Cerpen saya yang dimuat di majalah Ummi, edisi Juli 2007 kemarin. Tapi yang dimuat di Ummi dipotong (kudu menyesuaikan halaman lah ya...). Yang di sini yang belum diedit. Judul aslinya sih "Dan Bukan Sinarnya", diganti ama redaksi Ummi jadi "Kerlip Bintang", terus untuk diposting di MP saya ganti lagi jadi judul di atas. Mau diganti jadi Perempuan Padi dan Thunderbolt kayaknya gimana gituh, hehe. Selamat menikmati. Kalau Anda mengalami mual, mulas, kejang-kejang karena baca cerpennya, silakan hubungi rumah sakit terdekat, kekekekk....
===============
Perempuan Padi dan Kerlip Bintang
Rahmadiyanti
Setiap melihat bintang ia selalu ingin menangis. Bukan, bukan hanya ingin, namun perlahan airmata itu pasti meleleh, menghantam jiwanya. Kemudian tangisan itu akan berubah menjadi marah. Kerlip bintang seakan mengejeknya. Ia ingin melempar bintang-bintang itu dengan kemarahannya. Kemarahan pada ketakberdayaannya, dan mungkin juga pada kebodohannya.
“Kita harus seperti bintang, jangan seperti bulan…”
“Kenapa, Teh? Bukankah bulan lebih terang dari bintang? Bintang hanya berkelip, kecil, tapi bulan… lihat tuh Teh, bulat dan terang…”
“Tapi itu bukan sinar dari bulan sendiri. Dia mendapat sinar itu dari matahari. Sedangkan bintang, sinarnya itu adalah sinar yang berasal dari dirinya sendiri. Kita harus bersinar. Sinar yang memancar dari dalam.”
“Begitu, Teh?”
“Mbeeekkk…”
“Nah, saudaranya Ifat tuh yang jawab…” Dan tawa berderai. Ia masih ingat itu. Kalimat-kalimat yang dirangkai Teh Asma dan adik bungsunya, Fatimah. Kalimat-kalimat yang juga sering diulang sang kakak pada dirinya.
Ya, ia masih ingat dan tak mungkin akan lupa. Berbaring di atas dipan kayu yang sudah setengah reot di depan rumah adalah sebuah ritual yang sering ia lakukan dengan kakak dan kedua adiknya. Ritual yang diturunkan oleh ayah mereka sejak mereka kecil yang kerap menidurkan keempat anaknya di bawah langit berbintang sambil mendongeng, dan juga berharap agar anak-anaknya kelak menjadi bintang-bintang kehidupan. Sebuah harapan yang kadang diwujudkan berupa buku-buku dan majalah bekas yang dibeli di
Beratap langit, memandang keperkasaan-Nya, sambil menghitung gugusan bintang yang membentuk formasi tertentu. Sebuah kenikmatan tersendiri baginya menghilangkan kepenatan setelah menempuh perjalanan jauh ke
Ia tahu, kakaknya memang berbeda dengan perempuan-perempuan di desanya. Meski hanya tamat sekolah dasar, Teh Asma cukup cerdas dan berpikiran maju. Buah dari harapan ayah dan ibu mereka yang kerap menyenandungkan impian keberhasilan sejak mereka kecil, untuk tidak bernasib sama seperti mereka.
“Kamu harus jadi bintang, Isma. Paling tidak di desa ini.” Itu kalimat yang diucapkan Teh Asma padanya hampir tiga tahun lalu, menjelang kelulusan SMA. “Kamu harus kuliah.”
Kuliah?! Ah, ia hanya tertawa menanggapi perkataan kakaknya itu. Jadi bintang?
“Teh Asma jangan mimpi, ah!”
“Lho, siapa yang mimpi?” Kakaknya balik bertanya.
