Satu tekad di hati, mohon disempatkan meski hanya ujung
keranda yang terlihat mata
Ratusan mobil dan motor seakan menuju satu titik. Padat.
Namun, langkah kaki harus tertahan di sebuah rumah saat
rintik hujan semakin membesar
Puluhan orang berteduh
Ratusan lain di rumah depan, rumah sebelah, sebelah…
Ribuan lain di sekitar kediamanmu dengan wajah tak percaya
Tak percaya engkau tlah meninggalkan kami
Doa melantun selesai tunaikan Zhuhur
Wajah-wajah muram masih menanti reda sang hujan
Rintik hujan makin membesar
Tahukah engkau? Mereka menangis… ya langit menangis…
Menangis rindu
Rindu ingin bertemu denganmu, wahai hamba Allah yang shalih…
Dan tangisan itu masih tak kunjung henti
Kami terobos hujan, tak apa basah menerpa…
Tubuh menggigil, bukan karena dingin
Namun karena samar gema takbir menyapa telinga saat makin
mendekat pada dirimu
Kaki terhenti di gerbang
Gema takbir bergemuruh, semakin bergemuruh
Seluruh tubuh merinding
Ketika ribuan orang bergerak, wajah muram, berbulir air mata
turun menghiasi wajah-wajah mereka
Tubuh kami merapat ke dinding, tepat di gerbang, terdesak ribuan orang
Takbir melangit… semakin melangit…
Dan… oh, kulihat keranda itu…
Bergerak. Bergerak.
Semua orang ingin membawa kerandamu. Ingin menyentuhnya
Kemudian kerandamu tepat di hadapanku. Setengah meter.
Mataku tak sanggup memejam, meski air mata sudah memburami
Tubuh ini makin bergetar dengan takbir itu.
Seakan seluruh bumi ikut bertakbir
Langit masih menangis… menangis… terus mengiringimu menuju
liang lahat yang hanya berjarak puluhan meter dari kediamanmu
Kaki-kaki berlari kecil, membelah tanah merah basah
Kaki ini pun mengejar. Masih ingin melihat kerandamu.
Takbir terus melangit…. Melangit…
Langit dan menangis
Hati ini cukup lega sudah, meski hanya memandang keranda
hijaumu. Di kejauhan…
Sementara perlahan engkau diturunkan
Kemudian kaki ini menepi, beranjak menjauh
Langit terus menangis, merindu
Engkau telah terbebas dari dunia fana ini, ya Ustadz…
Sedangkan kami? Akan berapa banyak khilaf lagi yang kami
lakukan?
Berapa banyak lagi ketidaktaatan yang kami lakukan?
Kami menangis karena berkurang orang yang akan mengingati
kami
Yang dengan lembut membimbing kami
Namun nasihatmu masih di hati, moga kami terus mengingat
Untaian mutiara dari penamu masih akan kami baca…
Langit, dekaplah dia. Sambut dia dengan senyum
Rabb, tempatkan Ustadz kami di sisi-Mu yang terbaik, terbaik…
Surga, tunggu dia….
*Dee/Ba’da pemakaman Ustadz
Rahmat Abdulllah, Rabu, 15 Juni 2005
................nangis.................
ReplyDeletegak bisa kutahan air mata ini.....
selamat jalan ya ustadz....
surga menunggumu......
membacanya dengan berurai air mata.....
ReplyDeleteselamat jalan ya ustadz
semoga hikmah yang kau tebar
akan menjadi kereta indah menuju surga-Nya
Iya, Titin, Biru, kalo inget kemarin masih sesak dada ini. Kiamat memang semakin dekat ya, dimana salah satu tandanya adalah Allah akan 'mengambil' hamba2nya yang shalih. Lantas bila kita dipanjangkan usia, gembirakah kita? Kalau hanya memupuk khilaf dan dosa...
ReplyDelete