Juli Bersama Natsir


JULI BERSAMA NATSIR


 


“Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu
akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’” [George McT Kahin, Guru Besar Cornell University]


 


Tahukah siapa yang dibicarakan Kahin di atas? Ya, betul, salah satu founding father negeri ini, Allahu yarham Mohammad Natsir.


 


Sebenarnya tanpa sengaja saya menulis ini. Tugas menulis di rubrik Bianglala Annida bertema Agustusan, menemukan saya (kembali) pada tokoh kharismatik ini, yang sangat saya kagumi. Saya sempat berkaca-kaca membaca berbagai tulisan tentang beliau. Integritas pribadinya memang tak diragukan. Beliau satu dari sedikit tokoh bangsa yang benar-benar berdedikasi pada negeri ini. Ruang Bianglala yang sempit tidak memuaskan saya untuk menggerakkan pena ‘mengumbar’ kisah tentang beliau. Ditambah, 17 Juli lalu adalah tanggal milad beliau, meski sudah 12 tahun beliau berpulang.


 


Ah ya, sebenarnya saya tidak menulis, saya hanya merangkum dari berbagai tulisan :-).


Sosok yang Bersinar Namun posisinya ‘Kabur’


Mohammad Natsir adalah salah satu founding father Republik ini yang hingga kini dinilai belum mendapatkan penghargaan yang layak dari bangsanya sendiri. Dalam sejarah nasional posisinya pun masih ‘kabur’. Keadaan itu telah berlangsung sejak era Orde Baru dan berlanjut hingga era reformasi. Padahal jasa-jasa mantan Perdana Menteri RI setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara.


 


Beliau adalah sosok yang memiliki banyak segi dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang yang digelutinya, beliau selalu tampil di garda depan. Sebagai politisi, beliau pernah sampai ke puncak: ketua umum Partai Masyumi, partai politik Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951). Sebagai ulama, beliau merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah lembaga dakwah terkemuka di Tanah Air. Selaku intelektual, Natsir mungkin seorang ulul-albab: tidak sekadar punya wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh keprihatinan, memikirkan, dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal sebagai pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun, jujur, demokratis, dan moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar hal-hal yang dinilainya sebagai prinsip.

Beliau pernah mengecam pendapat sementara ilmuwan bahwa ilmu fiqih sudah tidak relevan. ”Kepandaian mereka belum cukup untuk menghayati Islam secara benar.” Bagi beliau, untuk mengembalikan Islam ke masa jayanya, seperti di zaman Khalifah Umar, ufuk dakwah harus diperluas, sambil kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Tak heran, beliau merasa gembira melihat semakin banyaknya pemuda Indonesia menggemari buku Islam. “Lihatlah, para pembeli buku Islam umumnya kaum muda,” kata beliau dalam wawancara dengan majalah Tempo sepuluh tahun lalu.


 


Namun citra positif Natsir masih kurang disosialisasikan terutama kepada generasi sekarang dan masa depan. Saya ingat, saat pelajaran Sejarah waktu sekolah dulu, gambaran tokoh satu ini memang terlihat kabur. Beliau diasosiasikan sebagai tokoh ekstrem, fundamentalis, dan sejenisnya, karena beliau ‘kritis’ terhadap ideologi Pancasila, karena dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, beliau merupakan tokoh nomor satu yang memperjuangkan dasar negara Islam. Beliau juga dicitrakan sebagai ‘pemberontak’, karena di akhir tahun 1950-an ‘bergabung’ dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI sendiri tak bisa serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik setting sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan tiap tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui ‘bergabung’ dengan PRRI lebih belakangan. Beliau semula di Jakarta, tapi karena terus mendapatkan teror dari antek-antek PKI, bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya terpaksa meninggalkan ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan Natsir, seperti dituturkan Kahin, sebenarnya tidak banyak ikut serta dalam proses gerakan yang berujung ‘perang saudara’ itu. Satu hal penting lagi, beliau menolak cara-cara konfrontasi untuk menekan Jakarta.


 


Antara tahun 1950-1960, beliau menjalani tahanan politik di Batu, Malang. Tahun 1961-1966 beliau ditahan di Rumah Tahanan Militer Keagungan. Konon, bukan hanya karena beliau pernah menjadi Deputi Perdana Menteri PRRI, tetapi karena beliau konsisten anti-Soekarno. Juli 1966 beliau baru dibebaskan tanpa proses pengadilan.


 


Di samping Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu ‘arsitek PRRI (yang muncul sedikit di Film ‘Gie’ yang sedang beredar itu), serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya. Tetapi seburuk-buruk nasib Sjahrir, ia masih lebih beruntung dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai pengkhianat negara selama tiga tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966, tokoh sosialis ini langsung dianugerahi Pahlawan Nasional. Sedangkan Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim Soeharto, nasibnya kelak masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir. Berbagai atribut dan penghormatan, seperti Pahlawan Nasional telah disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan nasional itu tercermin dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno (2001).