Ia tertawa getir. Harapan yang terlalu jauh. Dia bisa sekolah sampai SMA saja sudah prestasi tersendiri di desa ini, desa yang masih dianggap tertinggal, meski hanya berjarak sekian ratus kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini. Bahkan prestasi tinggi bagi keluarganya sendiri. Masih terbayang senyum di wajah ibunya saat menjual dua ekor kambing peliharaan mereka untuk membayar uang masuk SMA. Senyum yang tak terbayar karena beberapa bulan kemudian sang ibu wafat, menyusul ayahnya yang lebih dulu wafat
“Teteh menyuruhmu sekolah tinggi bukan semata untuk gengsi, atau untuk meninggikan nama keluarga kita. Bukan, bukan sekadar itu. Tapi agar kamu menjadi perempuan yang tegar, yang kuat.”
“Menurut Isma, Teteh adalah perempuan yang kuat dan tegar tanpa harus kuliah. Teteh toh cuma tamat SD. Perempuan-perempuan di desa kita juga tegar-tegar dan kuat-kuat. Bagaimana tidak tegar dan kuat bila mereka bekerja keras untuk mendukung suami, untuk menghidupi keluarga, panas dan hujan bertani di sawah.” ia beralasan. Alasan yang kemudian dipatahkan oleh sang kakak.
“Itu tak cukup. Kamu harus cerdas.”
“Cerdas
“Memang ada, makanya mereka bukan bintang. Yang Teteh ingin, Isma jadi bintang, bintang kehidupan.”
“Kayak judul lagu aja, Teh,” Ia tertawa. Getir.
“Pokoknya kamu harus kuliah.” Tekad sang kakak tak bisa tergoyah.
“Apakah ini keinginan Teteh saja? Obsesi?”
“Keinginan yang baik, bukan?” Teh Asma tetap berkeras. Tangannya cekatan melipat pakaian.
“Isma mau kerja saja, Teh,” ia memohon. “Kita nggak usah membuang uang untuk sesuatu yang jauh dari jangkauan.”
“Membuang uang?”
Ia tahu, kakaknya marah.
“Bukankah lebih baik uangnya disimpan untuk Imah dan Mina melanjutkan SMA?” Ia memandang kedua adiknya yang masih kelas 1 SMP dan 5 SD itu. Debat sang kakak tak mengganggu lelap mereka. Keluarga mereka termasuk beruntung, tak banyak yang bisa mengecap sekolah hingga SMA.
“Uang bisa kita cari lagi.”
Kukuh.
Dan ia luluh.
Sebenarnya ia pun ingin kuliah. Sebagai mahasiswa. Maha, ya, mahasiswa. Sebutan yang begitu tinggi. Tapi ia sadar, orangtua mereka hanya meninggalkan beberapa kambing saja. Sawah tempat keluarga mereka bertani? Ah, mereka hanya menyewa untuk kemudian menyetor hasil panen. Ia tahu kakaknya pekerja keras, selain bertani, Teh Asma bersama beberapa wanita di desanya membuat kerajinan tangan untuk menambah pemasukan.
Tapi, impian yang terlalu mulukkah untuk sang kakak? Berkeras agar ia bisa menjadi mahasiswa di tengah kesempitan yang ada?
***
Satu semester ia lalui. Entah, terkuras sudah semua tabungan sang kakak. Kambing mereka tinggal empat.
“Jangan sampai dijual lagi, Teh, persiapan untuk Imah dan Mina,” pesannya.
“Kamu konsen saja kuliah, Is.”
Mana mungkin? Uang kos, makan, dan fotokopi saja menghabiskan sekian ratus ribu sebulan.
Semangat terus dipompa sang kakak melalui
Menjelang berakhirnya semester dua. “Kampung kita dilanda kekeringan, Is. Kemarau. Padi huma sama sekali tak bisa ditanam. Palawija juga tak bisa ditanam. Beberapa hari lalu terpaksa menjual si Hitam. Hampir semua warga kampung menjual kambing-kambing peliharaannya untuk membeli beras.”
Si Hitam, kambing bernama sesuai warna bulunya. Yang suka ia tarik-tarik janggutnya. Ia tahu,
***
“Isma berangkat dulu, Bu.”“Hati-hati, Is. Nanti pulang kuliah jangan lupa mampir beli pesanan Ibu, ya.”
