Lelaki itu Pecinta Anak


Rasanya tak percaya bisa bertatap muka dengan lelaki tua berwajah hangat itu. Lelaki yang 18 Desember nanti akan berusia 75 tahun. Selama ini saya hanya pernah membaca karya-karyanya, serta mengetahui sepak terjangnya dalam dunia penulisan cerita anak melalui media. Tulisan-tulisannya di rubrik Galeri majalah Annida sekitar tahun 1996-1997 juga kerap saya baca, beberapa tahun sebelum saya menjadi bagian langsung majalah tersebut. Tulisan yang membahas cerpen yang dimuat di Annida. Sederhana namun memberi banyak lecutan, terutama bagi para penulis muda.


 


Lelaki tua itu satu dari sedikit penulis cerita anak di Indonesia. Sejak tahun 1956 ia telah mendedikasikan dirinya dalam bidang penulisan cerita anak. 30 judul bukunya telah terbit dan cerpen-cerpennya bertebaran di berbagai media. Keterlibatannya dalam majalah anak-anak Kuncung juga menambah kecintaannya pada dunia anak. Di usia senja, semangat itu tak pernah luntur. Bahkan menandai usianya yang ke-70, beliau masih mengeluarkan buku “Wahai Kekasih Allah”, sebuah biografi Rasulullah Saw yang khusus didedikasikan untuk anak-anak Indonesia. Beliau juga yang pada tahun 1979 mempopulerkan kembali seni bercerita (storytelling).


 


Di rumah mungil yang sederhana, lelaki tua itu menerima kami. Seorang putrinya menemani, dan tak lama, putrinya yang lain juga menemani. Keramahannya memancar saat berbincang dengan saya dan teman-teman kru Annida plus dua bos Ummigroup :D. Sesekalinya matanya menerawang, mengingat peristiwa lampau. Tawanya menggema tiap kali ia mengingat kejadian lucu. Ingatannya masih tajam, untuk usianya, tubuhnya masih terlihat kokoh, meski dibantu tongkat. Kepergian istri tercinta, Ibu Surtiningsih Wt pada 3 Mei 2005 lalu, nampak masih menyisakan lara bagi dirinya.


 


“Setiap hari Bapak harus diantar ke rumah ini, meski malamnya beliau tidur di rumah salah satu dari kami, biasanya bergantian,” tutur sang putri, seorang jurnalis wanita yang pernah menjadi wartawan harian The Jakarta Post.


 


Kecintaannya pada sang istri memang begitu besar, tak heran bila kenangannya bersama istri tercinta yang juga seorang penulis tak pernah dapat dihapus dari memori.


 


Kemudian perbicangan menghulu pada kenangan saat beliau kerap mengisi rubrik Galeri di majalah kami.


 


“Saya masih menyimpan tulisan-tulisan itu, bahkan lengkap dengan cerpen-cerpen yang saya beri komentar,” katanya sambil kemudian berdiri dan dengan sigap membuka lemari di dekatnya serta mengambil sebuah map berisi fotokopi-an tulisan-tulisannya yang pernah dimuat, lengkap dengan cerpen-cerpen pengarang muda yang dikomentari di rubrik tersebut. Lengkap, tak ada yang hilang!


 


“Perjuangan Annida berat, untuk selalu menyuarakan kebenaran, bertarung dengan bacaan-bacaan yang melenakan,” katanya sambil memberi kami semangat.


 


Perbincangan terus menghangat. Kemudian lelaki itu bercerita tentang taman dan kolam di belakang rumah yang sedang dibuat, hampir rampung. Beliau pun mengajak kami berfoto di taman tersebut. Sebuah taman yang seakan menjadi prasasti untuk sang istri. “Sejak dulu saya dan ibu ingin sekali memiliki taman ini,” katanya, kembali mengenang istri yang sangat dicinta oleh anak dan cucunya. Istri yang telah memberinya 9 anak (2 wafat ketika kecil) dan 23 orang cucu.


 



Cerita saat beliau berkunjung ke beberapa negara juga bergulir. Bahkan lantunan nada sempat menyapa telinga kami dari mulut beliau. Ya, beliau bernyanyi untuk kami. Sebuah lagu berbahasa Jepang, yang menurut beliau berjudul “Teman dan Bunga”. Intonasinya jernih, dan nampak beliau menikmati sekali senandung dua bait itu.


 


Rasanya ingin terus berbincang dengan lelaki ramah itu. Namun kami mengerti, beliau harus banyak beristirahat.


 


“Terima kasih telah mengunjungi saya. Apalagi ada Mabrur, saya jadi terhibrur,” katanya jenaka. Kami tertawa. Ah, kamilah yang harus berterima kasih, berkesempatan mereguk wawasan dari beliau, meski hanya sekian jam.


 


Beliau, Bapak Soekanto SA. Penulis cerita anak yang terus dan selalu mendedikasikan dirinya pada dunia anak-anak.


 

*Terima kasih buat Mbak Santi Soekanto, Mbak Tyas Soekanto, dan segenap keluarga atas keramahannya menerima Kru Nida.

Comments

  1. Senengnya ya bisa silaturahim sama Bapak Soekanto, SA dan putri-putrinya. Dari mbak Santi, jadi banyak tahu ttg keluarga beliau. Salam hormat buat beliau. Wassalam, Evi.

    ReplyDelete
  2. Iya, Mbak Evi, seneng banget. Mungkin nanti suatu saat Mbak Evi bisa juga silaturahim ;)

    ReplyDelete
  3. mestinya ada penghargaan buat mereka yang seperti Beliau ini ...
    salam buat Mbak santi. Saya penggemar karya-karya terjemahannya...

    ReplyDelete
  4. Seingat saya beberapa waktu lalu DKJ dah ngasi penghargaan, Mas. Tapi blm dengar dari lembaga lain. Atau... sepertinya FLP di milad berikut memberi pengharagaan buat beliau ya :) .
    Mbak Santi? Iya, dulu aku suka banget ama tulisan2 psikologinya yg kerap dimuat di Gadis. Inget "Tuhan, Ini Aku Margareth"-nya Judy Blume yg juga pernah dimuat bersambung di Gadis, Mas? Itu juga beliau yg nerjemahin :).
    Eh ya, Mas Benny, muakassiiih banget ya dah dikenalin ama Bung Smas. Hii, seneng banget bisa kenal beliau. Ramah ya? Kapan2 aku kudu maen ke rumahnya, liat kucing2nya, hehehe....

    ReplyDelete

Post a Comment