Harakah (gerakan) Islam ada banyak di dunia ini, juga di Indonesia. Ada
yang tujuannya sama, cuma beda metodenya. Ada yang beda metodenya, sama
tujuannya (lho ini cuma dibalik ). Ada yang isinya beda, metodenya juga beda. Dan lain sebagainya.
Saya bukan ingin membahas tentang beragam harakah (nggak kafaah
soalnye). Saya ingin sedikit ngobrol tentang senyum. Yup, seperti judul
di atas "Senyum Antarharakah". Piye iki? Opo maksute ( jawa campur betawi).
Kemarin saya mengisi acara di sebuah FLP cabang. Tempatnya di selasar
sebuah masjid yang cukup besar. Sudah biasa teman-teman pengurus FLP
memanfaatkan masjid untuk tempat berkumpul. FLP Pusat pun dulu kerap
menggunakan Masjid UI buat kumpul (alhamdulillah dapat rumah wakaf yang
bisa dimanfaatkan juga buat sekretariat). Begitu juga FLP wilayah,
cabang, ranting di berbagai kota, masjid menjadi pilihan tempat
(sebelum memiliki sekretariat sendiri).
Masjid sudah jelas tempat umum, jadi wajar juga banyak orang (baik
kelompok, organisasi, dll) yang memanfaatkan untuk berkumpul
(mengadakan acara, diskusi, dsb). Begitu juga kemarin. Apalagi masjid
tersebut juga cukup besar dan letaknya cukup strategis, sehingga memang
selalu ramai. Menjelang ashar setelah selesai mengisi, saya langsung
pamit, mau shalat di rumah saja, kebetulan ada janji lagi di rumah
dengan saudara.
Masjid semakin ramai (dibanding siang ketika saya datang), sepertinya
akan ada acara. Menuju gerbang, mengalir banyak orang. Beberapa
muslimah juga bergerak dari arah luar masjid menuju masjid (mungkin mau
shalat ashar, mungkin akan menghadiri acara). Dari tampak fisik, saya
menebak mereka dari harakah tertentu. Begitu juga beberapa pria yang
tampak sudah meramaikan masjid.
Melihat sesama muslim saya selalu berusaha tersenyum. Bukan berarti
dengan yang lain tidak, insya Allah dengan siapapun. Tapi dengan
muslimah terutama, saya akan memberikan senyum termanis saya (deuuu)
karena identitasnya jelas. Apalagi untuk mengucap salam. Wanita
berjilbab pasti muslim kan? *Senyum adalah sedekah, simpel kata Rasul
tapi begitu dalam maknanya. Saya belum banyak bersedekah dengan harta,
makanya memperbanyak bersedekah melalui senyum .
Jarak antara masjid menuju gerbang cukup jauh (satu gelas aqua gitu
hehe). Nggak ding, kira-kira 50 meter-lah. Saya berjalan. Dua muslimah
berjilbab menuju saya (eh masjid di belakang saya). Saya sudah
menyiapkan senyum termanis dan terindah saya *hiperbola dikit*. Tepat
di hadapan kedua muslimah itu hanya melihat saya dan diam, tak membalas
senyum saya.
Ok, jangan panik *kayak Becky di Shopaholic ajah*... mungkin mereka
nggak ngeh dengan senyum saya, atau senyum saya kurang lebar?
Tiga muslimah kembali melintas, saya tetap pasang senyum. Eh, eh,
lagi-lagi dicuekin. Mereka melihat saya (saya yakin itu) tapi sama
sekali nggak mau membalas senyum saya. pasti ada yang nggak beres nih
dengan senyum saya, mungkin ada taring? Atau darah menetes di ujung
mulut saya (hihi, drakula). Kalau ada cermin di dekat saya saat itu,
pasti saya akan mengecek kondisi senyum saya.
Dua muslimah kembali (lagi) melintas. Saya tetap mencoba tersenyum.
