Wandu, Berhentilah Menjadi Pengecut

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Tasaro [Zikrul Hakim, 2005]
Kalau yang ini, review Pemenang I Lomba Novel FLP. Review ini sudha pernah saya posting di milist FLP. Kalo yang 'Gadis Kunang-Kunang' emang baru saja saya tulis resensinya, minggu lalu beli bukunya, diskon gede, lumayan kan? :D

-------------

Wandu, Berhentilah Menjadi Pengecut! (WBMP).
Ya, WBMP adalah pemenang I Lomba Menulis Novel FLP yang diumumkan 25 Februari 2005, pada puncak acara milad FLP di Yogyakarta. Penulisnya Tasaro, nama pena dari Taufiq Saptoto Rohadi, kelahiran 1 September 1980. Saat ini Taufiq bekerja di harian Radar Bandung sebagai redpel (redaktur pelaksana).

Saya hanya mengulas saja kali ya, nggak berani dibilang mau mengkritisi :D.

WBMP bercerita tentang Maruta, Bhumi, Chandra, Angkasa, dan Dahana (unik ya penamaan tokoh-tokohnya?). Lima orang sahabat yang ketika kuliah bergabung dalam geng De Jour. Sebuah peristiwa membuat persahabatan mereka retak. Setelah lulus, masing-masing melanjutkan hidup dengan menyimpan tanya bahkan bara, siapa sebenarnya pelaku peristiwa tersebut?

Maruta atau Maru, berprofesi menjadi novelis, dan telah menikah dengan Kartika. Bhumi, wartawan idealis yang bekerja di sebuah harian di kota Bogor. Chandra, dosen sastra di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Angkasa, seorang yang sangat tersakiti karena peristiwa tersebut memilih melanjutkan studi fotografi di Melbourne, Aussie.

Sampai suatu hari salah satu dari mereka mengajak bertemu, reuni, tanggal 13, jam 13, di sebuah kafe di Yogyakarta, tempat mereka dulu kuliah, menjalin persahabatan. Pertemuan yang mengundang banyak tanya bagi Maru, Bhumi, Chandra, dan Angka. Apakah untuk menjelaskan peristiwa masa lalu tersebut? Atau apa…?

Segenap rasa menggerakkan langkah keempat orang itu untuk bertemu di Yogya. Bahkan Angka yang awalnya ragu, akhirnya terbang dari Melbourne untuk menghadiri reuni tersebut. Namun, pertemuan tersebut ternyata…
Wah, ini nggak boleh dilanjutkan, soalnya jadi nggak seru ntar ;).

Mengutip Mbak Helvy (waktu launching Sabtu lalu), alur novel ini mengingatkan pada novel Saman-nya Ayu (atau Supernovanya Dee-yah? Hehe, maklum, saya belum baca tuh novel 2-2nya, cuma liat2 doang, padahal di rumah ada bukunya :D). Maksudnya, penulis menceritakan setiap tokoh ‘berdiri sendiri’, masing-masing dengan aktifitasnya, dengan masalahnya. Dimulai dengan Maruta, Bhumi, Chandra, dan Angkasa. Kemudian baru mempertemukan mereka dalam ‘reuni’. Di situlah juga dimunculkan tokoh ‘pengundang’ keempat orang itu dalam reuni tersebut.

Secara umum novel ini enak dibaca, alurnya mengalir, penokohannya pun cukup kuat dan detil (kalau baca endorment dari Mbak Helvy, sama, hehe).

Penulis berhasil menyimpan klimaks dengan rapi, meski diberi beberapa clue, sehingga pembaca juga menebak-nebak.

Membaca beberapa halaman awal, menurut saya agak sedikit lambat alurnya, tapi setelah masuk bab 2 (Bhumi) saya nggak berhenti tuh buat menyelesaikan novel ini. Mungkin rasa penasaran sehingga membuat saya antusias melahap sampai akhir. Rasa penasaran ingin tahu apa ujung dari reuni tersebut, apakah diketahui siapa sebenarnya yang bertanggung jawab pada peristiwa yang membuat persahabatan mereka retak?

Sayangnya permasalahan masing-masing tokoh yang menurut saya menarik, seperti ‘terbuang’ begitu saja, tak ‘termanfaatkan’untuk membuat novel ini semakin dalam. Bhumi dengan keidealisannya sebagai wartawan yang ternyata dicintai oleh Bas, teman satu kosnya yang gay. Angka dengan keputusasaannya dan merasa lebih mencintai Aussie dibanding negerinya sendiri. Maruta dengan rasa bersalahnya pada Angka yang dipendam tahunan. Terutama Bhumi, yang menurut saya tokoh yang paling menarik. Saya suka sama tokoh ini.

Selain itu, ada banyak hal berusaha ditampilkan Tasaro dalam novel ini. Soal profesi wartawan yang sering kali memicu dilema, antara idealisme dengan tuntutan pasar (bisnis?). Soal nasionalisme. Soal homoseksual. Dan, nggak ada cinta-cintaan di sini (catett.. ;).

Yang juga menarik adalah penggunaan nama tokoh. Taufiq, pada launching Sabtu lalu, bilang kalau dia memang sangat tertarik pada falsafah Jawa yang belum lama ia sadari (padahal ia adalah roang Jawa :). Maruta yang artinya angin, sesuai dengan karakter tokoh yang menurut Taufiq seperti angin hidupnya, berhembus mengikuti arah. Bhumi. Chandra yang berarti rembulan, Angkasa, sampai Dahana, yang berarti api.

Layak buat dikoleksi menurut saya :)

Comments

  1. Wah, keduluan Mbak Dian deh bikin resensinya :p Padahal saya udah nulis tuh tinggal beberapa kata. Novel ini memang menarik. Yang saya tangkap pertama kali setelah membaca buku ini adalah sebuah cerita yang sederhana, tetapi dikemas dengan apik. Jarang-jarang ada penulis yang bisa mengemas ide yang sederhana (hanya gara-gara kehilangan sebuah kamera ) menjadi sebuah cerita dengan alur yang bagus dan membuat penasaran seperti pada novel ini. Saya suka tokoh Maruta yang alim, dan Chandra yang begitu terpelajar walaupun itu hanya imajinasi saya. Keberhasilan Mas Tasaro mendetilkan setiap tokoh memang keren. Yang penting adalah makna novel ini, untuk mengakui kesalahan sekecil apapun. Sayang Mbak Dian, saya nggak tahu ada launchingnya, padahal saya janjian dengan TASARO untuk bersua pertama kalinya setelah keep contact via dunia maya.
    Selamat membaca.

    ReplyDelete
  2. Wah, review Wandu ini sebenernya udah saya tulis dan posting di milist FLP, mungkin 2 bulanan lalu, Asro :). Cuma karena tadi saya abis nge-post 'Gadis Kunang2', yang juara 2, saya jadi kepikiran buat posting Wandu juga, skalian gituh.
    Iya, launchingnya waktu di Islamic Book Fair April lalu kalo ga salah, saya moderatornya :D. Taufik (Tasaro) itu orangnya low profile dan cerdas tentu. Baik gitu, gak sombong (lho kayak bikin kesan mutiara di buku perpisahan jaman SD) hehe.

    ReplyDelete

Post a Comment