemahaman PNB ini.

    ReplyDelete
  33. saya sempat merasa nggak enak hati untuk tidak memberikan ucapan selamat. sekarang lebih lega, krn tahu kenapa sepantasnnya kita tidak mengucapkannya. mbak dee, silakan juga (kl sempet) baca jurnal saya "it's a big relief" tentang asal muasal ucapan merry x'mast. menurut artikel tsb, penganut kristiani pun sepantasnya tidak mengucapkan hal tsb jika tahu artinya...

    ReplyDelete
  34. kok jadi kakjehan yg reply nih, hehehe...
    rupanya pas saya tinggal bentar si kakak buka window baru dan sign in otomatis rupanya mpku jadi log out hehehe,
    pas balik lagi gak liat2 lagi langsung masukin reply-an di atas...:-))

    ReplyDelete
  35. Mungkin kita perlu bikin satu hari yang bisa dirayakan rame-rame oleh SEMUA umat beragama, dimana kita bisa saling silaturahmi tanpa rikuh. Di Amerika ada Thanksgiving yang dirayakan semua orang. Di Indonesia....? Mungkin kita bisa pakai 17 Agustusan sebagai perayaan "Thanksgiving" a la Indonesia... Jadinya Perayaan 17Agustusan Bersama, gitu.... :D

    Sapa mau bikin tumpengnya?? :D

    ReplyDelete
  36. setujuuu ama kucing yg ada di bawah ini hehehe.
    yg jelas gk mungkinlah muslim dtg ke acara natal di gereja begitu juga sebaliknya. Kita saling ngehargai iya tapi masuk ke jalur yg udah ritual itu gk usah, bikin bingung aja..

    kadang pemuka agama kebablasan menerjemahkan toleransi...

    ReplyDelete
  37. daripada sibuk ngelarang, lebih baik yg beda agama diajak berteman, dirangkul, diajak ngobrol, supaya bisa timbul dialog yg enak..
    http://www.mualaf.com/modules.php?name=News&file=article&sid=264

    semua dari perbuatan dan hati kita.. gak usah pusing2 larang melarang.. manusia punya akal dan pikiran, dan logika & rasio yg akan membantu berpikir.. wallahu'alam

    ReplyDelete

  38. Bener!!! Intinya yang penting khan habluminanas nya itu, asal jgn kebablasan aja..:)

    ReplyDelete
  39. Lakum dinukum waliyyadin...

    La ikraha fiddin...

    Wa lan tardho ankal yahuudu wa lan nashoro hatta...

    *Namun, Jesus/Isa adalah our beloved Prophet who was born not in December at all*

    Peace

    ReplyDelete
  40. jadi inget sebuah kaos bertuliskan kalimat nakal dan agak "subversif" di amrik. ini cerita dari mantan pemred suara hidayatullah.
    di bagian depan tulisannya:
    I LOVE JESUS, BECAUSE I AM A MOSLEM.

    dan di belakangnya:
    ...AND SO IS HE.
    ;P

    ReplyDelete
  41. Mbak dee...
    tulisannya panjang-jang...jangggg....
    cuman saya agak bertanya-tanya
    apakah keislaman seseorang di nilai dari kehadirannya pada acara natal?
    apakah dengan tidak menghadiri natal seseorang bisa di bilang muslim sejati ??
    i dont know......
    it seems like doesn't make any sense
    bagaimana apabila ada keluarga kita yang bukan muslim,
    apakah kita akan menutup pintu dan memutuskan saluran telpon selama bulan desember agar terhindar "mengucapkan selamat natal"?
    serta menghindari acara natal keluarga ??
    i dont know ...

    mungkin tulisan dari islam online bawah ini bisa sebagai tambahan referensi mbak dee.

    Terima kasih

    Name of Questioner
    Selma - Canada

    Title
    Celebrating Christmas With Christian Parents

    Question
    Dear scholars, As-salamu `alaykum. I became Muslim 3 years ago Al-hamdu lillah. I am married now and have a one-year-old baby girl. My parents are Catholics. My question is that Xmas (Christmas) is around the corner now. I really need your advice about visiting my parents for Xmas. My parents have been good so far about me being Muslim. It was hard at the beginning. Can you please get back to me in this regard?

    Date
    17/Dec/2006

    Name of Counsellor
    Ahmad Kutty

    Topic
    Children & Parenthood



    Answer


    Wa `alaykum as-salamu wa rahmatullahi wa barakatuh.

    In the Name of Allah, Most Gracious, Most Merciful.