Ia langkahkan kaki dengan galau menuju kampus. Entah apa komentar sang kakak bila tahu pekerjaan yang ia lakukan sambil kuliah. Ia beruntung tidak perlu kos lagi. Menghemat seratus ribu.
Apakah ia tega ketika puso melanda sawah-sawah di banyak daerah, termasuk desanya lantas ia masih mengharap uang kiriman? Padahal dia tak yakin kakak dan adik-adiknya bisa makan dengan lauk. Sungguh memalukan.
“Gagal panen, Is. Puso. Semua habis terendam, tidak ada yang bisa dipanen.”
Tahun lalu kekeringan, tahun ini banjir. Ujiankah atau teguran? Mengapa seringkali orang kecil seperti mereka yang sangat merasakan. Mulutnya melafazkan istighfar, telah menggugat ketentuan-Nya.
Ia balas
***
Tengah malam, penat tubuhnya selesai merampungkan beberapa tugas di rumah tempatnya bernaung. Ia menulis
“Kamu bekerja apa, Is? Jangan sampai kuliahmu terganggu. Tidak apa-apa kami di sini makan seadanya. Kamu harus selesaikan kuliahmu, Is.”
Akankah ia jawab
Bukankah kata Teteh, Isma harus tegar dan kuat? Kuliah sambil bekerja hanya sedikit cara untuk memperkokoh ketegaran itu, Teh.
Batinnya bergolak.
Teteh mengerti, Isma pasti berat menjalankannya. Mungkin Teteh terlalu memaksakan diri. Maafkan Teteh. Hujan terus, Is. Kadang kami tetap di sawah bermandi hujan. Kalau sudah begitu deras, kami bernaung. Kamu masih ingat kan, Is nikmatnya nasi hangat meski hanya dengan sambal, disantap di hari hujan.
Ia hanya menyimpan haru dalam biru.
Ingat sekali, Teh. Tapi, jangan memaksakan diri. Hati-hati dengan petir, Teh.
***
Langit malam seperti lukisan yang dibuat jutaan tahun lalu. Kerlip bintangnya masih sama. Ia hapus bulir-bulir yang sejak tadi menetes mengairi pipinya. Kali ini ia tak marah pada bintang-bintang itu. Ia hanya marah pada janji yang tak pernah tuntas ia laksanakan untuk sang kakak.
Hampir enam semester ia kuliah, dengan penuh pergolakan batin. Tak tega ia menghancurkan harapan Teh Asma. Tak tega ia bercerita bahwa pendidikan seringkali tak ramah pada orang-orang seperti mereka. Tak tenang ia kuliah, sementara ia tahu sang kakak harus bekerja keras. Bahwa kedua adiknya harus benar-benar menahan keinginan sesekali makan dengan lauk cukup hanya agar sang kakak harus menyisihkan uang untuk mendukung kuliahnya.
Tak tega ia bercerita bahwa selama dua tahun ini dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada seorang ibu yang secara tak sengaja dikenalnya saat ia melamar sana-sini bekerja namun tak diterima satupun. Berapakah gaji seorang pembantu? Ia mendapat tumpangan tempat tinggal saja sudah beruntung. Beasiswapun ia harus bersaing mendapatkannya kembali dengan mahasiswa lain (banyak yang bernasib sama dengannya).
Tak tega ketika akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan kuliah. Dan tak tega ia menulis rangkaian kata penjelasan pada sang kakak. Rangkaian permohonan maaf tak dapat mewujudkan asa yang sempat tersemai. Tak tega ia menyampaikannya, sampai hari ketika ia mendapat kabar itu. Kabar bahwa sang kakak termasuk salah satu petani wanita di desanya yang tewas tersambar petir saat sedang menanam padi.
Ah, airmata seakan telah habis ia keluarkan. Matanya kembali menatap milyaran bintang. Ia seakan melihat senyum kakaknya pada salah satu bintang. Entah, senyum kecewa atau senyum bahagia…***
Terinspirasi dari peristiwa tragis tewasnya sepuluh petani wanita tersambar petir di Kampung Bayur, Cigeulis, Pandeglang, Desember 2002.
duh sampe merinding bacanya...