OMG, tetap dicuekin! Bahkan saya seperti "diteliti" beberapa saat oleh
pandangan mereka (mudah-mudahan hanya prasangka saya saja).
Lantas melintas lagi seorang muslimah dengan seorang pria (tampaknya
suami istri). Kali ini saya nggak pasang senyum. Bukan apa-apa, kuatir
disangka cewek penggoda, kekekekkkk. Biasanya sih kalo ada sepasang
suami istri saya tetap akan tersenyum. Tapi tiga kejadian sebelumnya
bikin saya ragu. Jadi saya cuma sedikit menarik bibir saya ke atas,
senyum tanpa kelihatan gigi gitu, kalo sebelumnya kan pamer gigi (ampe
tuh gigi kering!). Ealaah, tetep dicuekin, huhuhu.
Kemudian empat orang muslimah lain kembali melintas, saya tetap keukeuh
senyum. Tetap nggak digubriMelintas lagi dua orang, tetap dicuekin.
Hanya memandang saya sekilas, dan kemudian mengalihkan pandangan. OMG
PDA!*
Ada apa dengan cinta.. eh... ada apa dengan senyumku?? Rasanya sudah
cukup bagus, dengan 60 derajat menarik ujung bibir, tampak gigi (gigi
saya bersih kok, meski udah setahun lebih nggak di-scaling ). Terus senyum saya cukup manis (hehe, narsis abis).
Apakah karena penampilan saya tidak sama dengan mereka? Saya teliti
busana yang saya kenakan. Kaos lengan panjang sedengkul, rok jeans biru
dengan motip bunga, plus jilbab biru bermotif menutup dada. Sandal bata
biru muda dan tan ransel hitam kecil. Sepertinya nggak ada yang salah.
Saya mau ambil bedak compact di tas saya yang ada cerminnya, mau cek
senyum, tapi saya batalkan (hihihi).
Wallahu'alam, saya benar-benar nggak habis pikir. Apa salahnya membalas
senyum saya? Apakah karena melihat saya bukan dari harakah mereka,
lantas saya tak pantas disenyumi? Apalagi bertutur-turut begitu. Hiks,
sedihnya.... tenggorokan saya sampai tercekat, pengen nangis, tapi malu
diliat sama penjual ketoprak, mie ayam, teh botol, jadi laper pengen
makan .
Baru kali ini saya senyum, tapi berturut-turut ditolak, huhuhu,
malangnya nasibmu, nak. kalau sekali dua kali nggak dibales sih, baisa.
Tapi ini dalam waktu bersamaan, dengan sekian orang? Ada apa? Saya
masih belum menemukan jawaban. Apa karena penampilan fisik saya beda,
lantas tak berhak mendapat senyum dari saudaranya sesama muslim??
Aduhaii, saya hanya berharap mereka tak melakukan itu terhadap orang umum. Okelah, saya mah agak-agak
mutem (muka tembok), yang penting saya senyum, urusan dibales atau
nggak terserah. Tapi kalau dengan orang lain (yang tak sama dengan
mereka, baik penampilan fisik atau mungkin idelogis, atau bahkan yang
bukan muslim) mereka tak mau tersenyum atau membalas senyum... Semakin
jelek saja image umat Islam. Apalagi dari penampilan fisik mereka
jelas-jelas menampakkan hal itu. Berbusana rapi, dengan jilbab lebar,
dan prianya mengenakan koko. Ah!
Sekarang saja umat Islam sudah begitu diobok-obok, direkayasa dari luar
sehingga citranya semakin buruk. Belum lagi dari umat Islamnya sendiri
yang menambah citra nggak baik tersebut. Hiks.
Okelah, beda harakah, beda metode, sering kali mungkin ada debat tajam
tentang hal yang dilakukan. Yang satu setuju partai, yang lain nggak.
