Fragmen Ayah dan Putrinya yang Kehausan


Assalamu'alaikum....

Kemarin
sore saya pulang ke Depok nggak ke Pisangan :), pengen
tukeran buku sama Mbak Vita, so sekalian mabit
gitu dan berbagi cerita, maklum jomblo, hehe.
Seperti biasa
saya naik bus, naik yang pertama datang saja-lah, meski penuh. Ba'da
magrib malah bisa lebih penuh lagi. Tau ndiri kan angkutan di
Indonesia kayak gimane? :D.






Ketika masuk ke dalam bus
dari pintu belakang, sayup terdengar suara tangis anak kecil. Saya
menggeser tubuh karena masih ada penumpang di belakang saya yang
mengantri naik. Sampai posisi saya mentok dekat sumber suara tangisan
tersebut. Anak perempuan kecil kira-kira berusia 2 atau 21/2 tahun
duduk di pangkuan ayahnya, di bangku tengah diapit dua orang bapak.
Saya berdiri persisi di sampingnya. Gadis cilik itu sangat lucu.
Berambut keriting, berkulit putih, dengan mata jeli dan mulut mungil.
Saya gemas melihatnya. Ia menangis sambil menarik-narik kemeja
ayahnya, “Eyi mau mimi cucu, Pa, haus. Pa, Eyi haus, mimi cucu. Eyi
mo mimi cucu, huhuhu. Eyi haus...”





Anak kecil itu
mengulang-ulang kalimat tersebut. Eyi atau Ayi mungkin nama
panggilannya. Sejak saya naik ke bus di halte lapangan golf
Rawamangun, kemudian bus tersebut masuk tol, dan merayap perlahan
karena macet, hingga bus sampai di sekitar Pasar Rebo, Eyi terus
menangis. Suara tangisannya tidak begitu keras, nggak menjerit gitu,
tapi saya pikir cukup terdengar semua penumpang bus. Dan Eyi terus
menerus mengulang kalimat tersebut, kadang setengah memukul dengan
lembut dada ayahnya. Airmata bergulir di pipinya, mulut mengerucut,
suara tangisnya membuat dada saya sesak. Terenyuh saya mendengarnya.
Terlihat sekali anak kecil itu sangat kehausan dan tidak bisa menahan
rasa hausnya. Yah, namanya juga anak kecil.





Sang ayah tampak kurang
memedulikan tangis dan rasa haus sang anak kecil. Wallahu'alam ya,
saya melihat dia tidak berusaha merayu sang anak atau menenangkannya.
Wajahnya pun tampak keras. Hanya berkata pendek: iya, iya. Ia juga
tampak terganggu dengan tangis sang anak. Jadilah, para penumpang
lain--terutama yang berdiri dan dapat melihat sang anak yang merengek
pada ayahnya—hanya bisa saling berpandangan. Padahal, aduuuh,
anaknya asli lucu banget *ih, apa hubungannya? :D*. Saya gemas ingin
mengangkat anak tersebut dari pangkuan ayahnya dan menenangkannya.
Saya gemas dengan ayah yang kurang bisa mengasuh anak itu (jadi inget
Workshop Komunikasi dalam Pengasuhan Anak-nya Bu Elly Risman). Bener
kata Bu Elly, banyak orangtua yang nggak siap punya anak. Padahal
punya anak harus benar-benar belajar untuk mengasuh, bukan sekadar
given doang. Satu hal aja,
komunikasi, banyak yang nggak bisa menjalin sama anaknya. Sekadar
menenangkan aja nggak bisa. Padahal anak berkembang kelak dari
respon-respon yang orangtua berikan. Wah, saya semangat benerr, kayak
dah punya anak aje ya :D. Abis gemas banget!





Akhirnya,
saya cuma bisa tersenyum pada anak tersebut, yang kemudian menatap
saya beberapa saat, tapi nggak ngaruh, Eyi kecil tetap meratap,
“Papa, Eyi aus, minum cucu...”





*atau senyum saya senyum
drakula yak?? hehe*.





Saya sendiri berusaha
melihat-lihat penumpang di sekitar saya yang mungkin membawa air
minum. Tapi, sepertinya tidak ada satu pun. Saya jadi kepikiran untuk
menyiapkan segelas aqua, permen, atau apapun, jaga-jaga gitu kalau
ketemu kejadian kayak gini lagi. Duh, tambah sedih aja mendengar
rengekan Eyi. Pikiran saya pun merangkai kemungkinan-kemungkinan.





Mungkin ayah dan anak
gadis ciliknya itu akan menjemput ibunya di suatu tempat. Mungkin
memang mereka hanya pergi berdua ke suatu tempat dan sang ibu lupa
menyertakan botol susu. Atau mungkin memang pria itu single parents??
Yah, mungkin....





Ratapan Eyi masih
terdengar, namun semakin samar. Mendekati Pasar Rebo, bocah kecil itu
kelelahan dan tertidur di dada sang ayah. Sekian menit kemudian,
menjelang Lenteng Agung, sang ayah tampak bergerak, berdiri dan siap
untuk turun. Otomatis gerakannya membuat Eyi kecil terbangun, ia
kembali menangis, suaranya pelan. Saya menggeser tubuh untuk memberi
ruang sang ayah menuju pintu bus. Namun sang ayah tidak bergerak,
setelah berdiri dan keluar dari tempat duduknya, ia diam saja. Saya
pikir mungkin ia hanya siap-siap, turunnya masih agak jauh. Tak lama,
seorang ibu tampak meminta jalan pada penumpang, ia datang dari arah
depan. Kemudian mendekat pada ayah Eyi. Ayah Eyi menengok, kemudian
berkata pada ibu tersebut: “ Nih, dari tadi nangis, minta minum!”.
Dengan kalem dan wajah cuek sang ibu menjawab: “Ini dia juga tadi
nangis...”. Tangannya menuntun bocah laki-laki berusia kira-kira 4
atau 5 tahun, yang tak lama kembali menangis, “Huaaaa...”