 


Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi. Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya sebagai pemberontak’ terhadap Republik tidak pernah secara resmi direhabilitasi pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain bersama Sumitro, seakan-akan tetap dianggap sebagai ‘dosa-dosa politik yang tak Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena tokoh pelopor Mosi Integral ini diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga tokoh Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud. Sampai pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan Megawati.


 


Saya yakin, kalaupun beliau masih hidup, penghargaan bukanlah hal penting bagi beliau, mungkin hanya setitik debu, tapi anak bangsalah yang mestinya sadar.


 


Menguasai Banyak Bahasa


Lahir dari orangtua bersuku Minangkabau di kota Alahan Panjang (sekitar 30 mil di sebelah selatan Solok), Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Ayahnya adalah pegawai rendah di kantor pemerindah daerah di Alahan Panjang, lulusan sekolah dasar berbahasa Indonesia, dan tak pandai berbahasa Belanda (HIS belum lagi didirikan di daerah tersebut). Ibunya pun hanya pandai membaca dalam bahasa Indonesia. Orangtua ini menyadari bahwa mereka mempunyai anak yang berbakat, dan berusaha semampu mereka untuk memberikan pendidikan terbaik untuk Natsir belia. Setelah menempuh
sekolah swasta selama setahun di Padang, dia melanjutkan selama tiga tahun di HIS Solok, sementara itu, sepulang sekolah Natsir belajar di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul (ulama berpengaruh yang memperkenalkan Muhammadiyah di Sumatera Barat). Selanjutnya Natsir menerima berbagai beasiswa untuk melanjutkan sekolah di MULO (1923-1927) dan kemudian di AMS yang sangat prestisius di Bandung, yang ditamatkannya pada tahun 1930. Natsir sangat menguasai bahasa Inggris, sebagaimana bahasa Belanda, dan juga fasih berbahasa Perancis, Jerman, Arab, dan Latin.


 


Kisah Subandrio dan Raja Faisal


Integritas Natsir sebagai tokoh Islam juga diakui oleh dunia. Beliau bukan hanya pemimpin umat Islam di Indonesia, namun juga pemimpin umat Islam dunia. Ini ditegaskan oleh Raja Faisal dari Kerajaan Arab Saudi. Dikisahkan, pada akhir 1965, Hasan Basri diangkat menjadi Majelis Pimpinan Haji ke Mekah. Sewaktu singgah ke Jeddah, kawannya, salah seorang staf KBRI Jeddah, bercerita soal pengalamannya mengantar Subandrio menemui Raja Faisal. “Pak, Bapak tahu ada suatu rahasia besar waktu Subandrio naik haji,” ujarnya pada Hasan Basri. Kawan itu menambahkan, “Lama sekali kami mengusahakan dapat bertemu dengan Raja Faisal, tapi ia (Subandrio) tak bisa diterima. Ketika akhirnya Raja Faisal menerima juga, Subandrio cerita banyak tentang Islam di Indonesia, bahwa (perkembanganya) baik sekali. Subandrio melaporkan bahwa ia membela Islam, naik haji dan sebagainya. Raja Faisal diam saja. Setelah Subandrio selesai, Raja Faisal langsung bertanya, satu pertanyaan saja, “Kenapa saudara tahan Mohammad Natsir? Saudara tahu, Mohammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, tapi pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!” Kawan Hasan Basri yang mendampingi Subandrio itu menyaksikan, betapa Subandrio menjadi pucat mukanya.


 


Berusia Panjang dengan Ibadah


Pada Januari 1985, saat usianya 76 tahun, Mohammad Natsir masih rajin menulis di Media Da'wah dan Suara Masjid yang dipimpinnya. Menurut beliau resep panjang umurnya adalah memperbanyak ibadah. “Yang jelas, orang setua saya ini yang paling tepat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala,” katanya saat diwawancara majalah Tempo.


 


Pada tanggal 6 Februari 1993, beliau wafat, meninggalkan lara karena bangsa ini kembali kehilangan ‘guru besar’nya.


 


***


 


Sumber tulisan: Kompas, Republika, Tempo, buku-buku, internet, dll :).


 


NB (Nambah Bo’!):


Pernah jalan-jalan ke Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto, Jaksel? Atau lihat diorama di Monas? Pernah kali ya waktu SD… :). Sekali-sekali kalau sempat coba deh lihat-lihat lagi, maka akan kita temui banyak ‘penyelewengan’ sejarah dan ‘marginalisasi’ umat Islam yang mungkin waktu SD dulu kita nggak sadar :). Bakal gemes abis deh kalo liat ntu museum pada!


 


 

Comments