ReplyDeletebagus banget, mbak dee :D
bravo!
ko suaranya ga meooongg..... aja mbak :p
ReplyDeleteWaaa... *kaget karena nadia udah selese baca* hehe
ReplyDeleteMakasih ya, nad... nih cerpen udah lama bikinnya, tahun 2003. trus baru ngeh belum pernah dipublish. kasi ke Ummi deh ;)
Btw, saya penasaran neh ama cerpen nadia yang pernah dimuat di femina, mau dunk diposting ;) (atau jangan2 udah pernah diposting di MP yak?)
kambing bisa mengeong?? masuk MURI dwoonk... :p
ReplyDeleteyang femina blm kayaknya, baruyang d spice!
ReplyDeleteperlu minta ijin gak sih? kalo spice! aku ijin dulu...tpkalo femina gak ada yang kenal jd binun ijinnya ama siapa
*meluncur ke mp nadia buat geratak :D*
ReplyDeletesoal izin, setahu mbak sih gak ya, secara hak cipta, kalau sudah dimuat (dan dapet honor :D) hak cipta kembali ke penulis. jadi kita boleh memuat asal ditulis sumbernya (media yg pernah muat). Tapi, kalo ragu mungkin ijin aja kali yee :)
belum selesai baca digangguin Lula melulu..
ReplyDeletelula mo baca juga kali, mbak, hehehe
ReplyDeletecerpen yang menarik. :)
ReplyDeleteta print dulu aja, boleh?
ReplyDeleteenaknya dibaca nytar malem sambil sruput kopi... :D
makasih banyak kang tian :)
ReplyDeletebagus mbak Dee.....temanya menarik...^_^
ReplyDeletehihi, ya boleh, kang...
ReplyDeletetapi daripada ngeprint mending beli ummi-nya hehe. masih ada kayaknye, soale edisi agustus baru aja terbit.
lho.. duh... judul di ats duA kalimat dibelakang sedang akan saya ikut lombakan... entar dikira nyontek lagi. judul cerita saya " ABCD dan KERLIP BINTANG"
ReplyDeletemakasih banyak ndah... iya, tentang petani yang kesamber petir emang nyesek banget. pas baca di koran waktu itu langsung pengen nulis cerpennya. dan ternyata belakangan juga banyak kejadian seperti itu, duuh.
ReplyDeletegak kok diva... kan tetap beda judulnya, cuma dua kata yg sama :).. kalo pun sama gak papa juga kok, yang penting ceritanya beda... dont worry be happy :)
ReplyDeletehehheh iam always happy but worry hehehh
ReplyDeleteWaah, iya, sebaiknya jadi bintang, meski kecil, tapi punya sinar sendiri ^_^
ReplyDeleteSubhanallah bagus mba dee.....seharusnya Isma menjadidiri sendiri,tp akan lebih mulia jika Isma mau menjadi spt apa yg diharapkan oleh sang kakak...Krn membahagiakan org yg menyayangi kita adl.ibadah yah...:)
ReplyDeletebintang keciill di langit yang tinggi... :D
ReplyDeleteyup, selama keinginan orang lain tidak menyakiti dan nggak nyar'i. makasih ve udah baca ;)
ReplyDeletembacanya penuh haru...
ReplyDeletemakasi jeng... kalo perlu tisu bilang ya.. :D
ReplyDeleteperlu :(
ReplyDeleteduuh.... kok dadaku terasa perih ya....
ReplyDeletekerasa banget gimana perasaan Isma.. huhuhuw
*nyodorin tisu sekeranjang*
ReplyDelete*sambil kacak pinggang* siapa yg mukul, siapa?? bilang! nanti ta'samperin! *halah* :D
ReplyDeletemakasi udah baca ya tin...
yang mukul mbak Dee :p
ReplyDeletemukulnya pake tulisan.. hihihihi
kalo gitu gak jadi disamperin... *sambil nampar pipi sendiri, sinteron banget deh!* hehe
ReplyDeletewakakakaka
ReplyDeleteRasa sayang dan harapan yang bikin mampu saling menguatkan ya, hiks...