Yang satu nggak bilang bid'ah melakukan ini-itu, yang lain bilang:
kenapa nggak? Yang satu begini, yang lain begitu. Terserah. Saya juga
tergabung di sebuah harakah (idhhh ngaku-ngaku, mending diaku ama
harakahnye hehe), tapi saya hanya berharap apapun perbedaan tidak
lantas memutuskan silaturahmi, sinis-sinisan. Saling menghormati
sajalah dengan perbeda yang ada. Kecuali perbedaan yang jelas-jelas
menyeleweng dalam Islam (kayak belum lama heboh di Jakarta dengan
jamaah Ahmadiyah atau komunitas Eden misalnya).
Tapi kalau untuk senyum saja masak sesusah itu? Kenapa nggak menjalin
silaturahim, saling menguatkan Islam dengan memulai hal yang kelihatan
kecil; senyum? senyum antarharakah gitu lhoh!
Keluar dari gerbang, saya bertemu lagi dengan tiga orang muslimah (dari
tampilan fisik masih sama seperti sebelumnya). Saya tetap tersenyum,
dan... tetap dicuekin. Bodo ah, emang gue viquirriiiin... Yang penting
saya menyebar senyum. Senyum itu sedekah, Bung! (kayak di Medan
aja nih hehehe)
*OMG PDA = Oh My God, Please Dong Ah!
yang tujuannya sama, cuma beda metodenya. Ada yang beda metodenya, sama
tujuannya (lho ini cuma dibalik ). Ada yang isinya beda, metodenya juga beda. Dan lain sebagainya.
Saya bukan ingin membahas tentang beragam harakah (nggak kafaah
soalnye). Saya ingin sedikit ngobrol tentang senyum. Yup, seperti judul
di atas "Senyum Antarharakah". Piye iki? Opo maksute ( jawa campur betawi).
Kemarin saya mengisi acara di sebuah FLP cabang. Tempatnya di selasar
sebuah masjid yang cukup besar. Sudah biasa teman-teman pengurus FLP
memanfaatkan masjid untuk tempat berkumpul. FLP Pusat pun dulu kerap
menggunakan Masjid UI buat kumpul (alhamdulillah dapat rumah wakaf yang
bisa dimanfaatkan juga buat sekretariat). Begitu juga FLP wilayah,
cabang, ranting di berbagai kota, masjid menjadi pilihan tempat
(sebelum memiliki sekretariat sendiri).
Masjid sudah jelas tempat umum, jadi wajar juga banyak orang (baik
kelompok, organisasi, dll) yang memanfaatkan untuk berkumpul
(mengadakan acara, diskusi, dsb). Begitu juga kemarin. Apalagi masjid
tersebut juga cukup besar dan letaknya cukup strategis, sehingga memang
selalu ramai. Menjelang ashar setelah selesai mengisi, saya langsung
pamit, mau shalat di rumah saja, kebetulan ada janji lagi di rumah
dengan saudara.
Masjid semakin ramai (dibanding siang ketika saya datang), sepertinya
akan ada acara. Menuju gerbang, mengalir banyak orang. Beberapa
muslimah juga bergerak dari arah luar masjid menuju masjid (mungkin mau
shalat ashar, mungkin akan menghadiri acara). Dari tampak fisik, saya
menebak mereka dari harakah tertentu. Begitu juga beberapa pria yang
tampak sudah meramaikan masjid.
Melihat sesama muslim saya selalu berusaha tersenyum. Bukan berarti
dengan yang lain tidak, insya Allah dengan siapapun. Tapi dengan
muslimah terutama, saya akan memberikan senyum termanis saya (deuuu)
karena identitasnya jelas. Apalagi untuk mengucap salam. Wanita
berjilbab pasti muslim kan? *Senyum adalah sedekah, simpel kata Rasul
tapi begitu dalam maknanya. Saya belum banyak bersedekah dengan harta,
makanya memperbanyak bersedekah melalui senyum .
