Mencintai Bidadari

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Sakti Wibowo
Judul: Mencintai Bidadari
Pengarang: Sakti Wibowo
Penerbit: Robbani Press (2005)
Jumlah hal: 237

“Jika ada yang bertanya padaku tentang jodoh, sama saja ia bertanya padaku tentang umur.”

Hingga usianya yang tiga puluh tahun, Arum belum juga berjodoh. Wibi, adik lelaki satu-satunya cukup resah dengan ‘kesendirian’ sang kakak. Padahal Arum bukanlah wanita yang tak menarik perhatian pria. Gadis itu cantik, lulusan FKIP sebuah universitas negeri di kota Solo, kemudian setelah lulus bekerja sebagai guru sebuah SMP di dekat tempat tinggalnya, Baturetno.

Desas-desus masyarakat sekitar menyebutkan bahwa melajangnya Arum karena karma. Tiga puluh lima tahun lalu, seorang pemuda pegawai negeri jatuh cinta pada seorang gadis yang orangtuanya terlibat partai terlarang. Orangtua sang pemuda menentang hubungan tersebut, dengan alasan pernikahannya bisa mengancam kariernya di pemerintahan. Namun sang pemuda nekat, dan memilih menikah diam-diam tanpa orangtua. Sampai meninggalnya, orangtua sang pemuda tak merestui, bahkan konon mengutuknya, dan si pemuda kelak akan mendapat karma. Karma itulah yang diwariskan pada putrinya, Arum.

Isu karma itu membuat orangtua di lingkungan sekitar sepakat tidak membolehkan anak laki-laki mereka jatuh cinta pada Arum. Gadis itu memang baik, tetapi bukan untuk dijadikan menantu, begitu alasan mereka. Terlebih ketika suatu hari setelah dua semester kuliah dan kost di sekitar kampus, Arum pulang dengan jilbab menutup kepala. Orang pun semakin berdesus, Arum telah terpengaruh aliran ini-itu. Larangan untuk mendekati Arum pun makin menguat.

---

Sebuah plot yang menarik sebenarnya bila dikembangkan lebih jauh. Apalagi tentang sejarah kakek dan nenek Arum yang mantan aktivis partai terlarang. Kakek Arum tewas ditembak karena tak mau menyerahkan diri, sedangkan sang nenek sempat dipenjara bertahun-tahun. Sebuah tema ‘sensitif’ yang tak begitu banyak diangkat, terutama oleh penulis fiksi islami. Tapi, novel terbaru Sakti Wibowo ini tak hendak bercerita tentang sketsa ‘masa lalu’ tersebut.. Novel ini lebih banyak membawa kita pada lika-liku pernikahan Arum. Lho, akhirnya Arum menikah?

Ya. Setelah beberapa kali dijodohkan oleh Wibi, sang adik, akhirnya Arum bertemu pangeran pilihannya, Jatmiko, pemuda sederhana yang ulet dan gigih. Pemilik toko eletronik yang bahkan tak sampai lulus STM. Kegigihan serta pandangan hidupnya yang membuat Wibi jatuh hati dan menjodohkannya dengan sang kakak. Arum pun jatuh hati dengan pengalaman hidup Jatmiko yang penuh kegetiran. Ia menerima, meski pendidikan Jatmiko tak sebanding dengannya, meski Jatmiko memiliki cacat di tangan, virus polio membuat tangan Jatmiko tak berkembang sebagaimana mestinya.

Konflik pun berputar pada Arum, Wibi, dan orangtua Arum, terutama Bapak, yang selama ini banyak berbeda pendapat dengan putrinya, terutama soal jodoh. Tipikal bapak yang ingin anaknya bahagia, namun dengan keegoisan diri sendiri. Kekurang’jawani’an Jatmiko, yang meski asli Solo namun tak terbiasa dengan etiket-etiket Jawa, membuat Bapak marah karena merasa dikurangajari. Sebuah alasan yang seakan menjadi kamuflase karena Arum telah menolak calon darinya. Untungnya Bapak dan ibu Arum tinggal di luar Jawa, karena bertugas di sana, sehingga kecacatan Jatmiko dapat ditutupi.

