Festival Topeng

Rating:★★★
Category:Other
Judul lakon: Festival Topeng
Sutradara: Budi Ros
Pemain: Nano Riantiarno, Sari Madjid, Salim Bungsu, Syaeful Anwar, Sena Sukarya, dll.
Tempat: Graha Bakti Budaya, TIM (5 - 14 Mei 2006)

Sederhana. Itu kesan saya menonton produksi ke-110 Teater Koma ini. Skenografinya sederhana. Tata panggung yang hanya level bertingkat plus beberapa rangka bambu (yang ternyata digunakan untuk meletakkan tumpeng hanya di akhir cerita), dan dua kasur yang dililitkan pada kayu.

Tata cahayanya pun sederhana. Begitu juga kostum. Bahkan pemain utama hanya memakai kostum itu-itu saja selama pementasan. Kostumnya pun sederhana, seperti pakaian sehari-hari. Mungkin memang itu efek yang ingin ditimbulkan dari pementasan ini. Bertalian juga dengan lakon yang memang tak banyak mengandalkan kostum.

Festival Topeng adalah pergelaran yang sudah tradisi diadakan di Desa Mosokambang. Ada kejutan di festival kali itu. Mbah Joyo, sang raja festival, mogok pakai topeng. Di hadapan rakyat ia mengaku capek dan sudah waktunya topeng diserahkan kepada generasi muda. bahkan ia menyarankan topeng-topeng miliknya dikuburkan saja. "Topeng saya sekarang adalah wajah saya sendiri," katanya sambil melepas topeng.

Ternyata masyarakat mendukung. tapi penyelenggara festival bersikap sebaliknya. Petugas keamanan desa malah menyeret Mbah Joyo entah ke mana. Festival bubar, tak dituntaskan. Mbak Joyo lenyap. Desa geger. Masyarakat dijerat saling curiga.

Awal pementasan, vokal pemain kurang prima, tapi selanjutnya tetap bagus. Teater sekelas Koma tentu harus memiliki kualitas vokal yang bagus, meski pentas 10 hari berturut-turut.

Pemain kali ini perpaduan antara aktor lawas dan anyar. Aktor lawas kebanyakan memegang peran utama. Kualitas akting mereka tentu sudah teruji. Salim Bungsu, pemain yang sudah lama malang melintang di Koma, cukup menyedot perhatian. Aktingnya oke, gesture tubuhnya bikin saya kagum. Improvisasinya pun sering bikin orang tergelak. Tapi, saya benar-benar nggak ngerti kenapa dia harus pakai kostum rompi dengan gambar kelinci playboy di belakangnya (pesan terselubung anti RUU APP-kah? mungkin...).

Yang lain, Sari Madjid, tetap prima berperan sebagai Laras, istri panitia festival yang selingkuh dengan Lurah Jarkoni. Begitu juga Saeful Anwar sebagai Samiun, tokoh ambisius di desa Mosokambang. N. Riantiarno yang berperan sebagai Mbah Joyo hanya muncul di awal dan akhir lakon.

Kekuatan Festival Topeng ada pada dialog-dialognya. Pesan-pesan bertaburan pada dialog-dialog pemain. So, harus konsen juga. Kata Mbak Vita, sobat nonton bareng, bapak yang duduk di sebelahnya tidur dan ngorok. Untung saya nggak denger, serious nyimak dialog sih, hehe, taelaaa!

Pentas ini memang sederhana. Tapi ini merupakan bukti kontinuitas sebuah kelompok teater yang telah berusia 29 tahun. Hampir setiap tahun Koma pentas, kaderisasinya juga berjalan terus--hal yang sulit untuk kelompok teater lain. Dalam kurun waktu setahun saja, Koma sudah pentas 3 lakon: Tanda Cinta--yang dimainkan hanya berdua saja, suami istri Nano dan Ratna Riantiarno, kira-kira setengah tahun lalu. Lantas Sam Pek Eng Tay, yang merupakan pentas kaderisasi, dua bulan lalu, dan Festival Topeng.

PS; nggak ada foto, lupa bawa kamera soale. Mbak Vita bawa, tapi belum ngirim hiks.

Comments