Kepak Maut Kelelawar Hitam


Ini cerpen saya yang ada di Antologi "Suatu Petang di Kafe Kuningan".
Sesuai permintaan, yang pengen baca, tapi nggak bisa dapat bukunya ;-).
Ini tentang tragedi Poso. Kejadiannya nyata. Waktu itu saya dapat
sumbernya dari Majalah Suara Hidayatullah, Republika, dan beberapa
media lain (lupa). Sampai kini ternyata Poso masih sesekali 'meletup'.



-----------------------------------------------------



KEPAK MAUT KELELAWAR HITAM


Rahmadiyanti








“Uuuuuuuuuuuuuuuuuu…”


Aku tertegun. Suara-suara itu! Suara yang mirip seperti… ah bukan, itu
suara manusia yang memberi tanda telah terjadi sesuatu. Suara yang
menegakkan bulu roma. Suara yang memecah keheningan malam yang tanpa
bulan.


 


Kutegakkan badanku dan bergerak ke arah suara itu. Gemerisik dedaunan
tersentuh tubuhku dan angin berhembus dingin menusuk pori-pori.
Perlahan di sebuah pohon aku berhenti. Pemandangan yang kulihat sungguh
sangat mengenaskan. Puluhan mayat dengan tangan terikat bergelimpangan.
Darah berceceran… Kutahan diriku agar tidak terjatuh.





***





Hari-hariku belakangan ini sering terganggu dengan suara-suara itu.
Istirahatku di siang hari menjadi tidak nyaman lagi. Seperti saat ini.
Terdengar bunyi tiang listrik yang dipukul bertalu-talu.





“Mereka selalu memancing kemarahan kita!” sebuah suara membuatku terbangun dari tidur.





“Memang itu mau mereka!” suara lain yang lebih berat menyambung.





“Kita harus melawan mereka!” seru yang lain dengan gigi gemelutuk tanda marah.





“Jangan gegabah! Jumlah mereka ratusan bahkan ribuan dan senjata-senjata mereka juga banyak! Kita akan mati konyol!”





“Tidak, kita tidak mati konyol tapi kita mati syahid!”





“Benar, walau hanya dengan parang dan senjata dum-dum kita harus melawan mereka!”





Aku hanya terdiam mendengarkan, tak berani memotong pembicaraan mereka.
Kuangguk-anggukkan kepalaku menyetujui suara yang terakhir berbicara.
Pemuda itu benar. “Allahu ma’ana,” bisikku pelan dan nampaknya tak
terdengar oleh mereka.





“Mereka licik!”





“Mereka bukan hanya licik, tapi sadis. Rasanya mereka bukan manusia
tapi iblis-iblis. Kalian ingat saat mereka meracuni air minum PDAM?
Atau saat Serka Kamarudin Ali dibantai dekat Masjid Kayamanya dua hari
lalu?” Aku kembali menganggukkan kepalaku. Aku tahu itu. Kedua tangan
Serka Ali dibacok dan kepalanya dibelah.





“Mereka selalu memakai pakaian serba hitam seperti ninja dan berikat kepala merah.”





“Ya, mereka juga mengenakan kalung bertanda dan gelang rotan.”





“Mereka pasukan kelelawar hitam.





Kutegakkan kepala. Kelelawar hitam? Jadi mereka adalah pasukan
kelelawar hitam yang terkenal sadis itu? Berani-beraninya mereka
memakai atribut….





“Mereka selalu meneror kita,” kata suara yang tampaknya seorang tua memotong pikiranku.





“Ya, kemarin mereka meluncurkan panah ke perkampungan sehingga penduduk panik.”





“Saya mendengar isu, besok mereka akan menyerang pesantren Walisongo.”





“Berarti kita harus berjaga-jaga.” Mereka berjalan menuju pesantren.
Kuikuti perlahan di belakang. Desau angin seakan memberitakan kematian.
Aku bergidik. Ngeri.





***





“Allahu Akbar!”





“Laa ilaaha ilallah!”





“Allahu Akbar!”





Teriakan-teriakan yang menyayat hati seakan menyambut matahari yang
beranjak naik. Suara tembakan terdengar dari berbagai arah. Gila!
Mereka tidak lagi menyerang di malam hari atau menjelang subuh! Mereka
menyerang di siang hari! Dari arah barat dan timur! Kugerakkan diriku
lebih cepat berkejaran dengan angin. Mataku menangkap sosok-sosok
berpakaian hitam memakai topeng dengan ikat kepala merah dan kalung di
dada bergerak kesana kemari. Jumlahnya ratusan! Santri-santri berlarian
menyelamatkan diri. Ke sawah, ke kebun… tapi hanya sedikit yang bisa
melepaskan diri dari serangan itu. Asrama dibakar, asap hitam menyeruak
diantara teriakan dan letusan tembakan.





“Tembakkan dum-dum! Tembakkan dum-dum!” perintah seorang ustadz kepada seorang santri.





“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Kugerakkan tubuhku lebih cepat.
Santri-santri itu tampak kebingungan, tak menyangka pasukan setan itu
akan menyerang di siang hari.