    All praise and thanks are due to Allah, and peace and blessings be upon His Messenger.

    Dear sister in Islam, we are greatly impressed by your question, for it’s related to the affairs of the new Muslims. We seize the chance to earnestly implore Allah from the depths of our hearts to lead all perplexed men and women to the light of Islam, the true religion of Allah. We welcome all our new Muslim brothers and sisters to the fold of Islam.

    Islam is all for treating our parents, relatives, and friends compassionately. As a Muslimah, it is your duty to be most gentle and kind to your parents. You are allowed to participate in the festivities of Christmas or holiday seasons on the condition that you abstain from specific religious rituals associated with them, if any.

    In his response to your question, Sheikh Ahmad Kutty, a senior lecturer and Islamic scholar at the Islamic Institute of Toronto,Ontario, Canada, states:

    I commend you for your zeal to practice your religion while keeping good relations with your parents. Islam is all about keeping good relations and being kind and helpful to your parents. The fact that they are not Muslims should not prevent you or inhibit your visiting them and staying with them and being charitable and kind towards them. Allah says in the Qur’an, (And We have recommended to man his parents; his mother bore him in weakness upon weakness, and his weaning was in two years. Thank Me and your two parents. To Me is the return. But if they try to force you to associate with Me that of which you have no knowledge, then obey them not. Keep their company with kindness in this world, and follow the path of him who turns to Me. Then to Me will be your return, and I shall tell you what you did) (Luqman 31: 14-15).

    Based on this, you ought to be kind to your parents, regardless of your religious differences with them. While doing so, however, you must never compromise the principles of your own religion.

    Now coming to the issue of Christmas, you are allowed to visit your parents, exchange gifts and partake in their feasts, as long as you stay away from their specific religious observances. For as it should be obvious to you that as Muslims we do not believe in the specific Christian dogmas of the divinity of Jesus or the concept of Original Sin. However, this does not mean that you cannot wish them happiness on such occasions; you are certainly allowed to do so, provided you do not com

    ReplyDelete
  42. bedakan antara PNB di Indonesia dengan di luar negeri, please, folks.

    Harus diterima fakta bahwa PNB di Indonesia adalah bagian dari desain besar krsitenisasi. Itu dulu, yang diterima.
    Sedang di luar negeri, chrismas adalah bagian hura-hura tanpa makna spritual

    ReplyDelete
  43. Sista...
    apakah itu berarti kita hanya bisa berislam di indonesia ??
    bagaimana konsep rahmatan lilalamin bahwa islam itu rahmat seluruh alam, bukan hanya rahmat orang indonesia ??
    bagaimana dengan orang indonesia yang baru masuk islam terus orang tuanya masih kristen??
    apakah dengan mengunjungi orang tuanya saat natal bagian desain kristenisasi ??
    atau dengan begitu keislamannya batal??
    what do you think sista ??

    ReplyDelete
  44. Nabi saw. bersabda: "Barang siapa meniru suatu kaum, dia termasuk kelompok mereka"
    toleransi bukan musti brarti mengikuti, baik itu ritual...kebiasaan...bahkan cuman berpakaian seperti mereka...

    ReplyDelete
  45. tulisan imusafir, kutipan dari islamonline.. mantab.. that's the point that i wanted to say here..

    this does not mean that you cannot wish them happiness on such occasions; you are certainly allowed to do so, provided you do not compromise your specific beliefs in this matter, and provided you are clear in your own mind about the issue that you are simply wishing them happiness and reciprocating kindness with kindness.

    sudah jelas itu semua dari hati kita. selama hati kita gak ikut2an kepercayaan mereka, gak masalah kita mendukung kegembiraan mereka merayakan hari itu. toh mereka merayakannya sebagai kelahiran isa al-masih (walaupun kita tahu itu bukan tanggal yg sebenarnya). kenapa tidak kita mengambil bagian yg sama dari ajaran isa al-masih? tentang ajaran cinta kasihnya? justru pada hari itulah kita bisa punya kesamaan dalam mengimani ajaran allah yaitu cinta kasih dan kedamaian yg dibawa oleh isa al-masih.

    mau di luar negeri, mau di dalam negeri. lebih baik tidak usah curiga soal kristenisasi. walaupun misalnya ada niat mereka kristenisasi, tapi niat kita adalah berbagi rahmat. allah maha mengetahui apa yg ada di dalam hati kita. wallahu alam.

    ps: maaf mbak dee aku komen terus di sini. belum sempet bikin tulisan terpisah ^^;;

    ReplyDelete

Post a Comment