Anak Bule Sopan



Dua hari lalu saya menghadiri undangan closing ceremony Etre, The Face
of Human Rights, acara yang diadakan Kedubes Swiss. Rangkaian acara
memperingati hari HAM, salah satu mata acaranya bekerja sama dengan FLP
(workshop dan lomba penulisan cerpen bertema HAM).



Acara closing ceremony tersebut diadakan di kediaman wakil dubes. Malam hari.



Memasuki selasar dekat pintu depan rumah, dua orang bocah sudah
menunggu saya (serasa tamu agung, eh salah tamu Pietro Piffaretti deng
:D). Yang satu bocah laki-laki berusia kira-kira 7 tahun, dan yang satu
lagi bocah perempuan 5 tahunan (kakak beradik).



Sang kakak membungkukkan badannya saat posisi saya sudah dekat dengan
dirinya. Dengan ramah ia mengulurkan tangan, kami pun berjabat tangan.



"Hello... good evening... you are...?" sapanya dengan senyum.

"Good evening... I'm Dian..." sahut saya, balas tersenyum.

"Nice to meet you..."

"Nice to meet you too..."

"What's your name?" tanya saya.

"...." (saya agak lupa, hehe, kalau nggak salah Karl *modegakyakin*).



Tiba-tiba sang adik menarik-narik tangan saya yang amsih dalam genggaman sang kakak, mau bersalaman juga.

"Hei... hei... helo..." katanya tersenyum lebar.



Hihi, ternyata bocah cantik itu merasakan dicuekin saya hanya ngobrol
dengan kakaknya. Padahal nggak saya cuekin, gantian gitu. Cuma dia
nggak sabar.



Saya pun menjabat tangannya. Dia membungkukkan badan, tersenyum. Cantik.

"What's your name?" tanya saya.

Bocah cilik itu hanya tersenyum, lebar. Wajahnya tampak bingung.

Saya pun kembali tersenyum padanya.



Kemudian kakak beradik itu mempersilakan saya masuk ke rumah, masih
dengan membungkukkan badannya dan tersenyum ramah. Mempertemukan saya
dengan ayah dan ibunya.



Ramah dan lucu banget. Di dalam, saya bertanya dengan Mbak Melinda, asistant culture, mediator FLP dengan Kedubes Swiss.



"Anak Mr Pifaretti ya, Mbak?"

"Iya. Mereka bisa tiga bahasa lho, Dian..."

"Wah, hebat banget!"

"Tapi... nggak bisa bahasa Inggris, hehe," kata Mbak Mel.



Oalaa, pantesan, si bocah perempuan hanya tersenyum lebar saat saya tanya namanya.

Bocah laki-laki bisa sedikit-dikit.



Mereka bisa bahasa Prancis, Italy, dan Chili (kalau nggak salah).
Ternyata sang ayah keturunan Swiss-Italy, dan ibunya keturunan Chili.



Yang saya kagum, sopannya itu lho. Lepas dari itu disuruh oleh
ayah-ibunya, tapi mereka telah sukses melakukannya. Kelihatan sekali
tulusnya. Nggak dibuat-buat. Sangat menghormati tamu sekali. Membuat
tamu menjadi nyaman dan hommy.



Nggak banyak soalnya saya menemukan anak-anak yang sopan (duile,
kesannya saya hidup di mana gitu ya?). Biasanya anak-anak kan cenderung
cuek, apalagi itu adalah acara ayah-ibunya (meski diadakan di rumah).
Yang datang ya orang gede semua. Eh, mereka mau menyambut tamu satu
demi satu (sampai tamu habis lho... yah, yang nggak telat-telat amat
gitu datangnya).



Mudah-mudahan saya bisa mendidik anak saya kelak menjadi anak-anak yang sopan, juga sholeh dan sholehah tentu :). Amin.



Salam.











Comments

  1. amiiin amin, mbak...
    aku juga pingin si echa bisa gitu. anak kan meniru ortu, ya..
    aku sih udah ramah, tapi suamiku yang pemalu malah bingung ngeliatku,
    "ngapain, sih kamu senyum2 terus??" katanya... "aneh, tau.."
    duh!!

    ReplyDelete
  2. waduh...jadi inget nida yang susah disuruh salam kalo ketemu orang2.
    Baru sekarang tyuh Nida mau salam kalo ketemu temen umminya. Alhamdulillah..akhirnya..
    Kemaren2 jadi 'pengamat' dulu kali yeee:D

    ReplyDelete
  3. Kadang anak-anak dari golongan menengah ke atas mereka dimasukkan sekolah khusus yang mengajarkan sopan-santun (etiket). Dulu waktu anak saya sekolah di Montessori, ada paket khusus untuk kursus table-manner, tea party, dsb.
    Pengalaman saya menyekolahkan anak di berbagai jenis sekolah, jika sekolahnya bagus dan mahal, anak-anaknya cenderung well-behave.
    Jika sekolahnya untuk golongan bawah...waah...anak-anaknya cenderung kasar (anak saya sampai ketakutan setiap kali masuk kelas :)).

    ReplyDelete
  4. Mbak Dee, sama aja kok mbak. Namanya anak-anak ya, nggak peduli anak bule ataupun anak orang asia. Tapi mungkin orang sini lebih appreciative kali ya dan juga di ekspresikan gitu lho.

    Dulu saya waktu di US pernah tinggal di host family dan golongan menengah ke atas ya. Bapaknya profesor di universitas swasta (Notre Dame Univ) yang gajinya tau sendiri gedenya minta ampun dan ibunya perawat. Mereka punya dua anak laki-laki. Dua-duanya di Private school (private school di Amerika kualitasnya bagus, karena bayar ya hehe.. beda sama public school dan yang masuk kesana juga anak-anak borju, seperti cerita Montessary-nya mbak Mamiek).

    Nah anak yang kecil, walah aktif ya nggak bisa duduk diem. Padahal ortunya ngajarin disiplin tapi ya namanya anak-anak ya. Yang gede juga gitu, kadang sopan kadang being such a teenager.

    Tapi doanya mbak Dee, saya aminin juga. Semoga anak-anak kita ya mbak, bisa sholeh dan sholehah dan manis budinya. Salam sayang, Evi.

    ReplyDelete
  5. Hehehehe...adek fatihku juga ramah..:) senyum mulu soalnya...:P

    ReplyDelete
  6. Hehe, iya, Mbak, anak2 kadang susah ditebak ya *modepura2udahjadiibu*. Tapi, sepertinya lebih tepat soal 'lebih ekspresif dan apresiatif' (meski banyak juga yang cuek). Tapi saya perhatikan (di film2 hehe) memang begitu. Mereka gak sungkan mengungkapkan perasaan, dsb. Gak kayak orang kita yang suka dipendam, hehe, gak juga sih, tapi secara umum kali ya, mugnkin karena kultur.
    Makasih telah mengamini doa saya, Mbak. SLMSYGJG (salam sayang juga :D).

    ReplyDelete
  7. Ya, ya... jadi inget, saya punya temen bule dari kalangan the have. Dia juga dikursusin manner2an gitu :D. Pernah dia ngomentarin seseorang karena orang itu cara megang gelas dan minumnya gak sesuai, hehe, oh toloong...!

    ReplyDelete
  8. Hahaha! antara maksud dan realita tak sesuai... ;). gak apa, Ci, kan senyum adalah sedekah :D. Sedekah banyak2 malah bagus kan? ;)

    ReplyDelete

Post a Comment