Kelelawar-kelelawar hitam itu merangsek. Dari kejauhan kulihat dua truk
bergerak dari arah Togalu membawa tambahan pasukan. Seratus… dua ratus…
tiga ratus orang! Gila! Benar-benar tidak seimbang!





“Bagaimana Ustadz Sahuddin? Jumlah mereka semakin banyak!” kudengar
seorang santri berteriak kewalahan. Satu persatu santri yang berlarian
roboh ke tanah terkena tembakan kelelawar-kelelawar hitam itu. Matahari
tepat di ubun-ubun saat pesantren terkepung.





“Berkumpul! berkumpul di masjid ” seru Ustadz yang dipanggil Sahuddin
itu memerintahkan para santri untuk berlindung di masjid Al-Hijrah.
Desingan peluru dan gelak tawa membahana diantara teriakan kesakitan.
Kuikuti Ustadz Sahuddin menuju masjid. Pasukan itu kembali merangsek.
Tampak Ustadz Sahuddin dan ustadz-ustadz yang lain berkumpul dengan
santri-santri yang tersisa. Ustadz Sahuddin mencari kain putih.





“Kita sudah terkepung…” katanya lirih. “Senjata mereka lebih banyak dan kita terdesak. Tidak ada jalan lain…”








“Oh… tidak! Tidak! Jangan menyerah!” aku berteriak, tapi tercekat.
Tangisan santri-santri cilik dan wanita menggedor gendang telingaku.
Aku tak sanggup membayangkan apa yang bakal terjadi bila mereka
menyerah. Ustadz Sahuddin mengibarkan bendera putih itu melalui
jendela. Hanya dalam beberapa detik, kelelawar-kelelawar hitam itu
masuk ke masjid. Cuihh! Rasanya ingin kuludahi muka-muka yang
menyeringai menakutkan itu.





“Kumpul semua di ujung!” teriak seorang dari mereka yang tampaknya menjadi komandan.





Puluhan santri dan ustadz itu digelandang ke luar masjid dan
dikumpulkan di tepi sungai Poso. Kemudian dikelompokkan dan tangan
mereka diikat ke belakang dengan tali ijuk, kabel atau rafiah serta
ditautkan antara yang satu dengan yang lain. Kutahan nafasku agar tidak
diketahui oleh pasukan kelelawar itu. Sesaat aku membayangkan para
santri itu akan diberondong dengan tembakan, tapi… tidak. Sebuah
aba-aba memerintahkan mereka untuk membungkuk, kemudian… innalillahi!
Secepat kilat kelelawar-kelelawar haus darah itu menebaskan pedang yang
sedari tadi mereka pegang untuk memenggal tengkuk para santri dan
ustadz tak berdosa itu.





Mataku mengejap.





Darah muncrat. Tubuh-tubuh itu jatuh ke sungai. Sungai Poso yang bening
berubah merah. Darah. Hampir aku tak kuat menahan kakiku untuk tetap
bertahan diatas pohon.   





Pemandangan yang begitu mengerikan. Tubuh orang-orang tak berdosa
tersebut menggelepar meregang nyawa mengikuti arus sungai. Beberapa
dari mereka yang masih hidup berusaha menyelamatkan diri, tetapi
algojo-algojo itu menembakkan senjatanya sebelum orang-orang itu meraih
ranting, dahan atau batang pisang. Merah. Darah. Desa Sintuwulemba
menangis.





***





Kutapaki jalan menuju sungai Poso. Hatiku perih. Ceceran darah seakan
menunjukiku jalan ke sungai Poso. Juga serpihan pakaian, mukena dan
sajadah. Rerumputan bergoyang tertiup angin mengantar kesedihanku. Aku
tertegun di tepi sungai. Tubuhku mengejang dan mataku nanar menatap air
sungai yang memerah. Potongan-potongan mayat mengapung menyebarkan bau
yang menyengat.


 


Bau yang sama juga menyengat dari gundukan-gundukan tanah di desa
Tagolu. Masyarakat menemukan tumpukan mayat didalamnya.
Tengkorak-tengkorak berserakan. Aku mengamati dari kejauhan. Sudah
cukup banyak kekejian yang aku saksikan. Rasanya aku tak sanggup
menyaksikan sisa-sisa kekejian itu lagi.





Oooh…! Ingin rasanya tubuhku membesar. Ya, membesar lengkap dengan
cakar dan taring agar aku bisa mencakar dan merobek-robek wajah dan
tubuh mereka! Tubuh para kelelawar-kelelawar hitam haus darah itu.
Tidak hanya di pesantren Walisongo, mereka juga menebar maut di
desa-desa lain. Aku menyaksikannya. Ya, aku menyaksikannya. Puluhan
desa hancur, terbakar dan rata dengan tanah. Tentena, Malei, Tamborana…
desa-desa yang penduduknya mayoritas muslim. Poso seperti kota mati.
Pohon-pohon coklat meranggas, memendam lara.