Jarak antara masjid menuju gerbang cukup jauh (satu gelas aqua gitu
hehe). Nggak ding, kira-kira 50 meter-lah. Saya berjalan. Dua muslimah
berjilbab menuju saya (eh masjid di belakang saya). Saya sudah
menyiapkan senyum termanis dan terindah saya *hiperbola dikit*. Tepat
di hadapan kedua muslimah itu hanya melihat saya dan diam, tak membalas
senyum saya.
Ok, jangan panik *kayak Becky di Shopaholic ajah*... mungkin mereka
nggak ngeh dengan senyum saya, atau senyum saya kurang lebar?
Tiga muslimah kembali melintas, saya tetap pasang senyum. Eh, eh,
lagi-lagi dicuekin. Mereka melihat saya (saya yakin itu) tapi sama
sekali nggak mau membalas senyum saya. pasti ada yang nggak beres nih
dengan senyum saya, mungkin ada taring? Atau darah menetes di ujung
mulut saya (hihi, drakula). Kalau ada cermin di dekat saya saat itu,
pasti saya akan mengecek kondisi senyum saya.
Dua muslimah kembali (lagi) melintas. Saya tetap mencoba tersenyum.
OMG, tetap dicuekin! Bahkan saya seperti "diteliti" beberapa saat oleh
pandangan mereka (mudah-mudahan hanya prasangka saya saja).
Lantas melintas lagi seorang muslimah dengan seorang pria (tampaknya
suami istri). Kali ini saya nggak pasang senyum. Bukan apa-apa, kuatir
disangka cewek penggoda, kekekekkkk. Biasanya sih kalo ada sepasang
suami istri saya tetap akan tersenyum. Tapi tiga kejadian sebelumnya
bikin saya ragu. Jadi saya cuma sedikit menarik bibir saya ke atas,
senyum tanpa kelihatan gigi gitu, kalo sebelumnya kan pamer gigi (ampe
tuh gigi kering!). Ealaah, tetep dicuekin, huhuhu.
Kemudian empat orang muslimah lain kembali melintas, saya tetap keukeuh
senyum. Tetap nggak digubriMelintas lagi dua orang, tetap dicuekin.
Hanya memandang saya sekilas, dan kemudian mengalihkan pandangan. OMG
PDA!*
Ada apa dengan cinta.. eh... ada apa dengan senyumku?? Rasanya sudah
cukup bagus, dengan 60 derajat menarik ujung bibir, tampak gigi (gigi
saya bersih kok, meski udah setahun lebih nggak di-scaling ). Terus senyum saya cukup manis (hehe, narsis abis).
Apakah karena penampilan saya tidak sama dengan mereka? Saya teliti
busana yang saya kenakan. Kaos lengan panjang sedengkul, rok jeans biru
dengan motip bunga, plus jilbab biru bermotif menutup dada. Sandal bata
biru muda dan tan ransel hitam kecil. Sepertinya nggak ada yang salah.
Saya mau ambil bedak compact di tas saya yang ada cerminnya, mau cek
senyum, tapi saya batalkan (hihihi).
Wallahu'alam, saya benar-benar nggak habis pikir. Apa salahnya membalas
senyum saya? Apakah karena melihat saya bukan dari harakah mereka,
lantas saya tak pantas disenyumi? Apalagi bertutur-turut begitu. Hiks,
sedihnya.... tenggorokan saya sampai tercekat, pengen nangis, tapi malu
diliat sama penjual ketoprak, mie ayam, teh botol, jadi laper pengen
makan .
Baru kali ini saya senyum, tapi berturut-turut ditolak, huhuhu,
malangnya nasibmu, nak. kalau sekali dua kali nggak dibales sih, baisa.
Tapi ini dalam waktu bersamaan, dengan sekian orang? Ada apa? Saya
masih belum menemukan jawaban. Apa karena penampilan fisik saya beda,
lantas tak berhak mendapat senyum dari saudaranya sesama muslim??
