Penantian





Kalau yang ini cerpen saya yang ada di Antologi Milad FLP ke-5 "Luka
Telah Menyapa Cinta". Waktu itu kita bikin antologi ini untuk membiayai
Milad dan Silaturahmi Nasional I FLP di Jakarta, so semua royaltinya
untuk biaya Silnas. Cerpen-cerpen di antologi ini bagus-bagus lho. Beli
deh! Hehe.





-----------------------------------------------------





PENANTIAN


Rahmadiyanti








2002


    Adakah yang lebih indah dari mati?


    Salim pernah bertanya kepadaku hal itu. Kutatap mata anak yang
lahir beberapa hari setelah intifadhah meletus, Desember 1987.
Anak-anak negeri ini memang berbeda dengan anak-anak di belahan dunia
mana pun. Saat anak seusia mereka masih menggenggam botol susu, mereka
telah menggenggam batu untuk kemudian melontarkannya pada
serdadu-serdadu Israel. Saat anak seusia mereka bersandar manja pada
ayah ibunya, mereka bersandar pada nestapa yang memberi kenyataan bahwa
ayah mereka tak tahu rimbanya setelah diciduk serdadu Israel entah
dibawa ke penjara mana dan entah bagaimana nasibnya, masih hidup atau
mati. Atau ibu mereka yang tertembak ketika sedang pergi ke pasar. Atau
kakak-kakak mereka yang satu persatu tewas diterjang timah panas Israel.





    Adakah yang lebih indah dari mati?


    Pertanyaan yang mestinya belum keluar dari mulut mungil berusia
enam tahun. Tapi, usia di negeri ini bukanlah syarat bagi kedewasaan
mereka. Luka telah menempa mereka. Kegetiran telah mengasuh mereka,
menjadi manusia-manusia matang sebelum waktunya (benarkah?). Kematangan
yang sering menimbulkan kengerian bagi serdadu-serdadu itu.


   


    Mengapa diam saja?


    Saat itu kutatap kembali mata beningnya. Tapi sering kali mataku
tak sanggup menembus kebeningan itu. Adakah yang lebih indah dari mati?
Ah, mati? Aku juga ingin mati.


   


    Mengapa semua orang ingin mati? Ada apa dengan mati? Mata Salim menatapku tak sabar.


   


    “Karena mati itu indah, Salim. Tak ada yang lebih indah dari mati.
Tetapi…mati yang dicintai Allah. Kematian bukan akhir, Salim. Ia adalah
awal kehidupan,” Kuremas rambut ikalnya. Mata beningnya masih menembus,
kini sampai ke jantungku. Aku juga ingin mati.





    “Mati syahid ‘kan, Kek? Mati syahid ‘kan yang dicintai Allah?” Aku
mengangguk. Bola mata beningnya langsung berbinar. “Aku ingin mati,
Kek! Aku ingin mati! Mati syahid, Kek! Seperti ayah dan Kak Ja’far
‘kan, Kek?” Kuanggukkan kembali kepalaku, dan membiarkan binar matanya
semakin cemerlang. Kemudian ia lari menghambur keluar menemui
teman-temannya. Dua hari kemudian ia kembali menemuiku, bercerita
betapa ia dan lima orang temannya berhasil mengecoh seorang serdadu
Israel.


  


     “Kami melempar batu ke serdadu-serdadu itu, Kek. Mereka marah dan
mengejar kami, salah satu dari mereka terus mengejar kami. Ia terus
mengejar sampai masuk ke lubang perangkap yang kami buat. Kami pukuli
dia beramai-ramai, Kek! Hahaha…!” Tawa Salim menggema dalam lorong
jiwaku. Anakmu bukan milikmu…Ia adalah milik jamannya, sejarahnya, tantangannya…Jangan biarkan ia menjelma kamu. Semua anak Palestina adalah anak jamannya. Cita-cita mereka hanya satu: mati.





    Hampir sepuluh tahun lalu, dan pertanyaan Salim terus tertancap
dalam setiap relung tubuhku. Dan waktu sepuluh tahun itu telah
mengantarkan Salim pada cita-cita abadinya.


Tiga minggu lalu. Senyumnya masih mengembang saat kudekap tubuh kakunya
yang penuh darah. Samiya, sang ibulah yang menenangkanku. Ah,
wanita-wanita negeri ini pun begitu perkasa. Samiya telah kehilangan
empat ‘tentara cilik’nya. Tapi dia masih memiliki empat lagi. Usia
tujuh belas tahun Samiya menikah dengan Rasyid, seorang pemuda Hamas.
Di usianya yang tiga puluh empat tahun saat ini, Samiya begitu tegar.
Rasyid syahid dua tahun lalu, hanya beberapa hari setelah Samiya
melahirkan Lukman, adik bungsu Salim. Salim putra kedua Rasyid dan
Samiya. Putra sulung mereka, Ja’far, telah lama menjadi tabungan
akhirat mereka saat usianya belum lagi genap tujuh tahun. Tergilas tank
Israel.





***





    Aku Khalid. Lahir sepuluh tahun sebelum pencaplokan resmi tanah
Palestina. 1948, tahun-tahun yang penuh bara. Tahun-tahun penuh lukisan
darah, hingga kini. Aku menyaksikan rumah-rumah penduduk yang rata
dengan tanah, pembantaian (dimana-mana!), kobaran intifadhah,
intifadhah kedua, ah…begitu banyak. Dan bangsa ini sudah terbiasa untuk
tak menghitung derita. Bangsa ini tak terbiasa menghitung kematian,
kematian datang dan pergi seperti kami melontarkan batu-batu saat
intifadhah (Kau bisa menghitung batu-batu itu?).
Batu-batu itu luruh ke bumi, namun dia tetap ada. Kematian terus
mengikuti kami, seperti halnya kehidupan mengikuti kami. Tapi kami
mencintai kematian, seperti halnya kehidupan dicintai Israel. Bunga
kehidupan hanya tumbuh di taman kematian.