Kelelawar-kelelawar hitam itu menggiring orang-orang muslim ke baruga
kemudian menyiksa dan membantainya. Menelanjangi para lelaki, mengikat
dan menutup mata mereka untuk kemudian dihabisi dengan keji. Mencincang
tubuh-tubuh itu sehingga tidak dapat dikenali. Membakarnya hingga
gosong. Para wanita ditelanjangi dan diperkosa sebelum dibunuh. Aku
menyaksikan cipratan darah mengering di masjid Al-Hijrah, baruga dan di
sepanjang jalan menju sungai Poso. Aku menyaksikan bagaimana mereka
menghancurkan rumah-rumah Allah yang suci. Masjid-masjid hancur
berantakan.





Aku juga menyaksikan bagaimana kelelawar-kelelawar hitam itu bisa
hilang begitu saja setelah membantai. Desas-desus masyarakat mengatakan
kalau mereka dibekali ilmu hitam. Entahlah. Yang aku tahu,
kelelawar-kelelawar penghisap darah manusia itu memakai baju dua lapis.
Bagian luar berwarna hitam dan dalamnya putih. Mereka akan melepas
pakaian hitamnya jika diburu sehingga yang tertinggal hanya pakaian
putih. Pantas saja jejak mereka sulit untuk dilacak.





Oooooh…! Aku menyaksikannya. Menyaksikannya semua. Menyaksikan mereka
melemparkan tubuh-tubuh itu ke jurang yang dalam atau ke teluk Tomini
agar menjadi santapan ikan-ikan buas. Aku menyaksikan kelicikan mereka.
Ketika wanita-wanita mereka menyamar memakai jilbab dengan gerak-gerik
mencurigakan. Ketika ninja-ninja itu menyamar sebagai pengungsi. Aku
juga menyaksikan pemberkatan kelelawar-kelelawar hitam itu sebelum
melakukan pembantaian. Aku menyaksikan bagaimana terlatihnya mereka.
Persenjataan mereka yang canggih. M 16, AK 47 dan FN 45 mereka gunakan
untuk menembaki tubuh-tubuh yang mencoba merangkak menyelamatkan diri.
Juga tameng, baju antipeluru dan megaphone.





Huh! Bullshit! Bullshit kalau ada yang bilang pembantaian itu hanya
kerusuhan biasa atau konflik politik lokal. Aku tidak pernah percaya
hal tersebut. Yang aku percayai adalah Poso sama dengan Ambon, Bosnia,
Chechnya, Kosova, Moro, dan berbagai belahan bumi lainnya.


Oooooooh…! Aku ingin tubuhku membesar lengkap dengan cakar dan taring
yang tajam agar aku bisa mencakar dan merobek-robek wajah
kelelawar-kelelawar jahanam itu. Aku ingin tetap disini ketika aku
menyaksikan iringan masyarakat mengungsi ke Palu atau daerah lainnya.
Aku ingin membalas kekejian mereka. Aku ingin membuktikan cintaku pada
Dzat yang telah menciptakanku. Aku cinta padaMu ya Allah…aku cinta pada
jihad dijalanMu ya Allah… Aku ingin tubuhku membesar, lebih besar dari
kelelawar-kelelawar hitam itu.





Tapi mungkinkah? Karena aku juga kelelawar hitam. Seekor kelelawar
hitam dengan tubuh kecil yang tak harus tunduk pada takdirku.
Kukepakkan sayapku dan meluncur terbang di atas sungai Poso. Diantara
desauan angin yang bernyanyi sedih dan riak sungai yang memerah. Darah.





******

Comments

  1. mbak.. cerpennya bikin merinding..
    dan sedih...

    ReplyDelete
  2. Iya, Tyo, saya setiap baca lagi aja masih suka merinding. Semoga ALlah memberi kekuatan pada kita semua, umat muslim untuk selalu menegakkan kebenaran. Makasih ya udah baca, Tyo... :-)

    ReplyDelete
  3. subhanallah..
    semoga sahabat muslim kita memeproleh balasan surga.

    ReplyDelete
  4. assalamualaikum... pa kabar mba Dee...
    baru ngeh kalo yang nulis cerita ini dirimu mba.
    sayah mbacanya di majalah Annida. kesan pertama: horor, sadisme, marah, tapi... bisa apa?
    kok ya kita sampe hari ini baru bisa ngirim doa aja buat saudara-saudara kita yang dizalimi.

    ReplyDelete
  5. alow izti.. alhamdulillah kabarnya nano-nano :D
    iya, cerpen ini emang agak sadis, makanya saya pake POV kelelawar u/ meminimalisir kesadisan. sedih banget emang, hingga hari ini Poso masih sering meletup, sepertinya emang dibuat terus meletup...

    ReplyDelete
  6. assallamualaikum..
    sepertinya cerpen anda, menceritakan teman saya yg selamat, dari pesantren wallisonggo. insya allah dia sehat selalu, sudah lama juga aq tidak ketemu dia.
    wassalam

    ReplyDelete
  7. allahu akbar........
    darah ku saat ini seperti terbakar, ingin sekali aku membalas dan menghabisi kekelawar hitam itu....



    ReplyDelete

Post a Comment