Aduhaii, saya hanya berharap mereka tak melakukan itu terhadap orang umum. Okelah, saya mah agak-agak
mutem (muka tembok), yang penting saya senyum, urusan dibales atau
nggak terserah. Tapi kalau dengan orang lain (yang tak sama dengan
mereka, baik penampilan fisik atau mungkin idelogis, atau bahkan yang
bukan muslim) mereka tak mau tersenyum atau membalas senyum... Semakin
jelek saja image umat Islam. Apalagi dari penampilan fisik mereka
jelas-jelas menampakkan hal itu. Berbusana rapi, dengan jilbab lebar,
dan prianya mengenakan koko. Ah!
Sekarang saja umat Islam sudah begitu diobok-obok, direkayasa dari luar
sehingga citranya semakin buruk. Belum lagi dari umat Islamnya sendiri
yang menambah citra nggak baik tersebut. Hiks.
Okelah, beda harakah, beda metode, sering kali mungkin ada debat tajam
tentang hal yang dilakukan. Yang satu setuju partai, yang lain nggak.
Yang satu nggak bilang bid'ah melakukan ini-itu, yang lain bilang:
kenapa nggak? Yang satu begini, yang lain begitu. Terserah. Saya juga
tergabung di sebuah harakah (idhhh ngaku-ngaku, mending diaku ama
harakahnye hehe), tapi saya hanya berharap apapun perbedaan tidak
lantas memutuskan silaturahmi, sinis-sinisan. Saling menghormati
sajalah dengan perbeda yang ada. Kecuali perbedaan yang jelas-jelas
menyeleweng dalam Islam (kayak belum lama heboh di Jakarta dengan
jamaah Ahmadiyah atau komunitas Eden misalnya).
Tapi kalau untuk senyum saja masak sesusah itu? Kenapa nggak menjalin
silaturahim, saling menguatkan Islam dengan memulai hal yang kelihatan
kecil; senyum? senyum antarharakah gitu lhoh!
Keluar dari gerbang, saya bertemu lagi dengan tiga orang muslimah (dari
tampilan fisik masih sama seperti sebelumnya). Saya tetap tersenyum,
dan... tetap dicuekin. Bodo ah, emang gue viquirriiiin... Yang penting
saya menyebar senyum. Senyum itu sedekah, Bung! (kayak di Medan
aja nih hehehe)
***
*OMG PDA = Oh My God, Please Dong Ah!
kok gak senyum sama ti2m ? ntar dibales deh.....lebih maniiiissssss.....hihihihi
ReplyDeletehehehe... nih: :D :D :D :D...
ReplyDeletesalam kenal ya, tim... :)
salam kenal kembali untuk kedua kalinya :P
ReplyDeleteih, si titim! kirain ada orang baru, dasarrr... pake ganti2 MP :p
ReplyDeleteMemang ini yang dikhawatirkan, semoga tidak ada lagi yang dikecewakan seperti Mbak Dian ini. Salam kenal Mbak. Sabar aja, KEEP SMILE
ReplyDeletehiks....kok ada manusia kayak begitu ya mbak?
ReplyDeletekucing aja seneng di-say hello-in (nid asuka say hello ama kucing) lha ini kok malah melengos? hiks...siapa coba yg tepuk tangan kalau umat islamnya kayak begitu? hiks...
mbak, makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih banget surat keterangannnya yaaaaaaaaa
met idul adha, muach muach,,,
Iya, Mbak, kalo saya mah gak apa dikecewain, udah biasa, hehehe.
ReplyDeleteSalam kenal juga yaa, panggilannya apa nih: mbak lisa? mas irfan? :D
Heran deh.
ReplyDeleteRasulullloh aja ma orang kafir tetap bersikap ramah. Ini ngambil ajaran siapa yah?
wah... pantang mundur juga nih kakakku yang satu ini...