Oh ya, Arum dan Wibi tinggal bersama sang nenek dari pihak ibu. Hingga remaja Arum dan Wibi sebenarnya bersama orangtuanya di Sumatera (tak jelas di kota mana). Namun menjelang SMA, ibu Arum tak tega dengan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan minta ditemani, maka dikirimlah Arum, yang saat itu masih SMA, untuk menemani neneknya. Kemudian menyusul Wibi.

Kembali ke konflik Arum dan orangtuanya. Bapak akhirnya menyerahkan perwalian dan urusan pernikahan pada Wibi dan keluarga besar Arum di Jawa. Arum dan Jatmiko memutuskan menikah lebih cepat, karena keluarga besar menginginkan mereka mengadakan acara singsetan sebelum pernikahan sebenarnya. Untuk menghindari penyakit hati, mereka menikah secara rahasia hanya dihadiri nenek dan beberapa saksi (Teman Arum dan Jatmiko).

Prahara menjelma, ketika Arum memutuskan mengirim fotonya dengan Jatmiko, untuk menujukkan pada orangtuanya rupa fisik Jatmiko. Menerima foto tersebut yang menunjukkan cacat fisik Jatmiko membuat Bapak berang. Sang istri pun diutus untuk membawa Arum ke Sumatera, menjauhkannya dari Jatmiko. Seakan tak belajar dari masa lalunya bersama sang istri, yang juga tak disetujui oleh orangtua. Cerita berjalan cepat. Arum dibawa ke Sumatera, tanpa sepengetahuan Wibi. Di sana, ia bekerja di sebuah sekolah, diawasi dengan ketat setiap gerak-geriknya, agar tak ada komunikasi dengan Jatmiko, juga Wibi. Di Solo, Jatmiko kesulitan menghubungi istrinya, yang di mata keluarga masih ‘tunangan’. Dengan bantuan

----

Sakti menulis dengan karakter khasnya, kalimat yang mengalun dan mengaduk emosi, serta cenderung filosofis dan pekat pesan. Bertaburan nilai-nilai yang dengan lihai diselipkan Sakti dalam setiap dialog, meski kadang terlalu bombardir, seperti misalnya dialog-dialog Arum dan Wibi soal jodoh pada bab-bab awal. Beberapa teman yang sudah baca novel ini berkomentar alurnya bab-bab awal agak lambat. Namun bab 4 dan seterusnya, alur semakin ketat dan konflik meruncing.

Cuma, saya agak ‘nggak nyambung’, Arum yang tegar, kukuh, di awal cerita, namun begitu pasrah saat dibawa ‘paksa’ oleh sang ibu. Tanpa perlawanan gitu, padahal sejak awal cerita, karakter Arum yang terlekat adalah tak mudah menyerah. Meski memang uraian tentang kisah Zainab puri Rasulullah, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Ummu Habibah, dan Ummu Salamah, melengkapi perenungan Arum akan kondisinya, walau tak bisa dijadikan perlambang. Perenungan untuk pembaca juga.

Kemudian ending yang cenderung sinetron, menurut saya terlalu dipaksakan. Padahal pengarang sekelas Sakti (ehem) tak perlu membuat cerita terlalu mengharu biru seperti itu. Secara keseluruhan ceritanya sudah mengharukan, tanpa perlu dibirukan (nah lho, istilah apa ini? :D).

Terakhir, buku ini nggak ada logo FLPnya (huaaa…). Padahal Sakti jelas termasuk ‘dedengkot’ FLP. Lupa yee, Sak? :).

Salam,
Dee




Comments

  1. alhamdulillah Fe juga udah baca buku ini mbak. Bagus, tapi jangan tanya bagusnye gimane yeee..blum bisa bikin resensi kayak mbak Dee :D

    cuman sedih aja, kok tokoh utamanya di'mati'in siy sama Sakti? :(

    ReplyDelete

Post a Comment