Oalaaa. Ternyata ada
bundanya toh! Suami isteri itu ternyata terpisah tempat duduk. Sang
ayah dengan anak perempuannya di deretan bangku belakang, sementara
sang ibu dengan anak laki-lakinya di bangku depan! Tak lama kedua
suami isteri itu pun turun.





Saya bingung mau tersenyum
atau meringis... :). Masih ada pemikiran lain. Apa sang ibu nggak
dengar anak putrinya nangis ya? Tapi nggak mungkin, sepertinya
kedengaran. Lagipula mestinya sang ayah bisa memberi kode. Terus,
kenapa Eyi kecil nggak nyebut-nyebut 'mama' ya? Biasanya kan anak
perempuan kalau haus maunya sama ibunya. Dan banyak pertanyaan lain.





Ah, sudahlah... hehehe.






Salam,
Dee

PS: Foto yang saya
sertakan bukan foto eyi kecil lho, tapi itu Wafa, putri sahabat saya,
Sera (maap ya, Ya, fetakompli pake pic Wafa). Soale anak kecil itu
ampir mirip dengan wajah Wafa, cuma wafa lebih gembil aja, hehe.


Comments

  1. Kasian Eyi dan ribuan anak2 bernasib sejenis seperti mereka. Bahkan di keluarga Abah Mama ku pun begitu Mba, hiks.... rupanya kepapaan yang menjerat membuat situasi seperti lingkaran setan :-(
    Bagaimana ortu sempet terfikir utk ikut training2 pengasuhan anak, kalau utk makan saja sudah pusing tujuh keliling. Belum lagi latar pendidikan yg sangat minim.... :-(

    Hiks, aku jadi mellow baca journal Mba Dee kali :-(

    O iya, soal proposal RumCay, insyaAllah Minggu depan sudah bisa saya serahkan, karena Leeds Girls High School mulai masuk lagi ^_^ Tolong do'a ya ^_^

    ReplyDelete
  2. Iya, kayaknya kalau di Ina harus itu. Kesempatan beramal khan..:) Nggak cuma anak2 yang kehausan di bis.

    ReplyDelete
  3. Iya, Ima, makanya Bu Elly juga punya program buat orang2 gak mampu, tapi belum sejauh mana prosesnya. Yah, gak usah orang2 yang makannya susah, yg masih bsia makan tapi pas2an kayak kelaurga saya juga gak ngeh tuh :D.

    Mengenai proposal Rumcay, makasih banyak ya, Ima... muaahh banget deh! ;)

    ReplyDelete
  4. Iya tuh, biasanya saya suka bawa permen, cuma pas lagi abis. Tapi kayaknya lain kali harus bawa susu kotak deh :D

    ReplyDelete
  5. Hemmm, jadi malluw juga yah. Ternyata emang punya anak musti banyak persiapannya. Nggak cuma dibiarin tumbuh aja...Duhhh..
    Ceritanya mengharukan ihikss...aneh juga para manusia itu. Tapi masih mending si Ayah nggak marah-marah, apalagi nyubit. Duhh..

    ReplyDelete
  6. Iya, Mbak, menjadi orangtua memang harus terus belajar, gak ada habisnya :). Alhamdulillah, saya jadi belajar banyak dari kejadian2 yang saya alami. Alhamdulillah juga sempat ikut workshopnya Bu Elly, meski itu bukan jadi jaminan kita bisa jadi ortu yang 'bener' :) . Toh, banyak ortu jaman dulu yang sukses mendidik anak2nya tanpa ikut workshop, tapi tentu itu karena mereka punya bekal untuk menjadi ortu dan slalu mengasahnya.

    Iya tuh, masih untung si ayah cuma diem aja. Saya sering banget liat anak2 yang dicubit, dipukul, dimarahin dengan disebut hal yang sangat tidak pantas o/ ortunya. Duh, dada saya sesak rasanya. Pernah di kereta jabotabek saya liat seorg anak kecil yang suka menyapu lantai kereta u/ kemudian minta uang, diminta uangnya oleh sang ibu. Si anak gak mau: "ini uang gue!" katanya. Lantas keluarlah makian 'kebon binatang' dari mulut sang ibu. Si anak balik membalas dgn makian kebon binatang juga. Kemudian si ibu memukul sang anak. Astagfirullah. Saya bilang ke ibu untuk ngomong baik2 sama anaknya, eh dipelototin :D. Dan itu hanya fenomena kecil, masih buanyaak lagi yang lain. PR kita makin banyak ya buat kontribusi melahirkan generasi yang baik (bukan hanya dari rahim kita) tapi ikut berperan juga bagi anak2 penerus generasi di sekitar kita.

    Makanya, saya dan teman2 di KPA (Klub Pemerhati Anak) ingin mengadakan program2 yang lebih berdaya, selain workshop komunikasi pengasuhan anak yg pernah kita adakan. Doain ya mbak.. :) (Jadi panjang gini.. :D).

    ReplyDelete
  7. Mbak Dee, tu foto Wafa kok kayak Asy Syifa ya rambutnya. Kriwil-kriwil gitu he he he

    ReplyDelete
  8. Hehe, emang Syifa kriwil ya? Gak ngeh waktu berkunjung ke Nida, hehe. Perasaan rambutnya direbonding, haha! Cup-cup buat Syifa, Mas.

    ReplyDelete

Post a Comment