ReplyDeletetetep keep smiling walo dicuekin bertubi2... hiks....
coba senyum ama ti2n gitu... hihihi...
gak bakalan dicuekin deehh... ^_^
Asyikk, Nida bisa jadi kader PKS (Pecinta Kucing Sekalee) neeh, hehehe. Wallahu'alam ya, fe, sampe sekarang mbak bingung kenapa mereka gak mau senyum ya...?
ReplyDeleteAlhamdulillah SKnya dah sampe :). Moga bermanfaat.
hueheheheh.....jadi kader PKS? horeeeeeeee. gak diopspek dulu kan mbak? ;))
ReplyDeletembak, kalo ketemu fe gak usah malu2, senyum aja yaaa...(huihihi, geer mode)
hihihi, pokoke prinsipnya: maju iyus pantang mundur, senyum teyuss ampe gugur (syahid), amin :D.
ReplyDeleteNtar kalo ktemu ama ti2n awas ye dicuekin, hehehe.
wah, aku juga kurang tau mbak, mesti ditanya langsung ama mereka kayaknya, hehe. ini jadi hikmah juga buat kita ya, saya takut jangan2 saya pernah disenyumi ama orang lain trus lupa bales (mudah2an sih gak). kan saya murah senyum, uhuk-uhuk :D
ReplyDeleteLisa aja. Karena suami gak pernah mau posting reply:)
ReplyDeletegak ah, kapan2 kalo ktemu lagi ama fe mo mendelik, ngeluarin taring en darah, hihihihi.
ReplyDeleteuntuk anak kecil gak perlu diopspek, fe. kecuali kalo emaknya mo daftar, diopspek tuh, haha
Ok deh, Mbak Lisa. Salam kenal juga buta Mas Irfannya :-).
ReplyDeletewah!seru banget pengalamannya. jadi inget kisah sendiri, :(( aku juga sering menebar senyum (walau senyumku bisa dibilang gak layak terbit) tapi ada beberapa orang yang kadang kalo dikasih senyum gratis gak bayar malah melengos. kasian deh kita!!!!tapi gak apa2 mungkin bener, kita juga pernah begitu kali ya???
ReplyDeleteMungkin sebaiknya ditambah salam kali, mbak Dian, biar lebih mantab gitu... **wakaka sok tau ya** eh, masih inget aku nggak? Kalo nggak, salam kenal lagi deh...
ReplyDeleteYach, namanya juga sedekah. Kadang dibales baik. kadang parahnya malah dianggap ada maunya. Nah lho. So, Ikhlasin ajah. Ngga dibales juga ngga apa2. Insyaalloh, asal senyum kita ikhlas, kita dpt balesannya dari-Nya. Hehehe...
ReplyDeleteiya....
ReplyDeletekalau salam yang nggak dibalas, baru boleh curiga...hehe
Islam hadir sebagai rahmatan lil aalamiin.....
ReplyDeletebenarkah? ;)
Iya, udah, hiks, sambil senyum sambil salam, tapi kurang kenceng kali ya, so mereka gak denger, musti pake speaker kali, hehe. Atau mereka jawab pas di belakang saya kali :D. Tapi ada juga yang saya lupa, senyum dulu baru kasi salam, tapi karena senyumnya gak dibales, salamnya tercekat di tenggorokan :D. Btw, masih kenal kok Mbak Ibra, mbak yang nikah ama muslim Amrik kan? :)
ReplyDeleteIya, betul Mas Doddy, makanya EGP, pokoknya saya senyum, manis ini... lha? hehehe
ReplyDeleteiya, mungkin ya, rat, muhasabah aja, tapi sambil senyum terus, terserah mo dibales ato gak ;)
ReplyDeleteBener, Iwan, pasti, Allah sendiri kan yang menjamin, masalahnya kita sendiri sebagai umatnya sudah gak berbuat rahmah pada 'alamin eh pada orang lain?? *pertanyaan u/ diri saya sendiri juga* :)
ReplyDeletesenyuman bukankah simbol rahmatan lil alamiin? :)
ReplyDeletekenapa bgitu berat ya? sudah pantaskah mengaku muslim jika menyebar rahmat senyuman pun tak sudi.... ;(
Wallahu'alam ya, wan . Mudah2an karena lagi agak lengah aja ya. Ini juga jadi masukan buat saya sendiri yang mungkin pernah lupa bales senyum orang lain
ReplyDeleteoh masih berlanjut hingga kini ya? kirain itu udah masuk museum. Soalnya jadul semasa saya masih kuliah, seringkali punya pengalaman begitu. Mulanya gondok juga, tapi lama2 mikir kok saya punya ekspektasi yg sangat tinggi kepada mereka? Bukahkah setiap orang punya hak untuk memberi senyum pada siapa yg dimauinya,tetapi saya nggak bisa berharap akan selalu mendapat balasan yg sama atas senyum yg saya telah saya berikan kepada seseorang. Duh, bhsnya ruwet amat nih. Sori. salam kenal ya..