ReplyDeletetulisannya bagus :-)
ReplyDeletemenyentuh Yan ceritanaaa....makasih dah diposting ya Jeng
ReplyDeleteSubhanallah, keren banget , Mbak...ikutan trenyuh bacanya;(
ReplyDeletemmmmm... bisaan deh promo. :D oke deh nanti ke gramed ta' cari.
ReplyDeleteistri juga suka sih baca-baca ummi. kalo suami bacanya komik jepang hehehe...
duh dinihari baca tulisanmu Dee..trenyuh!
ReplyDeletebagus lho cerpennya... jadi terharu bacanya..
ReplyDeletekeyeen... sering2 dong nulis cerpennya :)
ReplyDeletekekuatan cinta ya, mbak :)
ReplyDeletemakasih banyak, sultan :)
ReplyDeletesama-sama, tante ita cayank.. ;)
ReplyDeletelebih trenyuh lagi dgn kenyataan yang ada ya fit, begitu banyak yg putus sekolah, rasanya saya gak banyak berbuat :(
ReplyDeletemencuri kesempitan dalam kesempatan hehe.
ReplyDeletekomik jepang? punya candy2 lengkap gak? kekekeke...
gak perlu tisu kayak jeng ari kan? :D
ReplyDeletemakasih banyak mba dewi sudha membaca, semoga pendidikan d negeri ini semakin ramah buat orang kecil yaa...
ReplyDeletedengan syarat... gak janjiii... hehe.
ReplyDeletekalo kata mba asma, aku kalo bikin cerpen jadinya bertaon-taon :D
pas kemarin baca di majalah ummi aku smp merinding deh...endingnya bener2 bikin sesak dada nih... :(. padahal kenyataan juga gak selalu manis ya.. :)
ReplyDelete
ReplyDeleteNulis cerpen yang lebih banyak lageee ;)
iya, mbak, tadi pagi aja baca kompas nyesek banget, tentang sekolah di pulau mapia (papua) yang cuma punya 1 murid, gurunya juga 1. trus ada juga anak2 sekolah yg harus 3 jam menempuh perjalanan ke sekolah. ugh, nyesekkk... :(
ReplyDeletehihi... *ngumpet ahh*
ReplyDeletembak helvy, mba asma, u are my great inspiration... ;)
*kenapa ummi terbaru belum nyampe di reni ya , hiks hiks..
ReplyDeletepadahal ada cerpen mb dee ya?
besok marahin abang koran
wah wah... yg edisi agustus aja udah terbit ren, ummi yg muat cerpen mba kan edisi kemaren... nah lho!
ReplyDeletehuhuhuuu..perjuangan "kaum kecil" untuk mendapatkan pendidikan..pengorbanan..kerja keras dan kemauan..terkadang tak seperti yg diinginkan dan diimpikan...
ReplyDelete..pengen nangis baca ceritanya.. :'(
wah gak bisa coment coz blom baca...copy dulu aja yak...
ReplyDeletebetul, main (hehe, nama panggilannya sapa sih?). udah susah payah.. makanya sekolah gratis kudu banget (di sleuruh indonesia) dr SD - SMA, kalo perlu sampai universitas.
ReplyDeletesilakan, maya... :)
ReplyDeletepanjaaaaangggg...........
ReplyDeleteteh dee...panjangnya.....
*komen dulu baru baca*
;p huehehehehe
yap...ada beberapa yang beda dengan yang di UMMI
ReplyDeletehikss sedih jadinya..
ReplyDeletebagus mbak cerpennya
sudah ditanganku mbak, bersama edisi agustus..
ReplyDeletedan udah marahin bapak koran yang biasanya nganter.. (marahin dalam hati hehehe)
ayo mbak, bikin cerpen lagih.. baguuuuuuuus
iya, ren, diedit sampe 1 halaman kayaknya :), soale kelebihan gituh kalo buat halaman di ummi. tapi subtstansi ceritanya gak hilang kok :)
ReplyDeletemakasih banyak mbak sya, alhamdulillah ... :)
ReplyDeleteiya dalem hati aja, kesiaaannn...
ReplyDeletehehehe