    Dan aku menginginkan kematian itu. Adakah yang lebih indah dari
mati? Wajah Salim membayang di pelupuk mataku. “Aku ingin mati Kek,
seperti ayah dan Kak Ja’far!”. Kutatap langit dan berusaha mencari
senyumannya di sana. Cucu dari satu-satunya anak perempuan yang
kumiliki. Lima anakku yang lain laki-laki, dan semua telah menjemput
kematian mereka, kematian yang mereka dambakan. Syahid. Aku juga ingin
mati. Yang tersisa kini (Ah, pantaskah aku menyebut anak-anak Samiya
dengan ‘sisa’?) adalah aku, Samiya dan empat ‘tentara cilik’ itu.





    “Usiaku sudah lebih setahun dari usia Rasulullah saat dijemput maut, Razaq.”





    “Kau putus asa, Khalid?”





    “Bukankah putus asa sudah hilang dari perbendaharaan kata bangsa kita?”





    Razaq, rekanku mengajar di Universitas menatapku tajam. “Jadi,
bagian dari bangsa siapakah yang menandatangani perjanjian Camp David,
Oslo…? Apakah kau ingin seperti mereka?”


  


    “Kau seperti baru mengenalku, Razaq?”





    “Aku yang seakan baru mengenalmu…”





    “Aku juga ingin mati. Aku ingin mati syahid. Tak perlu kujelaskan
tentang hal ini bukan? Tak perlu kujelaskan lagi bahwa itu adalah
cita-cita tertinggi kita.”





    “Mengapa kau jadi berpikiran sempit seperti itu? Begitukah caramu bersyukur?”





    “Aku hanya takut, kuantitas usiaku tak sebanding dengan kualitas usiaku.”





    “Aku lebih tua tiga tahun darimu, Khalid.”





    “Bangsa ini mestinya hanya butuh darah-darah muda. Rasanya kita terlalu lama hidup di negeri ini.”





    “Usia lanjut bukan berarti kemudaanmu harus hilang, Khalid.”





    Kugores lantai masjid, berusaha melukis wajah Ja’far, Salim, Hasan,
Razin, kemudian ayah dan paman-paman mereka. “Tak bolehkah aku iri
dengan anak dan cucuku sendiri?”





    “Mereka tabungan kita, Khalid.”





    “Aku tahu.”





    “Lantas?”





    Aku hanya ingin mati syahid.



     “Kau seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan.”





    “Sudah lupakah engkau mengapa orangtuamu memberi nama Khalid?”





    “Khalid ibnul Walid, pedang Allah yang selalu terhunus…” gumamku.




    “Bukan hanya itu,” Razaq memotong. “Aah, apakah aku
harus memberitahumu seperti aku mengajar anak sekolah dasar?”





    “Kematian akan menjemput di mana pun kau berada…” aku menggumam
kembali. Tapi mengapa ia tak pernah menjemput ketika aku ikut melempar
batu bersama istri, anak dan cucuku kala pertama kali intifadhah
berkobar, ketika hampir seluruh bangsa ini melontarkannya? Atau ketika
hari-hari di penjara melingkupiku? Ketika serdadu-serdadu itu
berhadapan denganku?





    “Bukankah kita sama, Razaq? Peluru Israel pernah bersarang di tubuh kita?”





    “Kau menyalahkan takdir?”





    “Sekerdil itukah aku?”





    “Mungkin.”





    “Bukankah Khalid juga pernah menggugat?”





    Aku telah ikut serta dalam
pertempuran dimana-mana. Seluruh tubuhku penuh dengan tebasan pedang,
tusukan tombak, tancapan panah. Kemudian inilah aku tidak sebagai yang
aku ingini, mati di atas tempat tidur, laksana matinya seekor unta….



   


    “Tapi tak berarti mengurangi kemuliaannya.” Mata Razaq kembali
menatapku, dalam. Maka tidak akan tertidur mata orang-orang pengecut.





    “Yaa Khalid, syahid memang sangat kita dambakan. Kita bisa memilih
syahid sebagai cara kita mati, tapi kita tak bisa memilih cara kita
mencapai syahid. Hanya jagalah keinginan syahid jangan sampai lepas
dari helaan nafas kita. Kau lebih tahu dari aku, Khalid. Bukankah kau
telah banyak mengantar anak keturunanmu untuk syahid? Adakah yang lebih
indah selain mengantarkan anak keturunan kita ke surga? Maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Razaq berdiri
menepuk-nepuk punggungku.


    


***





    Kutatap Al-Quds. Di kejauhan Qubah As-Sakhrah seakan tersenyum.
Kilauannya memenuhi ruang hatiku. Kutapaki lantai Masjid Suci. Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 





    Duhai…mungkin benar kata Razaq, betapa kerdilnya aku, betapa tak
bersyukurnya aku. Adakah yang lebih indah selain mengantarkan anak
keturunan kita ke surga?


Semua indah. Mati itu indah, apalagi untuk orang-orang yang telah
menjual diri, harta dan keluarganya pada Rabbnya. Semua indah….





    Seorang serdadu Israel tiba-tiba menodongkan senjatanya ke rusukku.





    Siapkah kau mati?





***





150502

Comments

Post a Comment