ReplyDeleteIya, seperti yang saya tulis di "Jangan Pernah Menolong", dalam melakukan sesuatu jangan mengharap balasan manusia, tapi berbuatlah karena Allah semata (duh, kayak ustazah saya :D). biar gak berat di dada, lepas aja... terserah ada balesan ato gak dari sang manusia. Salam kenal juga Ceetea :)
ReplyDeletePagi tadi pas mo brangkat.... aku jalan dibelakang penjual kerupuk pas mo nyebrang jembatan yang sempit..... eh..karena denger suara motor dan bapak penjual kerupuk itu merasa klo dia yang duluan pasti menghambat orang2 dibelakangnya...
ReplyDeleteDan sesaat kemudian bapak itu menoleh kebelakang dan mempersilakan aku duluan....
Aku pun menganggukkan kepala dan senyum ke penjual kerupuk itu.
Bapak penjual kerupuk itupun dengan ikhlas membalas anggukan dan senyumanku.
Meski terlihat sepele... tapi hal itu membuatku bener2 bahagia... di Jakarta masih banyak juga orang yang dengan senyuman dan keikhlasannya...membuat orang lain bahagia. :-)
Memang bener banget hadits Rasul, senyum adalah sedekah. Bikin bahagia orang yang menerima :). Semoga bapak penjual krupuk itu mendapat balasan terbaik dari Allah. Amin.
ReplyDeleteKesan pertama saya ketemu jilbabers FLP adalah mahal senyum (datang ke stand FLP di bookfair, semuanya cemberut). tapi setelah ketemu Asma, HTR dan Dee ... ganti deh.
ReplyDeleteTapi senyum yang paling indah adalah dari isteri tercinta ....
Uhuiiii! Kalo senyum saya yg dibilang terindah, bisa dibawain golok ama istri mas Benny, huehehe.
ReplyDeleteMudah2an teman2 waktu itu karena udah berlumut jagain stand ya, jadi bukan from the bottom of their heart :). Kalo udah kenal mah, anak FLP bukan senyum lagi, tapi ngakak abizz! :D
wah mbak dee punya pengalaman gini juga tho
ReplyDeleteaku juga pernah mbak di sini. Di jepang kan kalo yg pake jilbab cuma sedikit, jadi langsung ketauan, tapi pas aku senyum eh gak dibales senyum jadi suka sedih deh....hiks sama - sama islam tapinya.... ???
Sabar ya, Neng... katanya salah satu cara u/ ikhlas, abis melakukan sesuatu lupain. Jadi, yuk abis senyum kita lupain aja apakah senyum kita dibalas ato gak. serahin ke Allah :)
ReplyDeleteLam kenal mba....
ReplyDeleteIkutan ya,, walau dah lama..
Baca curhatannya jadi ikutan sedih, yg sabar ya mba. Tapi mungkin mereka matanya agak2 minus mba, jadi ga ngeliat jelas. Atawa karena udah sore jadi agak gelap gitchu.. Yah husnudzhon aja, mudah-mudahan pahalanya berlimpah. Amien..