Saat Tiga Puluh




Tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa.”
[Chairil
Anwar, Karawang-Bekasi]




Kewajiban yang
tersedia lebih banyak dari waktu yang ada.”
[Hasan
al Banna]







Dua carik kalimat tersebut
spontan saya ketik ketika seorang sahabat bertanya bagaimana rasanya
mencapai usia tiga puluh, beberapa hari lalu. Saya bilang, rasanya
campur aduk. Ya, campur aduk. Kemudian saya pun bercerita padanya
soal campur aduk tersebut.




Bahwa pada hari itu saya
sempat menangis sambil menyetrika (lho, kok Upik Abu sekalee? :D).
Hehe, setiap Sabtu pagi biasanya memang jadi Hari Menyetrika Nasional
buat saya sebelum beraktifitas di luar, atau Hari Mencuci Nasional, sering kali keduanya ;-).
Biasanya cucian lebih menumpuk di hari libur itu :).




Sambil menyetrika saya
berusaha memuhasabah 30 tahun hidup saya. Bukan waktu yang singkat.
Betapa Allah telah memberi saya kepercayaan begitu besar untuk
menghirup dunia selama 30 tahun, dengan kondisi yang baik. Saya tidak
cacat, makan bisa tiga kali sehari (bukan makan nasi basi seperti
artikel di Republika hari ini), saya bisa minum susu (bukan sakarin
yang diberi gula—sama, saya baca juga di Republika), saya sarjana
dari universitas terkenal di Indonesia, saya bisa bekerja—di tempat
nyaman pula (tak perlu berjualan kue seperti seorang kakek tua yang
terjongkok lelah di jalan karena kelelahan memanggu). Saya bisa
online setiap hari, bertegur sapa dengan teman dari penjuru, saya
bisa ini, itu. Ah, mau ditambah daftar nikmat tersebut? Tak perlulah,
karena sangat-sangat banyak sekali.




Tapi saya merasa merasa
telah zalim dengan nikmat tersebut. Saya merasa, dalam tiga puluh
tahun usia, saya masih banyak berkutat pada diri sendiri. Lantas
sambil berpanas ria (kan lagi menyetrika) simpul-simpul otak saya
berkelana pada apa yang sudah dilakukan dan bagaimana saya berperan
dalam tiga puluh tahun usia, serta membandingkan dengan sosok-sosok,
baik sahabat dan sahabiyah maupun sosok-sosok yang bisa saya temui
langsung kini.




Saya pun berkesimpulan,
saya belum mensyukuri nikmat usia. Begitu banyak yang mestinya dapat
saya kerjakan, tapi ternyata saya masih termasuk dalam golongan
manusia yang mudah 'tertipu dengan nikmat waktu luang'. Padahal Allah
telah memberi kesempatan pada saya lebih banyak waktu tanpa dibebani
urusan keluarga yang sering kali begitu menyita (menurut teman-teman
yang telah berkeluarga, meski sitaan waktu itu sering kali merupakan
nikmat tersendiri juga :). saya merasa mestinya saya bisa
memaksimalkan peran-peran yang saya punya, namun sekali lagi saya
masih sering terlena. Resolusi-resolusi yang saya buat kadang lebih
banyak tertinggal di atas kertas. Saya bertekad agar . Berapalah lagi
usia saya. Kalau merujuk pada Rasulullah, usia saya hanya tinggal 33
tahun lagi. Tak lebih banyak dari usia yang sudah saya jalani saat
ini. Saya pun merasa ngeri. Meski ngeri sekadar ngeri tak ada
artinya. Saya pancangkan tekad untuk tak mudah tertipu lagi dengan
nikmat waktu. Lebih banyak lagi berbuat, dengan optimal, bukan
pas-pasan.




Saya ungkapkan rasa itu
pada sahabat saya tersebut. Sahabat saya speechless, meski kemudian
agak protes :). Menurutnya, itu hanya perasaan saya saja. Buatnya,
saya telah cukup banyak berbuat, dan sebagai dai saya harus selalu
berpikir positif.




Saya berargumen, bahwa
sering kali orang memandang saya 'lebih' dari yang sebenarnya padahal
kenyataannya, saya sangat jauh dari hal tersebut. Lantas sahabat saya
membalikkan argumen saya, bahwa mungkin buat saya apa yang telah saya
lakukan terlihat kecil tapi buat orang lain mungkin berdampak cukup
besar. Adalah wajar orang meng-khusnuzzhani kita.




Saya meresapi kalimat
sahabat saya tersebut. Diskusi hari itu cukup mencerahkan pemikiran
kami berdua, meski sedikit melow :-). Tapi paling tidak kami
saling menguatkan, meski dengan peran yang berbeda. Dan bahwa
pekerjaan rumah masih menumpuk, dan mungkin akan terus menumpuk.
Menanti peran optimal kita semua.





15.09.05

Buat seorang
sahabat di negeri singa ;)
















Comments

  1. Trimakasih untuk muhasabahnya ya Mbak... jazaakillah.
    Ohya, semoga bisa mengisi sisa jatah umur dengan amal shaleh. Tolong doakan saya juga ya :-))

    ReplyDelete
  2. Sama-sama, Afiyah... :). Semoga kita selalu mensyukuri segala nikmat yang tiada hitungannya...

    ReplyDelete

Post a Comment